Benteng terakhir keanekaragaman hayati dan diversifikasi pangan lokal Nusantara itu adalah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Papua (Banusramapa). Sebanyak 7.280 dari 17.504 pulau yang ada di Indonesia barada di Banusramapa.
Sayangnya menurut Walhi Region Banusramapa kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini berkebalikan dengan prinsip kekayaan biodiversitas, serta kedaulatan dan keberlanjutan pangan masyarakat di kawasan yang memiliki ciri panjang wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil ini.
“Di antaranya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022, yang bias pembangunan infrastruktur dan industrialisasi skala besar berbasis kawasan,” ujar Perwakilan Walhi Nasional Hadi Jatmiko dalam keterangan tertulisnya terkait pertemuan Walhi Region Banusramapa di Lombok 7 hingga 11 Februari lalu yang diterima Koridor, 19 Februari 2023.
Pada masa depan, orientasi pembangunan semacam ini akan mendorong hilangnya ruang kedaulatan rakyat, baik dalam tata kuasa maupun tata kelola kelola rakyat.
Walhi region Banusramapa menilai pembangunan infrastruktur, industrialisasi berbasis kawasan (industri pertambangan, industri kehutanan, perkebunan sawit monokultur, industri food estate dan industri pariwisata) sangat berpotensi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Selain itu kebijakan ini menyingkirkan hak kuasa dan kelola masyarakat di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil di wilayah Bali, Nusa tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur Maluku Utara dan Papua. Dari data Izin Usaha Pertambangan per November 2021, tercatat 2.919.870,93 hektar (1.405 IUP) wilayah pesisir, dan 687.909,01 hektar (324 IUP) wilayah laut (lihat Tabel 1).
“Kami mencatat sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang. Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, mendorong penurunan jumlah nelayan yang sangat signifikan,” ungkap Hadi.
Selain dampak pertambangan, proyek reklamasi di tahun 2019 dengan luasan 79.348 hektare telah mengakibatkan 747,363 orang nelayan kehilangan wilayah tambatan perahu dan wilayah tangkapan di pesisir laut. sementara total luasan reklamasi yang direncanakan sampai 2040 yang tertuang dalam 22 RZWP3K seluas 2.698.734,04 Ha.
Sektor pariwisata dan kawasan konservasi laut yang juga merupakan rangkaian proyek strategis nasional berkontribusi terhadap hilangnya wilayah tangkapan nelayan. Pemerintah menargetkan 32 juta ha pada 2030 kawasan konservasi laut.
Terdapat 88 KSPN sampai tahun 2025, mayoritas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada ratusan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dan Kawasan Destinasi Pariwisata Nasional (KDPN).
Sepanjang 2010–2019, telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Pada 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun pada 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang. Dalam satu dekade terakhir, 330.000 orang nelayan di Indonesia telah hilang. Penyebab utamanya diakibatkan oleh industri ekstraktif, seperti tambang pasir di laut yang merusak wilayah tangkap nelayan.
Kebijakan pembangunan di Indonesia belum memperlihatkan arah pada jalur yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris untuk menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius seperti yang disampaikan presiden Indonesia dalam pidatonya di pertemuan COP 26 yang berlangsung di Glasgow.
Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Februari 2022 mengemukakan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis.
Imbasnya akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia sebesar 24 persen. 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang.
Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada 2030.
Masyarakat yang berada di 3.658 desa pesisir di Banusramapa akan merasakan dampak dari kebijakan proyek strategis nasional terutama penggunaan energi fosil dalam pengembangan industri pertambangan terutama di wilayah timur Indonesia.
Hal ini semakin mempercepat laju degradasi lingkungan serta krisis iklim yang berdampak pada kerentanan pangan, ketidakpastian hasil tangkapan nelayan, hilangnya pulau-pulau kecil dan bencana ekologi.
Walhi Region Banusramapa melihat rezim saat ini sepertinya melupakan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam karena dikelilingi oleh gunung berapi aktif yang tersebar di darat dan dilaut, 12 sesar aktif yang berpotensi terjadinya gempa dan tsunami.
“Kebijakan yang dipenuhi oleh industri ekstraktif justru akan mempercepat bencana ekologi serta menciptakan pengungsi iklim akibat dari hilangnya tempat bermukim di pesisir dan pulau-pulau kecil,” pungkas Hadi.