Peneliti dari Departemen Zoologi dan Fisiologi Universitas Wyoming Michael Dillon menperingatkan perubahan iklim berpotensi membuat sejumlah spesies serangga punah.
Salah satu penulis manuskrip berjudul Peringatan Ilmuwan tentang Perubahan Iklim dan Serangga, yang dirilis 7 November 2022, di jurnal Monografi Ekologi. Ke-70 ilmuwan dari 19 negara menambah deretan ilmuwan dunia yang memperingatkan konsekuensi lingkungan yang serius akibat penurunan jumlah serangga akibat perubahan iklim.
“Serangga ada di mana-mana dan memainkan peran penting tetapi seringkali kurang dihargai di mana pun di Bumi, dari Antartika hingga Gurun Sahara,” ujar Dillon dalam http://www.uwyo.edu/uw/news/2022/11/uw-scientist-joins-colleagues-in-warning-on-climate-change-and-insects.html#
Mereka sering secara langsung memengaruhi orang, baik secara positif sebagai, misalnya, penyerbuk dan pengurai, dan secara negatif sebagai hama tanaman dan vektor penyakit.
Manuskrip menyajikan berbagai bukti seperti bagaimana bahkan ketika lalat buah, kupu-kupu, dan kumbang tepung bertahan dari gelombang panas, jantan atau betina menjadi steril dan, dengan demikian, tidak dapat bereproduksi.
Lebah, khususnya, sangat sensitif terhadap panas, dan perubahan iklim sekarang dianggap sebagai faktor utama penurunan beberapa spesies Amerika Utara. Lebah adalah penyerbuk penting di alam liar tetapi juga sangat penting secara komersial.
Dillon menyebutkan, banyak sayuran yang kita makan ditanam di rumah kaca, lebah digunakan sebagai penyerbuk, sehingga penurunan lebah terkait iklim sangat mengkhawatirkan.
Penulis utama dari Institut Ekologi Belanda dan Vrije Universitet Amsterdam menuturkan, perubahan iklim memperburuk masalah lingkungan yang dimediasi manusia lainnya. Termasuk hilangnya dan fragmentasi habitat, berbagai bentuk polusi, pemanenan berlebihan dan spesies invasif.
Serangga memainkan peran penting dalam begitu banyak ekosistem, tetapi kita dengan cepat kehilangan setidaknya sebagian dari mereka.
Para penulis mengatakan peristiwa jangka panjang dan ekstrem jangka pendek merugikan serangga dalam beberapa cara, terutama di daerah beriklim sedang.
Peningkatan suhu permukaan global secara bertahap memengaruhi serangga dalam fisiologi, perilaku, fenologi, distribusi, dan interaksi spesiesnya. Berbagai peristiwa ekstrem yang semakin lama semakin meninggalkan jejaknya, cuaca panas dan dingin, kebakaran, kekeringan, dan banjir.
Salah satu kekhawatiran utama penurunan serangga di dunia yang menghangat adalah bahwa tumbuhan — yang menjadi tumpuan serangga untuk makanan dan tempat tinggal — sama-sama terpengaruh oleh perubahan iklim.
“Seiring waktu, serangga harus menyesuaikan siklus hidup dan distribusi musiman mereka saat menghangat,” kata Harvey.
Kemampuan mereka untuk melakukan ini terhalang oleh ancaman lain yang disebabkan oleh manusia seperti perusakan dan fragmentasi habitat, dan pestisida.
Selain itu, gelombang panas jangka pendek dan kekeringan dapat merusak populasi serangga secara drastis, membuat serangga kurang mampu beradaptasi dengan pemanasan bertahap. Pemanasan dalam skala waktu yang berbeda menimbulkan berbagai jenis ancaman bagi serangga.
Para ilmuwan tidak hanya menjelaskan masalah, tetapi juga membahas berbagai solusi dan strategi manajemen untuk membantu serangga penyangga terhadap pemanasan iklim.
Ini termasuk menumbuhkan berbagai tanaman liar dan menyediakan makanan dan area di mana serangga dapat berlindung untuk keluar dari iklim ekstrem. Mengurangi penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya juga dianjurkan.
“Serangga adalah makhluk kecil yang tangguh, dan kita harus lega karena masih ada ruang untuk memperbaiki kesalahan kita,” kata Harvey.
Hanya saja, katanya waktu hampir habis. Umat manusia memerlukan kebijakan untuk menstabilkan iklim global. Sementara itu, baik di tingkat pemerintah maupun individu, kita semua dapat ikut serta dan menjadikan lanskap perkotaan dan pedesaan lebih ramah terhadap serangga.
Pada Oktober lalu tim ilmuwan Australia memberi peringatan yang sama bahwa “kiamat serangga” yang muncul akan memiliki efek radikal pada lingkungan dan umat manusia.
Studi ini menemukan skenario perubahan iklim yaitu hilangnya serangga secara drastis akan mengurangi kemampuan manusia untuk membangun masa depan yang berkelanjutan.
Salah seorang penulis William Laurance, dari James Cook University di Australia, mengatakan biosfer telah menghangat sekitar 1,1 derajat Celcius sejak industrialisasi.
Tim memproyeksi suhu akan menghangat 2–5 derajat Celcius lebih lanjut pada tahun 2100 kecuali emisi gas rumah kaca berkurang secara signifikan.
“Ukuran tubuh serangga yang kecil dan ketidakmampuan mengatur suhu tubuhnya membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan suhu dan tingkat kelembapan, kata Laurance dalam pernyataan dikutip dari https://phys.org/news/2022-10-scientists-insect-apocalypse-climate.html
“Hilangnya serangga mempengaruhi rantai makanan, dan mungkin sudah memainkan peran penting dalam penurunan luas konsumen mereka, seperti burung pemakan serangga di lingkungan beriklim sedang,” ujar Lawrence.
Serangga adalah bagian penting dari keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa bagi lingkungan lebih luas, termasuk penyerbukan, pengendalian hama, dan daur ulang nutrisi, yang semuanya bermanfaat bagi makhluk lain, termasuk manusia.
Studi tersebut menemukan perubahan iklim memperkuat efek dari faktor-faktor lain yang mengancam populasi serangga, seperti polusi, hilangnya habitat, dan pemangsaan.
“Sangat penting untuk mengelola dan memulihkan habitat yang menjadikan mereka ‘tahan iklim’ sebanyak mungkin dan memungkinkan serangga menemukan tempat berlindung di mana mereka dapat mengatasi peristiwa iklim ekstrem,” kata Laurance.