Komunitas Petani Muda Keren dari Buleleng menerapkan smart farming yang memangkas harga Pokok Pertanian hingga 70 persen

Koridor.co.id

Petani Muda Keren
Pelatihan Smart Farming dan Internet of Thing untuk para petani milenial. (Foto: Dokumentasi komunitas Petani Muda Keren)

“Kalau ingin mendapatkan kupu-kupu, jangan mengejarnya, tetapi sediakan sebuah kebun bunga yang cantik. Maka kupu-kupu akan datang dengan sendirinya,” ujar pendiri dari Komunitas Petani Muda Keren (PMK) yang berbasis di kawasan Buleleng, Bali, AA Gede Agung Wedhatama.

Kupu-kupu ibarat kalangan milenial yang tidak begitu mudah didorong untuk terjun ke dunia pertanian. Bagi mereka, profesi petani itu melekat dengan kotor, lelah dan tidak menjanjikan penghasilan seperti berkarir di perkantoran.

Pada 2014, Agung Wedhatama, seorang anak muda asal Buleleng mengajak rekan-rekannya mendirikan Komunitas PMK dengan visi menciptakan pertanian organik dan berkelanjutan. Pria kelahiran 1984 ini percaya bisnis pertanian akan maju jika dari hulu hingga hilir dijalankan oleh patani.

Menurut dia, salah Satu masalah yang dihadapi para petani tidak punya kepastian produknya dipasarkan ke mana. Sementara pasar tidak punya kepastian apakah kebutuhannya akan produk bisa didapatkan secara berkelanjutan.

Selain itu para petani menghadapi permasalahan tingginya ongkos produksi dan kerap tidak sebanding dengan hasil yang akan didapat. Tinggi ongkos pertanian di Indonesia karena tidak beradaptasi dengan teknologi seperti di luar negeri sehingga bisa lebih ekonomis dan efisien.

“Kebanyakan petani hanya fokus bertani. Namun untuk pemasaran mereka kebingungan. Akhirnya lahirlah tengkulak dan pengepul yang membuat keadilan perdagangan tidak terjadi. Dibeli semurah-murahnya dan dijual semahal-mahalnya di konsumen,” ujar peraih Magister Teknologi Informasi dari UGM ini.

Agung kemudian menerapkan smart farming yang sudah berkembang di sejumlah negara maju, yaitu dengan menerapkan teknologi termasuk Internet of Things (IOT) untuk meningkatkan produktivitas di pertanian kita.

Di antaranya penggunaan teknologi itu ialah rumah kaca dengan teknologi sensor lingkungan yang terhubung dengan internet menyajikan data secara real time hingga memudahkan perawatan. Traktor yang dikendalikan dari jarak jauh dengan ponsel, pengerjaaan pemupukan, sistem irigasi yang dikendalikan secara otomatis waktu penyiraman hingga debit airnya, hingga tidak boros air.

Komunitas Petani Muda Keren membangun value chain pertanian dari hulu hingga hilir dengan cara membangun sistem pertanian terintegrasi dengan menggabungkan teknologi, smart farming dengan budaya serta kearifan lokal.

“Di hulu kami membangun pertanian dengan nature farming. Kami membuat Koperasi Petani Muda Keren. Di hilir kami memasarkan produk petani baik ritel maupun ekspor. Kami juga mengembangkan produk olahan hingga bisa dipasarkan ke dalam maupun luar negeri,” papar Agung.

Keuntungan smart farming, biaya yang dipangkas bisa sampai 70 persen. Bukan itu saja pekerjaan seperti pemupukan yang memakan waktu 6-8 jam, dipangkas menjadi 15 menit. Dengan demikian citra pekerjaan petani itu melelahkan terbantah sudah.

Hasilnya? Agung dan kawan-kawannya menunjukkan bidang hortikultura yang digelutinya sebagai percontohan. Pada 2017 kelompok ini mampu mengekspor ribuan ton manggis ke Tiongkok, ratusan ton mangga ke Eropa, ratusan ton buah negara ke Timur Tengah.

Selanjutnya 2018-2020 masih bisa mengekspor produk pertanian walau pandemi Covid-19. Komunitas ini masih mampu mengekspor 5-10 ton per hari ke Tiongkok dan tetap mengekspor ratusan ton buah mangga ke Eropa.

Apakah petani dan konsumen sama-sama untung? Agung mencontohkan untuk brokoli biaya produksi Rp8 ribu – Rp10 ribu per kilogram menjadikan harga jualnya bisa mencapai Rp20 ribu. Melalui penerapan smart farming, biaya menjadi Rp3 ribu – Rp4 ribu dan dijual seharga Rp8 ribu – Rp10 ribu.

Hasilnya? Petani mendapat untung dua kali lipat dan konsumen juga senang mendapatkan produk organik dengan harga terjangkau. Dengan penerapan Smart farming, persoalan Harga Pokok Pertanian (HPP) yang tinggi bisa dikurangi. Dengan demikian komoditas pertanian Indonesia bisa bersaing dengan produk hortikultura dari Thailand yang biaya produksinya juga murah, karena mereka sudah menerapkan teknologi.

Artikel Terkait

Terkini