Menanti sumbangsih konser musik dalam mencegah krisis iklim. Partisipasi musisi, panitia, dan penonton jadi kunci.

Koridor.co.id

Fay Milton
Ajakan Fay Milton, drummer grup musik Savages sekaligus pendiri organisasi Music Declares Emergency, untuk lebih peduli terhadap lingkungan (Foto: Instagram/@faymilton)

Ada pemandangan tak biasa namun melegakan terhampar saat mendatangi kompleks Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (27/5/2020) petang. Hari itu jadi pembuka festival musik masyhur Java Jazz Festival (JJF). Setelah berjalan tak seberapa melewati lobi, panggung Wonderful Indonesia berbentuk oktagon yang letaknya di tengah area dalam langsung menyambut.

Deru musik berdentam-dentam mengiringi lalu-lalang penonton di atas konblok yang minim sampah. Kalaupun ada satu dua bekas tisu dan puntung rokok yang sengaja dibuang oleh penonton bebal, tak perlu waktu lama untuk melihatnya hilang dari pandangan mata. Para petugas cergas membersihkannya.

Sedari awal panitia telah mengimbau bukan hanya kepada para penonton, tapi juga jajaran musisi yang mengisi berbagai panggung untuk menjaga kebersihan. Membuang sampah pada tempat-tempat yang telah disediakan. Pun sebisa mungkin meminimalisir sampah. “Less Waste More Jazz” demikian kampanye yang diusung dalam penyelenggaraan JJF kali ini. Slogan kampanye tadi juga terpampang di sisi kiri kanan bak kendaraan roda tiga yang berkeliling mengumpulkan sampah.

Total ada 50 titik pembuangan sampah tersebar di sekitar area festival. Sangat mudah menjangkaunya. Tempat-tempat sampah itu terkelompok menjadi tiga kategori; sampah yang bisa didaur ulang (seperti plastik dan kaca), sisa-sisa makanan, dan residu (sampah yang susah didaur ulang).

Pada hari perdana penyelenggaraan JJF, sebanyak 1,8 ton sampah terkumpul. Sementara menurut keterangan Direktur Penanganan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novrizal Tahar, total ada 6,2 ton sampah yang terkumpul selama tiga hari pergelaran jazz terbesar di Asia Tenggara ini.

Kendaraan pengangkut sampah lalu-lalang di Java Jazz Festival 2022. (Foto: Andi Baso Djaya/Koridor)

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menekan jumlah sampah tersebut pada penyelenggaraan tahun-tahun mendatang. Sebab sudah menjadi pemandangan biasa jika dalam beberapa acara musik selalu menyisakan sampah berserakan.

Cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang sedang melanda dunia saat ini pada akhirnya menuntut komitmen semua pihak untuk berpartisipasi memelankan dampak krisis iklim, tak terkecuali penyelenggara konser alias promotor musik.

Salah satu caranya dengan meniadakan —atau minimal mengurangi— sampah. Sebab sampah menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi konser dan festival musik, selain tentu saja penggunaan listrik berkekuatan besar dan polusi dari tiap kendaraan bermotor yang dibawa para penonton.

Merujuk hasil penelitian John E. Hay dan Graham Sem dari Secretariat of the Pacific Regional Environment Programme, penguraian sampah organik akan menghasilkan karbon dioksida yang membusuk di udara lalu membentuk gas metana. Kedua zat ini menjadi emisi yang berkontribusi pada efek rumah kaca di atmosfer.

Sedangkan sampah anorganik bersumber dari produksi yang menggunakan sumber daya penghasil emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan beragam polutan.

Upaya untuk memerangi tumpukan sampah tadi bukannya tidak ada. Association of Independent Festivals di Inggris, misalnya, telah berjanji untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai di area sekitar penyelenggaraan konser.

Sementara DGTL Festival, salah satu perhelatan musik elektronik akbar di Amsterdam, Belanda, bertekad menjadi festival musik tanpa sampah pertama di dunia. Mereka telah melarang penggunaan botol plastik dan gelas, alih-alih para penonton diminta membawa tempat air minum atau tumbler sendiri dari rumah. Panitia kemudian menyediakan banyak titik tempat pengisian ulang air minum. Cara ini juga sudah diadopsi penyelenggara Synchronize Festival 2019 yang berlangsung di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Langkah yang lebih progresif dilakukan kelompok musik Coldplay. Saat melakukan tur dunia bertajuk “Music of the Spheres” (18 Maret-8 November 2022), band asal Inggris ini menggunakan tenaga surya, minyak goreng daur ulang dari restoran lokal, dan sumber energi terbarukan lainnya sebagai penopang kebutuhan listrik mereka selama manggung.

Untuk menangkap emisi karbon yang terlepas dari tiap konser Coldplay menggunakan alat buatan Climeworks, perusahaan penangkap karbon dari Swiss. Nantinya karbon yang tertangkap akan dipakai untuk campuran minuman bersoda. Sementara pesawat yang digunakan para personel berkeliling dunia menggelar tur memakai bahan bakar dari limbah. Pelantun lagu “My Universe” itu juga berjanji akan menanam satu pohon untuk setiap tiket yang terjual.

Dalam skala dan lingkup lebih kecil, grup Nosstress asal Bali pernah mencoba usaha serupa pada 2019. Menggelar konser yang lebih ramah lingkungan sebagai penanda 10 tahun mereka berkarya. Panel surya menjadi andalan untuk menyuplai daya listrik selama pertunjukan yang berlangsung tiga jam.

Band Culture Project asal Palu, Sulawesi Tengah, juga menggunakan energi matahari saat melakukan pertunjukan langsung sekaligus suting videoklip lagu “Matahari”. Pendeknya semua ikhtiar tadi merupakan bukti bahwa menggelar konser atau festival musik dengan lebih ramah lingkungan adalah sebuah keniscayaan.

Pilihannya berpulang kepada kita semua, menikmati konser musik sembari menyembuhkan bumi yang sedang sekarat ini atau membuatnya makin meringis. Sebuah pesan dari Fay Milton, drummer grup musik Savages sekaligus pendiri organisasi Music Declares Emergency, mungkin bisa sedikit mengingatkan; “No Music on A Dead Planet”.

Artikel Terkait

Terkini