
Jakarta, Koridor.co.id – Kasus kematian menimpa tujuh ekor harimau benggala dalam penangkaran milik seorang selebritas menjadi viral.
Kasus ini bisa menjadi pelajaran bahwa regulasi memberikan celah yang memperbolehkan individu memelihara harimau. Namun, seharusnya ada standar pemeliharaan dan pengawasannya.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK Satyawan Pudyatmoko mengakui Peraturan Menteri LHK No.P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tidak memasukkan harimau benggala dalam perlindungan.
Meski demikian, Setyawan berjanji akan mengevaluasi kembali aturan izin memelihara harimau. Pihaknya akan menurunkan tim khusus untuk memeriksa kematian harimau itu. Pihaknya juga akan mengevaluasi, terutama menyangkut aspek animal welfare-nya.
“Kami belum bisa memberikan keputusan atas kasus kematian hewan, baik terkait sanksi ataupun pencabutan izin memelihara hewan nondomestik,” ujar Setyawan kepada CNN.
Aktivis konservasi dari Forum Harimau Kita Irene M.R Pinondang menyatakan berdasarkan PP No.8/1999, individu bisa menangkar dan memelihara harimau.
“Hanya saja individu tidak begitu saja bisa memelihara atau menangkar harimau. Mereka harus mendapat pendampingan dari para ahli dan peneliti dan perlu mengacu pada welfare in trade,” ujar Irene kepada Koridor, Rabu (26/7/2023).
Aturan Welfare In Trade menyebutkan dalam setahun hanya boleh satu kali breeding dan seumur hidup hanya boleh empat kali.
Regulasi Penangkaran Harimau
Kalau melihat PP Nomor 8 Tahun 1999 pada Pasal 9 menyebutkan tiap orang, badan hukum, koperasi atau lembaga konservasi dapat menangkar jenis tumbuhan dan satwa liar atas izin Menteri.
Izin penangkaran sekaligus izin menjual hasil penangkaran keluar setelah memenuhi standar kualifikasi penangkaran tertentu. Namun, penangkaran dalam regulasi memenuhi pertimbangan batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran.
Selain itu, aturan tersebut menyebutkan adanya profesionalisme kegiatan penangkaran dan standar kualifikasi penangkaran mengikuti peraturan dari Menteri.
Aktivis Forum Harimau Kita lainnya Ahmad Faisal menyayangkan perhatian orang atau media lebih ke para pemelihara atau pemilik satwa ketimbang satwanya. Hal itu lantaran orang itu biasanya artis atau publik figur.
Perseorangan bisa mengelola lembaga konservasi, tetapi tidak cukup dengan peraturan yang mendukung.
“Perlu ada penilaian kelayakan dan kepantasan bagi individu atau grup atau apa pun bentuknya ketika akan membuat izin semacam ini,” katanya (Irvan Sjafari).