Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap nilai ekspor perikanan periode Januari-November 2022 mencapai USD5,71 miliar. Sedangkan impor periode yang sama hanya USD640 juta.
Tiga besar ekspor perikanan Indonesia, disumbangkan udang dengan nilai USD1.997,49 juta, Tuna-Cakalang-Tongkol senilai USD865,73 juta, Cumi-Sotong-Gurita sebesar USD657,71 juta, Rumput Laut sebesar USD554,96 juta dan Rajungan-Kepiting sebesar USD450,55 juta.
Indonesia memproduksi ikan tuna sebanyak 358.626,16 ton pada 2021. Jumlah tersebut naik 19,22% dibandingkan 2020 tercatat sebesar 300.803,5 ton
Tanah air kita Indonesia diperhitungkan dalam bisnis tuna. Data resmi FAO melalui SOFIA pada 2016 terdapat 7,7 juta metrik ton tuna dan spesies seperti tuna ditangkap di seluruh dunia. Di tahun yang sama Indonesia berhasil memasok lebih dari 16% total produksi dunia dengan rata-rata produksi tuna, cakalang dan tongkol Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta ton/tahun.
Pada Hari Tuna Sedunia, WWF (organisasi konservasi lingkungan) Internasional, Pepe Clarke Head of Ocean Practice, mengingatkan jangan hanya faktor ekonomi yang patut diperhatikan. Tetapi juga aspek keberlanjutan.
Tuna memainkan peran penting dalam ekosistem laut. Penangkapan ikan yang berlebihan membahayakan kesehatan laut – berdampak buruk bagi planet ini secara keseluruhan.
Sebanyak 15 spesies tuna telah ditemukan dan mereka adalah keajaiban laut – predator yang kuat, sangat beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka melakukan migrasi secara maraton, tetapi juga dapat menggunakan kecepatan luar biasa, menyelam seperti torpedo.
Di belahan dunia lain keberadaan tuna menjad perhatian para badan lingkungan. WWF menyampaikan penangkapan ikan tuna sirip biru di Atlantik Timur dan Mediterania meningkat secara dramatis pada 1980-an dan 90-an. Aktivitas perikanan dilakukan hampir tidak ada batasan, bebas untuk semua.
Pesawat pengintai dan speed boat digunakan untuk menemukan kawanan tuna. Lebih banyak nelayan berarti lebih banyak pasokan, sehingga harga turun dan upaya penangkapan ikan meningkat. Itu adalah bencana.
Kemudian pada 1996, tuna jenis sirip biru Atlantik terdaftar sebagai spesies yang terancam punah; di Atlantik Timur dan Mediterania, populasinya turun 85% dibandingkan dengan tingkat tahun 1950-an.
Di Samudra Hindia, penangkapan ikan berlebihan mendorong penurunan dramatis tuna sirip kuning, dengan populasi menurun hingga 50% hanya dalam 15 tahun antara tahun 2005 dan 2020.
Dengan jumlah tuna sirip kuning mencapai dua per tiga dari tangkapan tuna di kawasan itu, penangkapan ikan berlebihan mengancam ketahanan pangan kesehatan dan kesejahteraan nelayan skala kecil di negara berkembang yang sangat bergantung pada ikan untuk protein dan mikronutrien vitalnya.
Penangkapan ikan yang berlebihan juga merusak kelangsungan hidup perikanan komersial – kesalahan logika jangka pendek yang sama hampir menyebabkan keruntuhan tuna sirip biru Atlantik.
Organisasi konservasi, pengepul, dan pelaku di rantai pasok menyerukan tindakan untuk segera membalikkan penurunan tuna sirip kuning di Samudra Hindia. Permintaan utama untuk pertemuan Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC – Indian Ocean Tuna Commission) pada Mei 2023 adalah mengadopsi pengurangan total tangkapan minimal 30% dari rata-rata tangkapan di tahun 2020 dan memastikan pengurangan ini tercapai.
Secara global batas tangkapan akhirnya diperkenalkan pada akhir 1990-an, batas tersebut masih terlalu tinggi untuk membendung penurunan, dan lemahnya pemantauan atau penegakan berarti batas sederhana ini tidak banyak berdampak. Dorongan untuk mendapatkan keuntungan menjadi jalur cepat menuju matinya sumber keuntungan – terlihat ada kesalahan dalam logikanya.
Akhirnya, pada 2006, serangkaian tindakan pengelolaan disepakati. Ini termasuk pengurangan yang signifikan dalam kapal penangkap ikan, penerapan batas tangkapan berbasis sains, penetapan ukuran minimum.
Indikator lainnya ialah ukuran ikan remaja tidak akan ditangkap sebelum mereka dapat bertelur, larangan pesawat pengintai, dan penempatan pengamat di banyak kapal untuk memantau kepatuhan.
Memang diperlukan kompromi dan komitmen dari kelompok-kelompok dengan kepentingan berbeda: nelayan, pengepul ikan, pemerintah, ilmuwan, konservasionis – bahkan konsumen. Orang-orang perlu tahu dari mana ikan mereka berasal dan bagaimana cara menangkapnya, dan membuat pilihan yang masuk akal tentang seberapa sering mereka mengkonsumsinya.
Tetapi dengan partisipasi semua kelompok itu, reformasi berhasil. Populasi tuna sirip biru Atlantik kini sebagian besar telah pulih, dengan tren populasi yang terus meningkat. Tahun lalu, aturan baru diadopsi yang akan menambah atau mengurangi batas tangkapan sejalan dengan status stok, membebaskan keputusan manajemen dari tekanan politik jangka pendek.
Seperti telah dilakukan oleh Indonesia, pada 2020 mengubah dan memperbarui peraturan terkait penetapan kawasan lindung dan larangan penangkapan ikan di daerah pemijahan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia 714 pada Oktober – Desember.
“Ini akan berkontribusi pada perikanan, pasar, dan populasi tuna yang lebih stabil. Ini adalah kisah tentang apa yang mungkin terjadi ketika kita menetapkan pikiran untuk mempertahankan dan memulihkan kelimpahan sumber daya laut dan perikanan,” tulis WWF dalam siaran persnya.