Sebagai pengusaha katering di Surabaya, Jawa Timur, Dedhy Bharoto Trunoyudho kerap melayani berbagai kepentingan kegiatan, di antaranya acara perkawinan. Pada akhir acara dia melihat banyak makanan tersisa, dan masih layak untuk dimakan lagi. Juga bukan makanan yang dibuang di piring, atau sisa tamu.
Pada akhirnya alumni Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang ini mencari tahu bagaimana agar makanan yang tersisa itu, bermanfaat bagi orang banyak. Dedhy mengetahui bahwa di Amerika Serikat ada yang namanya food bank.
Pada 2017 Dedhy mendirikan Garda Pangan yang berfungsi sebagai food bank. Dia menyadari konsep food bank di Indonesia baru.
Menurut Dedhy, di Indonesia dari sudut pandang bisnis, opsi membuang sampah makanan adalah yang paling murah, paling cepat dan paling mudah dilakukan. Itu sebabnya mengapa banyak perusahaan makanan, industri hospitality membuang makanan sisa. Karena, itu yang paling efisien.
“Mengapa tidak didonasikan kepada food bank? Karena banyak masyarakat industri yang belum tahu sebuah solusi yang namanya food bank. Sekalipun di Surabaya ada Garda Pangan, di Bandung ada Food Bank, tetapi tidak serta merta perusahaan itu tahu dan bekerja sama dengan food bank,” ujar Dedhy Bharoto Trunoyudho kepada Koridor, Minggu, 29 Mei 2022.
Tetapi, sebetulnya potensi makanan yang terbuang itu ada di sektor individu. Kalau sektor individu ini sulit diakomodir oleh food bank, karena jumlahnya banyak, dan susah mencari, dan menjangkau lokasinya.
Oleh sebab itu penting untuk melakukan edukasi bahwa isu sampah makanan itu penting. Mereka pikir, sisa makanan itu dibuang dan dijadikan kompos, itu anggapan yang salah.
“Karena mekanisme TPA di Indonesia itu hanya menumpuk sampah, tidak ada pengolahan. Tidak ada itu namanya yang di TPA buang sampah lalu jadi kompos. Yang terjadi ditumpuk saja, TPA habis, penuh, lalu pindah,” papar Dedhy.
Cara untuk meminimalisirnya, melalui edukasi dan mendorong pengusaha makanan bekerja sama dengan food bank di daerah masing-masing. Mitra dari Garda Pangan hingga saat ini adalah perusahaan yang punya konsen di bidang lingkungan dan itu, jumlahnya tidak banyak.
Untuk itu perlu dorongan dan regulasi dari Pemda, sama dengan regulasi melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai, agar semua perusahaan patuh. Jadi, perlu ada regulasi penyelesaian isu sampah makanan. Banyak perusahaan enggan melakukan sortir karena itu butuh waktu dan biaya. Padahal, itu adalah solusi.
Garda Pangan memang bekerja sama dengan industri hospitality seperti hotel, restoran, katering dan bakeri untuk mengelola makanan berlebih mereka, yang masih layak.
“Yang masih layak ini kami salurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Biasanya kita melakukan distribusi setiap dua hari sekali bersama teman-teman relawan. Masyarakat senang menerimanya,” katanya.
Dedhy tidak sendiri, dari kota kembang Bandung Gendis Ayu Satiti menggagas Food Bank Bandung. Alumni Teknik Lingkungan ITB ini ketika melanjutkan kuliahnya pernah menjadi sukarelawan di Food Bank Neder-Veluwe, Wageningen, Belanda selama 3 tahun.
“Sejak 2020, inisiatif kami, Food Bank Bandung (Yayasan Akses Mandiri Pangan) didirikan untuk memfasilitasi produsen makanan dan masyarakat yang memiliki kelebihan makanan untuk disalurkan kepada masyarakat pra-sejahtera,” ujar Gendis.
Menurut situsnya Food Bank Bandung sejak berdirinya dan saat ini mampu mendistribusikan 883 kilogram makanan dan menyelamatkan 579 kilogram makanan dan memberikan manfaat bagi 465 orang.