Berbagai pihak menilai konferensi iklim COP27 di Sharm el-Shekh, Mesir tidak terlalu memuaskan. Padahal, pertemuan berhasil membuat kesepakatan tentang pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan (loss and damage).
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan kesepakatan ini di satu sisi menjadi awal yang baik untuk menuju keadilan iklim. Namun di sisi lain berbagai isu krusial, di antaranya negara mana yang harus membayar baru akan dibahas dalam COP tahun depan.
“Bukankah itu menandakan masih ada keengganan negara besar untuk membayar kerusakan iklim, membayar biaya kerusakan iklim akibat emisi yang mereka hasilkan selama ini,” cetus pria yang karib disapa Leo ini dalam keterangan tertulisnya, 19 November 2022.
Masih ada pekerjaan rumah bagi pegiat lingkungan untuk memastikan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas krisis iklim memberikan kontribusi terbesar untuk pendanaan loss and damage.
Leo mendesak COP27 memastikan negara-negara maju menepati janji mereka. Ini mengingat tak terpenuhinya janji mereka sebelumnya, yakni mengalokasikan USD100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara berkembang bertransisi ke energi bersih dan meningkatkan ketahanan menghadapi krisis iklim.
Di sisi lain Greenpeace menyesalkan tak ada komitmen untuk mengakhiri penggunaan semua bentuk energi fosil (batu bara, minyak, dan gas bumi) dan seluruh subsidi untuk energi fosil tersebut. Sejumlah negara utara dan selatan sebenarnya menyuarakan desakan itu, tetapi ditolak oleh Presidensi COP27 Mesir.
Kompromi ini dipengaruhi oleh lobi raksasa-raksasa energi fosil ini akan membawa bumi dan penghuninya menuju rangkaian bencana iklim permanen.
COP27 hanya mengulang kesepakatan untuk phasing down penggunaan batu bara—poin yang sebenarnya sudah disepakati sejak COP26 di Glasgow.
Greenpeace juga menyesalkan tidak tercapainya kesepakatan dan target waktu yang jelas untuk penggandaan dana global dalam membantu negara-negara miskin dan berkembang melakukan adaptasi.
Sejauh ini, COP27 hanya mengakui bahwa diperlukan setidaknya USD5,6 triliun untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi krisis iklim sampai 2030.
Hal senada juga dinyatakan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Demokratik Kongo (DRC) Ignace Moza Bonda. Ia menyatakan tidak ada janji pembiayaan di COP27.
“Dengan dua per tiga populasi negara dalam kemiskinan, desa-desa di hutan hujan tidak punya banyak pilihan selain melakukan penebangan atau produksi arang untuk bertahan hidup,” tuturnya seperti dikutip https://news.mongabay.com/2022/11/cop27-long-on-pledges-short-on-money-for-forests-congo-basin-at-risk/ .
Masyarakat adalah penjaga sebenarnya dari sumber daya tersebut. Ketika hutan sebagai sumber daya dapat menghasilkan pendapatan, komunitas ini akan memiliki potensi untuk menghindari pembangunan yang merugikan semacam ini. Artinya komunitas ini tidak akan tetap dalam kemiskinan abadi yang sama.
Cekungan Kongo, hutan hujan terbesar kedua di dunia, untuk melihat keseriusan masalah pendanaan: Hilangnya hutan di sana meningkat 5% pada tahun 2021, dan banyak yang khawatir bahwa hutan hujannya dapat dengan cepat dilanda di semua sisi oleh penebangan- dan-membakar pembukaan lahan, sebagai konsesi perusahaan untuk kayu, perkebunan dan pertambangan kobalt dan tembaga meningkat.
Hutan Kongo sangat penting untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati dan iklim yang dihadapi dunia. Ini memiliki penyerap karbon terbesar di daerah tropis, menghilangkan lebih dari 600 juta ton setara CO2 per tahun, hampir enam kali lebih banyak dari Amazon.
Sebagian besar gambut di bawahnya, menyimpan 8,1 miliar ton karbon yang “tidak dapat dipulihkan” yang, jika dilepaskan, tidak dapat ditangkap kembali pada waktunya untuk mencegah dampak iklim yang berbahaya.
DRC, salah satu negara termiskin di dunia, hutan pasti akan disewakan untuk ekstraksi sumber daya, kata para ahli, kecuali pendanaan internasional membuatnya lebih menguntungkan untuk melestarikannya. Pada Juli 2022, negara tersebut mengumumkan lelang blok minyak dan gas di hutan hujan, termasuk di Taman Nasional Virunga, suaka gorila terpenting di dunia.
Ketika utusan iklim Amerika Serikat John Kerry meminta Presiden DRC Félix Antoine Tshisekedi Tshilombo untuk menghentikan lelang pra-COP di Kinshasa pada Oktober 2022, Tshisekedi menunjukkan bahwa AS masih mengembangkan minyak di wilayahnya sendiri.
Namun Tshisekdi dengan santai menjawab Amerika sedang mengebor minyak di Texas, mengapa Amerika meminta Kongo untuk tidak mengebor.
Amerika Serikat telah berjanji menginvestasikan USD9 miliar untuk melestarikan hutan global pada 2030 dan membentuk “kelompok kerja” dengan DRC untuk melindungi lahan gambut dan hutan hujan.
Namun negara besar ini belum menandatangani kesepakatan bilateral untuk berkomitmen mendanai pelestarian hutan di negara tersebut.