Kebijakan Program Penangkapan Ikan Terukur KKP berpotensi berdampak buruk pada nelayan. Jalankan saja UU No 7 Tahun 2016

Koridor.co.id

Ilustrasi nelayan indonesia. (Foto: Shutterstock)

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan konferensi kelautan dunia di Lisbon, Portugal, beberapa waktu lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan program Penangkapan Ikan Terukur.

KKP menilai program ini memberikan dampak multiplier effect positif. Efek ganda itu bakal diperoleh, ini kata KKP, mulai dari tumbuhnya beragam usaha baru yang berimbas pada penyerapan tenaga kerja, hingga meratanya pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah Indonesia dan tidak berpusat di Pulau Jawa.

Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota sedang dalam tahapan uji coba. Kebijakan tersebut memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun.

Uji coba perizinan khusus dilaksanakan pada tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara dan PPN Kejawanan di Jawa Barat. 

Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp1 triliun sejak 2021.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi dalam keterangannya seperti dikutip Jumat, 30 September 2022, dari situs KKP mengatakan investor banyak yang menyampaikan minatnya untuk berinvestasi di bidang perikanan tangkap di Indonesia.

Para investor di subsektor perikanan tangkap diharuskan mempekerjakan nelayan lokal atau memanfaatkan sumber daya manusia dari dalam negeri. Dengan begitu, para nelayan diharapkan mendapatkan ilmu baru saat menjadi awak kapal perikanan di sektor industri. Jadi ekosistem terjaga, nelayan juga mendapat manfaat secara ekonomi.

Tetapi, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)mengkritik kebijakan itu. Alih-alih menjalankan ekonomi biru dan mengangkat kesejahteraan nelayan, program ini justru bisa berdampak sebaliknya.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanudin mengingatkan bahwa peserta konferensi di Lisabon, Portugal itu justru didominasi korporasi besar yang sangat ekspansif mengeksplorasi laut tingkat global.

Para korporasi itu tahu pada masa mendatang, krisis iklim akan memberikan dampak peningkatan suhu yang memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Dengan demikian investasi dengan kapal besar akan menguntungkan.

Akibatnya kebijakan ini justru akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia. Kapal nelayan akan dipaksa bersaing dengan kapal besar. Padahal, sebetulnya status ikan di Indonesia juga berada dalam lampu kuning dan merah.

Kelompok sumber daya ikan pelagis besar, udang penaeid, lobster dan rajungan di semua wilayah perikanan RI sudah mengalami fully exploited dan over exploited. Tidak ada lagi yang berstatus moderate.

“Tidak ada jaminan bahwa ikan yang ditangkap akan dibatasi, tetapi diambil semua. Misalnya, hanya tuna, tetapi tenggiri dan kerapu yang terjerat akan diambil,” katanya mencontohkan ketika dihubungi Koridor, Kamis, 29 September 2022.

Walhi mencatat saat ini setidaknya ada 237.280 orang nelayan di Provinsi Maluku. Niat KKP ingin memberikan kuota dengan mendorong nelayan membentuk koperasi, sulit dilakukan di wilayah Indonesia Timur, yang tersebar di pulau-pulau terpencil. 

“Koperasi nelayan hanya bisa jalan di wilayah Jawa dan Sumatera. Kalau di kawasan Timur Indonesia, diterapkan, tampaknya akan dicocok-cocokkan agar dapat justifikasi,” imbuh Parid Ridwanudin.

Hingga kini kesejahteraan nelayan jauh dari panggang api. Berdasarkan catatan WALHI, dalam satu tahun, nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. Sisanya harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan.

Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus meningkat sepanjang tahun 2010-2020. Pada 2010, nyawa nelayan yang meninggal sia-sia tercatat sebanyak 87 jiwa. Namun pada tahun 2020, jumlahnya terus meningkat, menjadi lebih dari 250 jiwa.

WALHI menyarankan kalau pemerintah berniat mengangkat kesejaterahan nelayan, sebaiknya jalankan UU nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Nelayan harus mendapatkan perlindungan hukum, modal untuk pengembangan usaha, pembiayaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan wilayah tangkapan jangan dirusak.

“Di sini kartu nelayan tidak berfungsi seperti kartu nelayan di luar negeri. Di sana kartu nelayan seperti ATM untuk bisa dapatkan uang, bahan bakar untuk kapalnya hingga teknologi. Di sini yang dapat BBM bersubsidi hanya industri,” tegas Parid Ridwanudian.

Artikel Terkait

Terkini