Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Permana Yudiarso menyampaikan hanya dalam seminggu tiga ekor ikan paus terdampar dan mati di perairan Bali.
Rinciannya tiga kejadian paus yang terdampar dengan kondisi mati yakni Paus Bryde di Pantai Batu Lumbang, Kabupaten Tabanan pada Sabtu, 1 April 2023, Paus Sperma di Pantai Yeh Malet, Kabupaten Karangasem pada Rabu, 5 April 2023, dan Paus Sperma di Pantai Yeh Leh, Kabupaten Jembrana pada Sabtu, 8 April 2023.
Dalam keterangannya pada 9 April 2023, Permana mengatakan dua di antara tiga kasus itu sudah nekropsi (bedah mayat). “Yang satu kami tidak lakukan karena itu sudah busuk saat kami temukan di Tabanan. Dua yang kami nekropsi itu indikasinya sakit,” kata Permana Yudiarso, 9 April 2023.
Yudiarso belum memastikan secara jelas apa sakit yang menimpa mamalia yang hidup di laut tersebut. Kementerian Kelautan tengah bekerja sama dengan dokter hewan dan ahli forensik dari Universitas Airlangga Surabaya untuk menjelaskan secara pasti penyakit yang menyerang tiga paus yang ditemukan di wilayah Bali tersebut.
“Tapi berdasarkan penelitian yang dipelajari, ada beberapa penyebab kematian hewan mamalia tersebut, yakni kebisingan suara di laut, perubahan cuaca ekstrem, perubahan kontur laut dan arus, serta bencana alam,” ujar Yudiarso.
Dia menduga ada sesuatu yang mempengaruhi kesehatan laut walaupun secara teknis paus ini bermigrasi ke mana pun untuk menjadi bahan evaluasi.
“Dengan adanya fenomena kematian paus tersebut, kami menaruh perhatian lebih terhadap kesehatan laut Indonesia,” kata Yudiarso.
Yudiarso menjelaskan dalam pengamatan Kementerian Kelautan fenomena kematian mamalia laut tersebut telah terjadi selama 19 kali di wilayah BPSPL Denpasar yang membawahi empat provinsi.
Sejak akhir Maret hingga awal April ini total ada 19 kejadian. 3 di Bali, satu di Jawa Timur di Sumenep, sisanya beberapa kejadian di NTT,” kata dia.
Dia mengatakan setelah dilakukan beberapa pemeriksaan akan adanya polusi suara seismik di dalam perairan, pihaknya tidak menemukan adanya fenomena seperti itu di selatan wilayah Samudra Hindia yang menjadi wilayah kerja BPSPL Denpasar.
Tidak tertutup kemungkinan ada indikasi karena adanya pencemaran lingkungan khususnya wilayah perairan khususnya karena sampah. Sebelumnya, pada 2022 lalu ada sembilan kejadian serupa di wilayah Provinsi Bali.
Juru Bicara Kampanye Laut Greenpeace Afdillah mengatakan pihaknya belum melakukan riset terkait kematian ketiga paus itu dan pihaknya mengapresiasi pemeriksaan sudah dilakukan oleh otoritas terkait.
Namun menurut Afdillah dari beberapa laporan kejadian, ada beberapa faktor yang menyebabkan kematian ikan paus secara alami, seperti penuaan. Tetapi tidak bisa dipungkiri juga pengaruh aktivitas manusia.
“Di antaranya pencemaran laut yang berdampak pada kesehatan hewan laut serta semakin masifnya aktivitas manusia di tengah laut yang menyebabkan terganggunya ruang hidup mereka. Lumba-lumba dan paus yang seringkali mereka tersesat karena kesalahan navigasi akibat aktivitas kapal di tengah laut. lalu mereka terdampar dan mati,” ungkap Afdillah.
Hal senada juga dinyatakan Janie Wray dari BC Whales yang mengamati bahwa banyak ikan puas mengalami patah tulang punggung akibat tabraan dengan kapal.
Dengan potensi ribuan paus terhantam setiap tahun, dan dengan jumlah kapal yang meningkat pesat di seluruh dunia, masalahnya semakin parah seperti dilansir https://www.theguardian.com/environment/2023/apr/09/whales-killed-passing-ships-save-alert-detection
Di sebagian besar tempat yang memiliki batasan atau pedoman kecepatan pelindung paus, batasnya adalah 10 knot atau 18,5 km/jam. Angka tersebut didasarkan pada sejumlah penelitian yang membandingkan serangan fatal dengan serangan yang diduga tidak membunuh paus.
Hasil menunjukkan bahwa kemungkinan paus mati karena serangan adalah sekitar 50% pada kecepatan 10 knot, dibandingkan dengan kematian yang hampir pasti pada kecepatan dua kali lipat (Irvan Sjafari).