Milenial di berbagai negara meyakini Partai Hijau suatu hari akan menguasai pemerintahan

Koridor.co.id

Ilustrasi-Dokumentasi Melissa Kowara.

Perubahan iklim, pemanasan global, emisi karbon cenderung menjadi perhatian para milenial di seluruh dunia  terkait referensi politiknya. Pada pemilu di Jerman beberapa tahun yang lalu Partai Hijau memenangkan 15 persen suara dalam pemilihan federal.

Hal ini sesuai dengan  jajak pendapat sebelum pemilihan. Lebih 18% pemilih berusia antara 16 sampai 24 tahun ingin memilih Partai Hijau, lebih banyak daripada partai lain mana pun. Di tempat kedua ada dua partai dengan masing-masing 16%, yaitu Sosialdemokrat SPD dan Liberaldemokrat FDP. Dari kalangan pemilih di bawah 30 tahun, Partai Hijau dan FDP memang menang jauh dibanding partai-partai lain.

Sayangnya, kini para pemilih Partai Hijau kecewa. Pasalnya peristiwa di penghancuran desa di area pertambangan lignit pada area penambangan lignit di Rhine-Westphalia Utara (NRW), awal 2023 membuat kecewa para pemilihnya, terutama para aktivis iklim yang berjuang keras untuk mencegah penghancuran desa.

Partai Hijau adalah bagian dari koalisi kiri-tengah Kanselir Olaf Scholz tetapi juga dalam pemerintahan dengan Demokrat Kristen kanan-tengah di Rhine-Westphalia Utara, negara bagian terpadat di Jerman. Baik di tingkat federal maupun di NRW, Partai Hijau mengendalikan Kementerian Ekonomi.

“FDP dan Partai Hijau memang menyasar pemilih muda, tidak hanya melalui topik dan fokus kampanye pemilu mereka,” kata ilmuwan politik Anne Goldman dari Universitas Duisburg-Essen. Topik terpenting bagi para pemilih muda adalah perlindungan iklim dan digitalisasi, seperti dikutip https://www.dw.com/id/pemilih-muda-jerman-cenderung-memilih-partai-hijau-atau-fdp/a-59305825

Pada Oktober 2022, Menteri Ekonomi federal Robert Habeck (Hijau) dan Menteri Ekonomi Rhine-Westphalia Utara Mona Neubaur (Hijau) membuat kesepakatan dengan raksasa energi RWE untuk menghapus batu bara secara bertahap pada 2030, delapan tahun lebih awal dari yang direncanakan, menyelamatkan lima desa dari pembongkaran.

Hanya saja sebagai imbalan untuk mengizinkan tambang terbuka Garzweiler untuk memperluas dan menambang batu bara di bawah Lützerath. Aktivis iklim berpendapat bahwa kesepakatan itu berarti emisi telah dibawa ke depan. Seperti dilansir oleh  https://www.dw.com/en/on-climate-german-green-party-supporters-feel-betrayed/a-64470611 kompromi ini mendapat stempel persetujuan di konferensi Partai Hijau di Bonn, membuat banyak orang menggosok mata karena tidak percaya: Partai perlindungan iklim memberikan suara untuk penambangan batu bara?

Bagaimana dengan milenial Indonesia? Pada September 2021 lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) melakukan jajak pendapat. Hasilnya, perubahan iklim menjadi menjadi salah satu isu yang disorot para pemilih muda. Hal itu diketahui dari hasil yang dirilis kemarin. Sudah saatnya semua partai mengusung visi politik hijau.

Sebanyak 82 persen pemilih muda, yakni Generasi Z (Gen Z) dan milenial memiliki tingkat awareness atau kepedulian tinggi terhadap isu perubahan iklim.

Menurut Direktur eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi survei ini dibagi menjadi dua kelompok usia. Mereka yang usia 17-26 tahun, tingkat kepeduliannya mencapai 85 persen dan usia 27-35 tahun sebesar 79 persen. Data yang diperoleh, 61 persen dari Gen Z dan milenial memandang krisis iklim sebagai akibat ulah manusia, dan perlu segera diatasi.

Aktivis Extinction Rebellion (XR) Indonesia, sebuah gerakan yang berfokus pada isu krisis iklim Melissa Kowara menyampaikan tidak mudah memperjuangkan perlindungan iklim  di dunia politik, bahkan di negara maju sekali pun yang notabene populasi terdidiknya memadai.

“Saya pribadi tidak percaya kalau jalur politik bisa menjadi juru selamat dengan sendirinya. Perjuangan partai politik perlu didampingi oleh masyarakat sipil yang menggunakan hak demokratisnya dengan aksi aksi lain, upaya advokasi, gugatan, dan sebagainya,” ujar Melissa Kowara kepada Koridor, 16 Maret 2023.

Menurut  alumni University of Cambridge (Judge Business School), Queens’ College (2011) dan London School of Economics & Political Science (2010) itu, sebelum adanya gerakan sipil yang cukup besar (setidaknya 3,5% dari populasi setempat) , partai politik hijau akan merasa ‘kalah’ karena kurang dukungan untuk menggebrak dari dalam. 

Dia mengingatkan kecuali partai politik hijau itu sudah menguasai mayoritas dari dalam, tapi untuk menjadi mayoritas pun butuh dukungan masyarakat sipil untuk memilih mereka.

“Tapi ini semua proses,  saya  percaya bahwa partai hijau di mana pun (atau partai yang mempraktikkan demokrasi partisipatoris yang nonhirarkis) pasti pada akhirnya akan menguasai pemerintahan di mana pun. Ini butuh waktu dan kesiapan yang berbeda-beda setiap negara. tapi trennya pasti akan kesana. Jadi  kalah sekarang lebih tepat disebut belum menang,” paparnya.

Mengapa parpol Indonesa cenderung kurang menyuarakan masalah lingkungan. Menurut Melissa  politik di indonesia sangat dikuasai oleh oligarki. Sebelum bisa ikut pemilu, untuk menjadi partai beneran saja membutuhkan modal besar.

“Belum lagi masuk pemilu. dan syarat-syaratnya makin lama makin dipersulit memang untuk menghentikan partai alternatif yang murni kepentingan rakyat untuk bisa maju berkontestasi,” imbuhnya.

Dengan demikian sulit sekali mengembangkan partai secara idealis dengan beneran, tapi di sisi lain sulit juga untuk mengembangkan partai melalui gerakan masyarakat sipil yang lumayan alergi dengan kata ‘partai’. Mungkin ada unsur trauma juga diperalat oleh partai yang sudah sudah.

“Kalau ditanya penting yang mana, semuanya penting ya. kita memang harus membangun partai hijau, tapi juga harus menghijaukan semua pihak, baik itu melalui partai yang ada di parlemen mau pun yang akan berkontestasi di pemilu ke depannya,” katanya menegaskan.   

Menurut Melissa eksistensi partai hijau tetap harus menjadi keharusan untuk bisa merubah sistem politik  Indonesia ke depan supaya bisa menjalankan praktik demokrasi partisipatoris yang sebenarnya.

“Di mana kita bisa memastikan politik tidak lagi bisa dikuasai segelintir by design, tetapi sambil membangun itu, kita harus mendorong semua pihak untuk membumikan ‘penghijauan’ di Indonesia,” pungkasnya.

Rhyma Permatasari-Foto; Irvan Sjafari.

Sementara itu pada kesempatan terpisah aktivis lingkungan muda Kota Bandung Rhyma Permatasari mengatakan perlu kesadaran kolektif dari latar belakang apa pun, -pihak akademisi terlibat menanamkan jiwa kepedulian pada lingkungan.

“Tetapi kalau saya jujur lebih efektif buat partai green. Karena orang-orangnya punya visi dan misi yang sama dan man power yang kuat.  Kalau ada orang parpol yang peduli lingkungan man powernya sangat kurang,” katanya.

Artikel Terkait

Terkini