“Kita memimpikan sebuah kondisi Sungai Ciliwung dan sungai di Indonesia seperti sebelum jumlah penduduk terlanjur meledak. Sungai itu pusat peradaban manusia. Peradaban manusia zaman dahulu bermula di sungai, seperti Irak hingga Majapahit. Setelah segala berubah, sungai teraniaya. Sungai jadi obyek dinistakan. Bukan subyek yang dieratkan dengan kita.”
Demikian ungkap Suparno Jumar, salah seorang pegiat lingkungan yang gelisah terhadap kondisi Sungai Ciliwung, yang diawali dari pengalamannya melihat seorang oknum petugas pengangkut sampah yang membuang sampah dari gerobak mereka ke sungai.
“Sungai tempat kita bermain, sumber protein lauk pauk, sumber transportasi, karena hari ini transportasi sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Padahal bahan bakar fosil akan habis tidak terganti. Kalau kita mengabaikan reboisasi menjaga cadangan air kita nggak bisa berbuat apa-apa, lalu kita lumpuh dan punah,” ujar Suparno Jumar, kepada Koridor, Sabtu, 25 Juni 2022.
Sejak 2015 Suparno tergerak mendedikasikan hidupnya untuk membersihkan Sungai Ciliwung, bersama Komunitas Peduli Ciliwung (KPC).
“Medan kita berat. Saya akui upaya membersihkan sungai adalah segoblok-gobloknya pekerjaan. Namun kita hanya punya spirit dan seberat apa pun pekerjaan mampu dilaksanakan dengan gotong royong, yang dulu membuat negeri ini kuat, sayang sekarang justru gotong royong sudah luntur,” ucap pria asal Purworejo ini.
Revitalisasi Sungai Ciliwung masih memerlukan perjuangan hebat dari pemerintah Tingkat I maupun Tingkat II dan seterusnya. Tentu saja ini tidak terlepas dari kerja sama pentahelic di mana peran pemerintah menjadi kunci didukung masyarakat sipil yang cerdas.
Dengan konsep ini, diperlukan keterlibatan dan dunia usaha yang beretika, kemudian dunia akademik yang sangat baik memberikan rekomendasi secara ilmiah, kemudian peran media.
Komunitas Peduli Ciliwung Bogor adalah sekelompok individu bergabung memiliki visi dan tantangan sama di revitalisasi sungai. Komunitas ini bagian dari masyarakat sipil memiliki pandangan berbeda dan sedikit nyali terjun ke sungai.
Pria kelahiran 11 Agustus 1972 ini menyampaikan jumlah anggota Peduli Ciliwung Bogor tidak bisa dihitung. Secara organisasi tidak terstruktur. Tidak perlu ada registrasi. Tidak perlu iuran. Ketika datang berkontribusi, datang dan pergi. Ketika pergi ke daerah lain membawa semangat apa yang mereka peroleh di Bogor.
Kegiatan-kegiatan edukasi itu pun dibalut dalam berbagai aktivitas mulai dari diskusi hingga praktik. Misalnya tentang teknik biopori untuk mengompos sampah dapur serta teknik budi daya maggot untuk juga bisa menjadi pakan ternak dan kegiatan lainnya.
Di Bogor sejak 2018 sudah ada satuan tugas naturalisasi Ciliwung yang secara tugas dan tanggung jawab cukup berat juga, karena mereka harus melakukan edukasi di darat perlahan-lahan agar masyarakat mau mengubah perilaku membuang sampah di dekat sumber daya air akhirnya masuk ke sungai.
“Kemudian teman-teman di satuan tugas naturalisasi Ciliwung di samping melakukan edukasi juga melakukan penanganan sampah di sungai, tetapi ini harus terintegrasi dengan Pemerintah Tingkat II di hulunya, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bogor,” katanya.
Penanganan Sungai Ciliwung harus terintegrasi di Jawa Barat hulu, hilir DKI Jakarta, tidak bisa sendiri-sendiri, melibatkan pemerintah Pusat hingga Daerah Tingkat I dan II.
Ketika bicara DAS utama, ada masalah utama ada di sub DAS anak kali atau cucu kali. Salah satu caranya komisi khusus menangani sungai, sumber daya air, melibatkan banyak stakeholder. Masalah setu sungai, pantai akan terentas. Namun lembaga bukan jangka panjang harus diukur intensitasnya.