Kearifan lokal sebagian masyarakat di Sumatera menempatkan harimau dalam dimensi spiritual sebagai satwa yang dihormati.

Koridor.co.id

Harimau Sumatera (Foto: Yayasan Kehati)

Dunia Barat (Eropa) mengakui keterkaitan antara manusia dengan serigala karena menjadi ancaman bagi permukiman manusia, seteru tetapi ada yang secara tak sadar mengakuinya sekutu. Novel klasik seperti White Fang, Jungle Book hingga cerita tentang manusia jejadian dengan serigala adalah bukti pengakuan bahwa serigala bisa menjadi sahabat manusia.  Yang paling populer novel karya Stephanie Meyer yang diangkat ke layar lebar berjudul Twilight.

Sebangun dengan sebagian masyarakat di Sumatera, seperti di Minangkabau ketika memandang harimau. Staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand) Padang, M Yunis menjelaskan, orang Minang jarang menyebut langsung harimau, tetapi lebih sering disebut “inyiak” atau inyiak balang. Inyiak dianggap suci yang artinya adalah kakek atau bapak.

“Orang Minang secara umum memandang harimau sebagai sosok yang melindungi, karena kakek atau bapak dari ayah atau dari ibu, yang tentu saja melindungi, begitu orang Minang menghargai harimau,” katanya seperti dikutip dari Langgam.

Mochtar Lubis dalam novelnya bertajuk  Harimau-Harimau yang terbit pada 1975 merupakan salah satu contoh bagaimana hewan liar ini begitu ditakuti, namun juga dipandang sebagai ‘hakim yang adil’.  

Tokoh utama dalam novel itu bernama Buyung adalah seorang pemuda berumur 19 tahun yang mencari nafkah ke hutan belantara. Buyung adalah pengumpul damar bersama Wak Katok, Pak Haji, Pak Balam, Sutan, Sanip, dan Talib yang menemaninya. Mereka bertujuh pergi ke hutan untuk mengumpulkan damar.

Perjalanan mereka yang diceritakan dalam novel kali ini merupakan suatu petualangan amat menegangkan. Buyung dan yang lainnya, dikejar-kejar oleh seekor harimau yang kelaparan. Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri.

Namun, satu per satu dari mereka menjadi korban. Pada akhir cerita Buyung berhasil membunuh harimau.  Novel menawarkan nilai bahwa harimau yang paling besar sebetulnya adalah dalam diri manusia. Walau pun tidak dijelaskan lokasi persisnya namun novel ini jelas menggambarkan kawasan Sumatera sekitar 1960-an.

Penulis SB Chandra membuat novel Manusia Harimau dan beberapa sekuelnya pada 1970-an. Begitu juga dengan Motinggo Busye (nama samaran dari penulis Bustami Djalid lahir dari orangtua Minangkabau 1937-1999) menulis 7 Manusia Harimau sekitar 1980-an yang sebangun dengan cerita “werewolf”di dunia Barat. Harimau di mata dua penulis ini memberikan kesan tidak selalu menjadi musuh manusia, tetapi juga bisa berbuat kebaikan untuk manusia.

Di Kabupaten Solok, ada legenda Inyiak Balang ada yang berhabitat di areal peladangan, hutan ulayat, dengan sebutan si-Ampang Limo. Sebutan lain seperti Inyiak Penjaga Kampung. Inyiak Balang sangat jarang memperlihatkan wujud aslinya (tubuh belang), melainkan bisa dibaca secara isyarat. Ketika ada seseorang yang tersesat di hutan, Inyiak Balang suka memberikan pertolongan.

Masyarakat di Minang memandang inyiak ini sebagai setengah hewan atau menyerupai hewan supranatural.  Begitu juga di daerah Kerinci, Jambi ada kepercayaan itu disebut Cindaku di mana ada manusia yang mengubah dirinya menjadi harimau malam hari. Tandanya jejadian, apabila manusia itu tidak punya belahan tengah di atas bibirnya.

Peter Boomgaard adalam bukunya Frontiers of Fear : People and Tiger in Malay World 1600-1950 terbitan Yale University, 2008 antara lain mengungkapkan pada masyarakat tertentu di Sumatera dan Malaysia ada kepercayaan bahwa harimau adalah reinkarnasi leluhur mereka hingga menolak untuk membunuh.

Sebagai seteru, manusia dan harimau di Sumatera bukan hal baru. Suara Rakjat Sumatera Selasa 26 Februari 1952 memuat kabar ”200 Orang Korban Harimau di Musi Ilir/Rawas” merupakan salah satu di antaranya. Kawasan Musi Ilir dan Musi Rawas pada masa itu berkeliaran binatang buas seperti harimau dan buaya.

Koran itu mengungkapkan sejak lima tahun sebelumnya (1947) harimau-harimau sering turun gunung, mengacau bukan saja memangsa ternak seperti sapi, kambing, tetapi juga manusia. Perang kemerdekaan hingga bubarnya Negara Sumatera Selatan (NSS) membuat banyak mayat berserakan dan tak dikubur menjadi santapan harimau. 

Setelah makanan habis, harimau-harimau mendatangi pinggir dusun dan menyerang ternak. Jumlah harimau terus bertambah. Sekali pun penduduk dusun, kadang kambing dikoyak dan dibongkar. Penduduk yang sedang bekerja di kebun atau yang pulang-pergi diserang menjadi korban.

Harian Fikiran Ra’jat 4 Februari 1955  memberitakan ketika terjadi banjir besar melanda Jambi. Tidak terlalu jelas di mana lokasi tepatnya hanya disebutkan seekor harimau betina dan dua ekor anaknya mengancam para pengungsi di sekitar Hutan Kerinci.

Harimau ini sebetulnya juga terjebak oleh banjir. Namun polisi akhirnya menembak mati induk harimau dan membawa dua ekor anaknya untuk dipelihara di tangsi Kota Jambi. Pembunuhan yang disebut “mengakhiri penderitaan” harimau. Fikiran Ra’jat mencatat pada Januari 1955 di Keresidenan Jambi tercatat 40 orang tewas oleh serangan harimau.

Artikel Terkait

Terkini