Jeruk awalnya komoditas Kota Batu dan Malang, belakangan bertambah budidaya apel

Koridor.co.id

Ilustrasi-Foto: https://www.batukita.com/2020/09/masuknya-pertanian-kolonial-di-daerah-batu-sejarah-daerah-batu-malang-12.html

De vrije pers : ochtendbulletin,  edisi  25 Juli 1951 mengungkapkan mereka yang mengunjungi kawasan Batu atau Punten (Bumiaji sekarang)  akan bertemu dengan banyak pedagang yang menawarkan apel untuk dijual.

Apel ini berasal dari Batu, Punten dan sekitarnya. Diperkirakan terdapat lebih dari 60.000 pohon apel dapat ditemukan. Ceritanya, sebelum Perang Dunia Kedua, beberapa petani Eropa  yang tinggal di wilayah tersebut bereksperimen dengan budi daya varietas apel Belanda.

Namun, hasilnya biasa-biasa saja. Buahnya memang muncul, tetapi kecil dan hampir tidak bisa dimakan. Namun, setelah bertahun-tahun bereksperimen, dimungkinkan untuk membudidayakan pohon apel yang menghasilkan buah-buahan kecil tetapi sangat dapat dimakan.

Selama perang: budi daya apel benar-benar terancam. Kebun diabaikan. Beberapa petani Indonesia yang giat kemudian merawat pohon dan melanjutkan budi daya. Harga 1kg apel pada masa itu berkisar Rp8 hingga Rp10.

Sebelum adanya apel para petani asal Eropa  memperkenalkan budi daya  jeruk pada penduduk lokal.  Gids voor Batoe en omstreken edisi 1934 menyampaikan  budi daya tanaman hortikultura memberikan mata pencaharian bagi banyak orang di wilayah ini.  

Budi daya ini ternyata memberikan kontribusi yang signifikan antara lain untuk meningkatkan anggaran rumah tangga. Sebagai aturan, selain properti sawah dan/atau tegalan tertentu, penduduk asli memiliki pekarangan yang cukup luas di mana terdapat pohon jeruk, seringkali dengan tanaman perantara sayuran dan bunga.

Mayoritas penduduk Eropa juga mempraktikkan cabang budaya tanah ini, baik sebagai hobi dan hiburan, atau sebagai sarana penghidupan atau untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Majalah itu menyebutkan jeruk keprok  dan  “Jeruk Manis dari Batu” unggul dalam hal rasa dan bau sehingga secara umum dikenal dan dicintai masyarakat karena kualitasnya. Majalah itu mengungkapkan bahwa budi daya jeruk sudah ada selama kira-kira 35 tahun.

Itu artinya sejak awal abad ke 20. Sumber ini diperkuat oleh Preanger Bode edisi 23 Mei 1919 memuat iklan kedatangan 100 buah jeurk manis seharga 2,50 gulden dari Batu Malang.

Pada awalnya  budi daya jeruk  dimulai di   Desa Sumbergondo, Bulukerto, dan Punten. Budi daya ini secara bertahap meluas ke desa-desa lainnya. Penghitungan pohon pada  1926 yang dilakukan oleh Dinas Hortikultura Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan memberikan hasil dalam bilangan bulat sebagai berikut: Jeruk manis  Batu terhitung sebanyak 46.000 pohon dan jeruk keprok 85 ribu pohon.

Pada perkembangannya budi daya jeruk  sempat mengalami degradasi. De nieuwsgier  7 Februari 1955 menyebutkan Kepala Dinas Pertanian Umum Kustomo menyatakan  sebelum perang, Batu memasok jeruk dan djeruk keprok untuk seluruh Jawa Timur, dan bahwa penanaman lemon menghasilkan jutaan gulden bagi para petani. Karena penyakit akar, pohon jeruk di Batu hampir punah. Pada 1954 dan 1955 mereka mulai menanam kembali.  Para petani mencoba menanam 10 ribu pohon jeruk manis dan jeruk keprok.

Pada 1953, Bagian Perkebunan Rakyat (sekarang : Lembaga Penelitian Hortikultura) mendatangkan beberapa jenis apel dari luar negeri, termasuk Rome Beauty dan Princess Noble. Budi daya apel makin berkembang.  

Sejak 1960 tanaman apel sudah banyak ditanam di Batu untuk mengganti tanaman jeruk yang mati diserang penyakit. Sejak saat itu tanaman apel terus berkembang di dataran tinggi Kota Batu, Poncokusumo (Malang) dan Nongkojajar (Pasuruan).

http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/sejarah-perkembangan-apel-di-indonesia/  mencatat  sejak sekitar 1980 hingga 1990, produksi apel Kota Batu mengalami masa kejayaan.  Selanjutnya, sejak krisis moneter pada tahun 1997 produksi apel cenderung menurun.



Artikel Terkait

Terkini