Sejarah mencatat 4 Maret 2023 sebagai tonggak untuk konservasi laut setelah perjuangan panjang Global Ocean Treaty akhirnya terwujud. Setelah perdebatan dan diskusi selama bertahun-tahun, negara-negara telah menyepakati untuk melindungi keanekaragaman hayati laut dan memberikan pengawasan terhadap perairan internasional.
Para peneliti menilai perjanjian ini sebagai langkah penting untuk konservasi yang mendorong kolaborasi penelitian internasional tanpa menghambat sains. Peneliti Hukum Lingkungan Laut di Middlebury Institute of International Studies di Monterey, California Kristina Gjerde menyatakan kegembirannya.
“Perjanjian yang telah lama ditunggu-tunggu ini mengandung banyak hal penting yang kita butuhkan untuk melindungi lautan kita,” ujar Kristina seperti dikutip dari https://www.nature.com/articles/d41586-023-00684-z
Kata-kata terakhir dari perjanjian tersebut didiskusikan oleh delegasi Konferensi Antarpemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati Laut di Area Di Luar Yurisdiksi Nasional (BBNJ) pada akhir pertemuan dua minggu di New York City. Sesi terakhir, yang berlangsung selama 38 jam tanpa gangguan, selesai pada 4 Maret 2023.
Negara-negara memiliki yurisdiksi atas perairan yang membentang sejauh 200 mil laut (370 kilometer) dari pantai mereka. Di luar itu adalah laut lepas, yang membentuk sekitar dua per tiga samudra global, atau lebih dari 70% permukaan bumi.
Beberapa kegiatan diatur di perairan ini. Termasuk penangkapan ikan paus, pelayaran, dan penambangan dasar laut, melalui mekanisme seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Namun, secara keseluruhan, laut lepas telah lama dianggap sebagai ‘wild west’ lautan, dengan sedikit peraturan dan regulasi, terutama terkait perlindungan keanekaragaman hayati.
Perjanjian diperlukan untuk menutup celah ini, mengingat pentingnya laut lepas bagi kehidupan laut dan iklim global; ide ini pertama kali disinggung 20 tahun lalu. Pada 2017, PBB memutuskan secara resmi mengadakan konferensi antarpemerintah untuk merumuskan sebuah perjanjian, tetapi para delegasi bertemu tanpa mencapai tujuan mereka di tahun-tahun berikutnya.
Meskipun negara-negara akhirnya berhasil pada 4 Maret, mereka kehabisan waktu untuk secara resmi mengadopsi perjanjian tersebut. Itu akan terjadi dalam waktu dekat pada sesi BBNJ yang diadakan secara khusus.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menyatakan pihaknya mengapresiasi semua negara-negara PBB yang berkontribusi terwujudnya perjanjian ini termasuk Indonesia.
“Global Ocean Treaty sangat penting bagi kita sebagai negara maritim terbesar di dunia. Perjanjian ini memberikan peluang kepada kita melindungi lautan, membangun ketahanan kita terhadap krisis iklim, dan melindungi kehidupan dan penghidupan miliaran orang,” ujar Afdillah kepada Koridor 8 Maret 2023.
Untuk ke depan, ungkap Afdillah perlu mendiskusikan segera aksi nyata dari perjanjian tersebut untuk bisa menciptakan wilayah suaka seluas 30% wilayah laut global pada 2030 yang sudah di depan mata sehingga jangan berpuas diri atas capaian tersebut.
Menurut catatan Greenpeace Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah mengalami beragam dampak krisis iklim. Mulai dari cuaca ekstrem hingga kenaikan permukaan air laut yang mulai merendam banyak kawasan pesisir di Tanah Air.
Wilayah perikanan di Indonesia pun sudah banyak yang statusnya overfished yang artinya ikannya sudah hampir habis. Perubahan kondisi laut akhirnya juga berpengaruh pada kelestarian terumbu karang dengan semakin maraknya fenomena coral bleaching atau pemutihan karang.
“Kita harus lebih lantang mendesak pemerintah menyepakati target 30×30, berkomitmen menjalankannya, serta mengajak negara-negara lain mengambil sikap serupa. Hal ini menjadi krusial terutama karena perairan Indonesia bagian dari segitiga terumbu karang terpenting dunia,” papar Afdillah.
Segitiga terumbu karang atau Coral Triangle merupakan area laut di bagian barat Samudra Pasifik. Area ini meliputi perairan Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon. Sekitar 76% spesies karang dunia, atau sebanyak 605 dari total 798, ditemukan di Coral Triangle.
Apabila target perlindungan 30% area laut tercapai, menurut Afdillah salah satu dampaknya adalah pulihnya kesehatan terumbu karang di kawasan Coral Triangle.
Salah satu yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan memberikan perhatian lebih pada kawasan konservasi perairan.
“Pemerintah harusmemastikan pengelolaannya berjalan dengan baik. Sebab dari yang sudah kita miliki saat ini, banyak di antaranya yang masih belum dikelola dengan optimal dan berkelanjutan,” ujar Afdillah seperti dikutip dari https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/56133/soroti-peran-indonesia-dalam-perlindungan-laut-global-aktivis-greenpeace-desak-komitmen-pemerintah/
Perjanjian tersebut menciptakan berbagai kelompok — termasuk badan ilmiah dan teknis — untuk mengawasi peraturan dan bereaksi terhadap perubahan kondisi. Perjanjian ini menekankan peningkatan kapasitas untuk penelitian di negara-negara berpenghasilan rendah, untuk memastikan akses yang adil terhadap sains dan manfaat dari penemuan laut.
Isu pembagian keuntungan dari ‘sumber daya genetik laut’ adalah poin terbesar dari negosiasi. Kehidupan laut dianggap sebagai tambang emas untuk sumber daya ini, termasuk molekul dengan kegunaan farmasi.
Sayangnya, tidak semua negara memiliki kemampuan untuk memanen atau mempelajarinya, dan delegasi dari negara berkembang ingin menekan ‘biopiracy’ — negara kaya yang memanen bahan dari luar wilayah mereka dan menuai keuntungan.
Perjanjian tersebut menyatakan bahwa keuntungan moneter dari sumber daya genetik “harus dibagi secara adil dan setara” dan digunakan “untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut”.
Komite pembagian manfaat yang dibentuk oleh perjanjian tersebut, terdiri atas 15 ahli yang dinominasikan, akan memutuskan apa yang adil.
Perjanjian tersebut meminta para ilmuwan untuk menambahkan “pengidentifikasi batch standar BBNJ” ke data genetik dan sampel biologis yang dikumpulkan dari kehidupan laut, dan untuk memberi tahu clearing house ke mana data tersebut dipublikasikan, tidak lebih dari satu tahun setelah pengumpulan.
Pengidentifikasi akan dilampirkan pada setiap paten atau penjualan produk yang dipasarkan yang berasal dari penelitian asli.
Perjanjian itu juga menetapkan mekanisme untuk menciptakan kawasan perlindungan laut (KKP) di laut lepas. Hal ini mempertahankan janji yang dibuat tahun lalu pada pertemuan puncak keanekaragaman hayati di Montreal bahwa negara-negara akan melindungi 30% daratan dan lautan dunia pada 2030.