Keberadaan biodiversitas di Indonesia menghadapi ancaman kepunahan. Terutama bagi flora dan fauna endemik

Koridor.co.id

Ilustrasi-Foto: Kegiatan FGD.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna mengatakan degradasi dan deforestasi terutama disebabkan oleh kerusakan habitat.

Kerusakan habitat ada disebabkan oleh bencana alam, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan dan perubahan iklim.

“Namun kerusakan habitat juga bisa disebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, industri,  serta permukiman masyarakat,” ujar Dolly Priatna dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Inovasi Teknologi untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati” di Auditorium Rektorat Universitas Pakuan, Bogor, 28 Maret 2023.

Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah perburuan satwa liar yang didorong oleh perdagangan secara ilegal

FGD ini merupakan kolaborasi Belantara Foundation dengan LPPM Universitas Pakuan (Unpak), Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Unpak, FMIPA Unpak, Scientific for Endangered and Trafficked Species (SCENTS).

Selain itu juga ikut berpartisipasi Yayasan SINTAS Indonesia, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Center for Transdisciplinary and Sustainable Science (CTSS) IPB University dan Forum HarimauKita.

Dolly mengatakan tujuan utama kegiatan ini untuk mengidentifikasi kebutuhan inovasi teknologi yang dibutuhkan guna mendukung pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversitas) di Indonesia, agar lebih efektif dan efisien.

Setelah kebutuhan tersebut teridentifikasi, tentu ini akan menjadi peluang besar bagi insan akademik untuk turut berperan serta dalam mengembangkan teknologi yang dibutuhkan dalam riset-risetnya.

“Di kampus, kami terus berupaya mendorong terciptanya kolaborasi antara dosen dengan pihak pengguna, agar luaran-luaran riset dosen dapat langsung diaplikasikan sesuai kebutuhan pengguna” ujar Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unpak ini.

Diskusi yang mempertemukan praktisi konservasi dan akademisi ini menjadi sangat penting dalam membahas kebutuhan lapangan, serta mencari solusi teknologi yang dapat diaplikasikan agar biodiversitas Indonesia tetap lestari.

Berdasarkan laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) memaparkan bahwa saat ini status biodiversitas di bumi semakin mengkhawatirkan.

Para ilmuwan mengungkapkan lebih dari 80 persen biomassa satwa menyusui telah hilang dari bumi disebabkan oleh kerusakan ekosistem yang mengalami kerusakan 100 kali lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir.

Tanpa sadar, penurunan biomassa yang sangat signifikan ini, menyebabkan dampak dan kerugian yang sangat besar untuk seluruh biodiversitas di bumi.

Dokumen Rencana Aksi dan Strategi Biodiversitas Indonesia 2015-2020 menjelaskan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat endemisitas biodiversitas yang sangat tinggi karena memiliki kondisi geologi dan iklim yang unik.

Indonesia merupakan rumah bagi 10 persen tumbuhan berbunga, 15 persen serangga, 25 persen ikan, 16 persen amfibia, 17 persen burung, dan 12 persen mamalia dari seluruh yang ada di dunia.

Berdasarkan Buku Panduan Identifikasi Jenis Satwa Liar Dilindungi yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2019 mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki 409 spesies amfibi (urutan ke-5 dunia), 755 spesies reptilia (urutan ke-3 dunia), 1.818 spesies burung (28 persen di antaranya  endemik).

Selain itu terdapat 776 spesies mamalia (36 persen di antaranya endemik). Dengan adanya sifat endemis tersebut, perlindungan dan konservasi biodiversitas sangat penting dan prioritas dilakukan.

Pada saat yang sama, Rektor Universitas Pakuan  Didik Notosudjono  menyatakan bahwa inovasi teknologi dapat berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan efektivitas upaya perlindungan dan konservasi biodiversitas di Indonesia.

Insan akademik di perguruan tinggi yang salah satu tugasnya melaksanakan penelitian, dituntut untuk menghasilkan sebuah karya riset yang dapat dimanfaatkan oleh para pengguna.

Dengan demikian, para dosen dan mahasiswa dapat mengembangkan berbagai riset teknologi yang luarannya dapat langsung dimanfaatkan baik untuk kebutuhan monitoring maupun untuk mendukung upaya perlindungan habitat flora dan fauna, sehingga pelestarian biodiversitas di Indonesia menjadi lebih efektif.

Direktur CTSS IPB University Damayanti Buchori mengemukakan  Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University sebagai pusat studi yang mengembangkan ilmu-ilmu terbaru tentang keberlanjutan juga terus melibatkan peran teknologi dalam pengembangan ilmu tersebut.

Penelitian transdisiplin berusaha untuk memahami masalah dan fenomena yang kompleks yang tidak dapat sepenuhnya mampu dijelaskan oleh satu disiplin atau metodologi. Pendekatan ini mendorong integrasi pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk peran teknologi.

Pendekatan transdisiplin sangat relevan dengan pengembangan dan penerapan teknologi. Pendekatan transdisiplin dapat menyatukan para pemangku kepentingan dari berbagai bidang untuk bekerja secara kolaboratif dalam menghadapi tantangan inovasi teknologi.

Hal ini dapat mengarah pada penciptaan teknologi yang lebih inovatif dan berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan beragam komunitas dan pemangku kepentingan.

Pendekatan transdisipliner dapat turut membantu memastikan bahwa perkembangan teknologi didorong oleh pertimbangan etis dan kebutuhan masyarakat, bukan semata-mata oleh kemajuan teknologi.

Misalnya, penelitian lintas disiplin dapat membantu mengidentifikasi potensi dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi dari teknologi baru dan mengembangkan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif.

Secara keseluruhan, penerapan pendekatan transdisipliner terhadap teknologi dapat menghasilkan inovasi teknologi yang lebih kuat, inklusif, dan bertanggung jawab.

Artikel Terkait

Terkini