Sungai Citarum adalah ikon sejarah Jawa Barat yang panjang,baik dari aspek ekonomi, budaya hingga wisata. Sayangnya pembangunan tidak terkendali membuat kerusakan sungai yang hingga kini sukar diperbaiki.
Letak Kerajaan Tarumanegara Abad ke 5 hingga Abad ke 7 Masehi, salah satu kerajaan tertua di Jawa Barat diperkirakan berada di antara Sungai Citarum dan Sungai Cisadane. Hal ini membuktikan bahwa peradaban tua terkait dengan sungai.
Edi Hermadi penulis buku Sejarah Nasional Indonesia edisi revisi (2013) menyebutkan nama Tarumanegara besar kemungkinan terkait dengan Citarum. Dalam sejumlah literatur disebutkan Purnawarman, raja Tarumanegara menggali Sungai Candrabaga dan setelah penggalian raja memberikan seribu ekor lembu kepada Brahmana.
Begitu juga cerita Sangkuriang tidak hanya terkait dengan Gunung Tangkuban Perahu, tetapi juga Sungai Citarum. Menurut cerita yang dikutip dari majalah Tropisch Nederland, edisi 28 Desember 1928 Dayang Sumbi meminta syarat pernikahannya dengan Sangkuriang sesuatu hal mustahil: minta disiapkan sebuah danau di dataran tinggi dan sebuah perahu.
Itu harus disiapkan dalam semalam. Permintaan seberat itu sebetulnya penolakan halus karena Sangkuriang adalah putranya sendiri. Sangkuriang menerima tantangan Dayang Sumbi itu. Dengan kesaktiannya, ia memerintahkan pasukan roh pelayan dewata untuk membendung sungai –kemungkinan adalah Sungai Citarum– untuk menciptakan danau. Seperti diketahui umum permintaan itu tidak terpenuhi dan Sangkuriang menendang perahu itu, yang kemudian menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran A. Sobana Hardjasaputra, guru dalam “Citarum dalam Perspektif Sejarah” menuturkan kongsi dagang Belanda di Hindia Timur alias VOC menggunakan Sungai Citarum untuk kegiatan ekonomi dan pertahanan. Menurutnya, seperti dikutip dari Tirto, pada abad ke-17 VOC membangun pelabuhan dan benteng yang cukup besar di muara Citarum.
Pada perkembangan pejabat pribumi pada waktu tertentu mengerahkan rakyat untuk menangkap ikan di lubuk-lubuk sungai, sedangkan mereka hanya duduk di pesanggrahan. Tradisi yang merupakan hak istimewa bupati ini membuat Sungai Citarum terpelihara karena rakyat tidak berani merusak sungai, sebab akan mengganggu kesenangan para pembesar.
Pemerintahan Hindia Belanda juga menganggap Sungai Citarum, strategis. Java Bode edisi 23 Desember 1892 memberitakan pembukaan halte Rajamandala pada Januari 1893 dengan penanggung jawab seorang pribumi bernama Moentaham. Pada waktu itu Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Sungai Citarum sebagai obyek wisata.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 17 Juni 1913 mengutip Soerabaijasch Handelsblad memberitakan arsitek O Geway ditempatkan di Halte Rajamandala untuk merekam aliran sungai Citarum berhubungan dengan rencana elektrifikasi layanan SS De Tjiraoem. Banyak aliran muncul di sungai tersebut Gunung Tilu, Malabar, Wayang, Guntur dan Tangkuban Perahu. Di masa lalu, menurut berita itu, sungai menjadi tempat distribusi kopi pemerintah dari gudang di Cikao.
Begitu juga dengan banjir akibat luapan Sungai Citarum bukan hal baru. Terjangan air bah juga pernah terjadi di masa Hindia Belanda.
Nieuwsblad van het Zuiden edisi 5 Maret 1931 memberitakan meluapnya Sungai Citarum hingga merendam wilayah pertanian seluas 1.100 hektare setinggi satu setengah meter di belakang sebuah stasiun radio, Banjir dari Tjitarum. Sungai Citarum, yang telah membengkak sangat banyak karena hujan lebat, telah meluap tepiannya dan menyebabkan banjir karena tidak mampu menampung aliran air dari semua sungai kecil yang tumpah ruah.
Lebih dari 1.100 hektare lahan subur sedang ditanami, 105 hektare di Rancaekek. Air mengalir deras di atas jembatan. Air setinggi satu setengah meter di sawah di belakang stasiun radio. Tanggul, struktur, jalan dan pipa rusak. Airnya mengalir ke rumah-rumah kampung di kawasan Bandung, seperti Desa Cijagra, Kecamatan Buah Batu hanya punggungan rumah yang menjorok ke atas air.
Luapan air membanjiri kawasan Ciparay, Rancaekek, Dayeuhkolot, Andir, serta longsor di beberapa tempat. Seorang perempuan disebutkan tewas.
Meskipun beberapa kali terjadi banjir hingga tahun 1960-an Sungai Citarum masih bersih dan layak menjadi tempat wisata. Dilansir dari Pikiran Rakjat pada 10 Juni 1961 dalam suatu pertemuan dengan pejabat pemerintah Kotapraja Bandung dan Provinsi Jawa Barat pada 8 Juni 1961, Bupati Bandung R Memed Ardiwilaga menyetujui usulan bahwa Sungai Citarum akan dijadikan obyek turisme. Berarti waktu itu Sungai Citarum bukan saja bersih tetapi mempunyai panorama indah. Bahkan hingga 1970-an Citarum masih layak disebut sebagai sebuah sungai.
Namun situasi berubah pada dekade berikutnya. Iqbal Kusumadirezza seorang fotografer asl Bandung dalam penelusurannya dalam delapan tahun dimuat di Vice mengungkapkan akibat pertumbuhan pabrik tekstil di bantaran Sungai Citarum, terutama wilayah Rancaekek, Majalaya, Dayeuhkolot, dan Batujajar yang amat pesat sejak akhir 1980-an. Limbah cair berbahaya buangan pabrik-pabrik memenuhi sungai Citarum. Dekat hulu Citarum saja berdiri 300 pabrik, dan hanya sekitar 20 persennya yang mengolah limbah secara layak melalui sistem instalasi pengelolaan.