Deforestasi hutan Aceh 10.000 hektar per tahun, dalam kurun waktu lima tahun terakhir

Koridor.co.id

Wali Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)  Tgk. Malik Mahmud Al Haythar  meminta  agar  provinsi itu diberikan wewenang untuk mengelola sektor kehutanan. Pasalnya sektor itu tidak termasuk dalam wewenang Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur pasal 7 dan pasal 156 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang mengatur pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Aceh.

Permintaan itu diajurkan  Wali NAD  pada Rapat Pembahasan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Aceh, yang dilaksanakan di Jakarta, 24 Februari 2023.

Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe, M. Nasir Syamaun MPA menginformasikan, kehadiran Wali Nanggroe pada rapat tersebut dalam rangka memenuhi undangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI Direktorat Jenderal (Dirjen) Bina Administrai Kewilayahan.

“Rapat tersebut merupakan bagian tindaklanjut Surat Wali Nanggroe Nomor: 089/146 Tanggal 12 September 2022, Hal Permohonan Peraturan Presiden tentang Badan Pengelola Sumber Daya Hutan Aceh,”  ujar Nasir.

Pada rapat tersebut, kata M. Nasir, Wali Nanggroe menjelaskan dasar-dasar hukum kewenangan Aceh dalam pengelolaan hutan, perkembangan terkini kondisi hutan Aceh berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Kehutanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dan permintaan kepada Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) untuk menetapkan kebijakan pengelolaan hutan, sebagaimana yang telah diajukan Wali Nanggroe.

Dalam rapat terseut Malik  mengungkapkan berdasarkan berbagai analisis dan informasi hutan Aceh mengalami deforestasi tidak kurang dari 10.000 Ha per tahun, dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Menurut dia deforestasi tidak hanya disebabkan illegal logging, juga karena bencana alam dan okupasi masyarakat yang membuka lahan perkebunan di kawasan hutan.

Wali Nanggroe mengklaim mempunyai data temuan terakhir, kegiatan penambangan tanpa izin (PETI) yang beroperasi di kawasan hutan Aceh. Aktivitas ini diduga menjadi salah satu penyebab utama banjir, longsor dan kebakaran, dan merupakan trend yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Saat ini pengelolaan Kawasan Hutan Lindung (KHL) yang ditetapkan berdasarkan hasil skoring oleh Kementerian LHK, ternyata belum optimal.

Seharusnya hutan lindung mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, dibandingkan dengan Kawasan hutan produksi yang ada, melalui pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Dari data KLHK selama lima tahun terakhir, menunjukkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui pemanfaatan hutan Aceh tidak lebih 2 miliar per tahun, dan menempatkan Aceh pada urutan 10 terendah.

Wali NAD menyampaikan saat ini ada tiga perusahaan yang telah dicabut izin konsesi oleh BKPM Pusat karena menelantarkan lahan, dengan total 130.634 hektar.

Masing-masing PT. Rimba Penyangga Utama seluas 6.150 hektar, PT. Aceh Inti Timber seluas 80.084 hektar, dan PT. Lamuri Timber seluas 44.400 hektar.

Sementara pada kesempatan lain Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HakA)  mengungkapkan perkembangan terakhir kondisi hutan di Provinsi Aceh  selama 2022.

Pemantauan tersebut menggunakan metode penginderaan jauh dengan interpretasi visual manual citra satelit yaitu Landsat 8, Sentinel 2 dan Planet Scope serta dibantu dengan GLAD Alert – peringatan dini kehilangan pohon dari Global Forest Watch (GFW

Pemantauan tersebut menghasilkan informasi kehilangan tutupan hutan Aceh. Hasil temuan terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) diverifikasi di lapangan, memanfaatkan drones dan menggunakan citra satelit resolusi tinggi – Google Earth.

Seharusnya Provinsi Aceh memiliki luas hutan yang terbesar di Pulau Sumatera (Menurut KLHK 2020: 55 persen daratan Aceh masih berhutan). Dengan kondisi tutupan hutan yang masih luas, semestinya Aceh lebih aman dari ancaman bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor dan kekeringan.

Namun data BNPB tidak menunjukkan demikian, ternyata Aceh menjadi Provinsi tertinggi se-Sumatera kejadian bencananya selama 4 tahun berturut-turut dari 2019 sampai 2022 kemarin.

Kondisi miris bencana banjir bahkan terjadi di 21 dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh pada  2022 kemarin. Lebih menyedihkan  lagi awal tahun ini – Januari 2023, Aceh sudah menjadi Provinsi tertinggi lagi terjadi bencana se-Sumatera menurut BNPB. 

Manager GIS Yayasan HAkA, Lukmanul Hakim menyebutkan Aceh memiliki tren kehilangan tutupan hutan yang terus menurun dan cukup stabil 2 tahun terakhir 2021 dan 2022. 

 “Kami memperkirakan Aceh telah kehilangan tutupan hutan seluas ± 9.383 hektar sepanjang 2022,” ucap Lukmanul Hakim saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Deforestasi dan Bencana Hidrologi di Aceh” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beberapa waktu lalu.

Ia mengungkapkan kabupaten dengan dugaan kehilangan tutupan hutan terbesar adalah Aceh Selatan dengan luas 1.883 hektar, diikuti Aceh Jaya 776 hektare dan Aceh Timur 753 hektar.  Sekitar 56 persen dugaan hilangnya tutupan hutan terjadi di kawasan hutan.

Kabar baik dari Taman Nasional Gunung Leuser Aceh (TNGL Aceh) yang merupakan kawasan konservasi ternyata memiliki tren kehilangan tutupan hutannya yang terus menurun.

Pada  2022  diperkirakan kehilangan hutan di TNGL Aceh hanya seluas 179 hektar atau merupakan yang terendah selama 8 tahun terakhir. 

Berbeda dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang juga merupakan salah satu kawasan konservasi yang justru kondisinya sangat memprihatinkan. Tren kehilangan hutan terus meningkat. Kehilangan hutan sangat masif terjadi.

“Kami mendapati ada sekitar 716 hektar hutan yang hilang selama 2022. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding akumulasi 4 tahun sebelumnya,” pungkasnya (Irvan Sjafari).

Artikel Terkait

Terkini