
Penelitian Commonwealth Scientific and Industrial Research (CSIRO) dan Universitas Tasmania di Australia mengungkapkan sekitar 25 juta peralatan penangkap ikan dan 14 miliar kait hilang setiap tahun. Bukan saja hilang, tetapi jaring-jaring tak bertuan alias ghost gear, atau jaring hantu memberikan imbas mematikan bagi kehidupan laut.
Menurut tim peneliti, jaring yang hilang atau dibuang setiap tahun itu bisa menutupi Skotlandia. Jika semua jenis jaring yang hilang diikat bersama-sama, itu akan dapat membentang di sekitar Bumi 18 kali.
Peneliti CSIRO Dr Denise Hardesty dalam penelitian yang dirilis Journal Sciene Advance menyampaikan pihaknya menggunakan wawancara standar dengan 451 nelayan komersial di tujuh negara untuk menanyakan apa yang hilang.
Para peneliti mencocokkan wawancara tersebut dengan data tentang jumlah penangkapan ikan komersial secara global untuk memperkirakan apa yang hilang. Apa yang mereka temukan, jumlah jaring pukat cincin dan gilnet mencapai 78 ribu kilometer per segi dan jumlah jaring pukat dasar sekitar 215 kilometer per segi.
Nelayan yang diwawancarai berada di Amerika Serikat, Maroko, Indonesia, Belize, Peru, Islandia dan Selandia Baru. Negara-negara tersebut dipilih karena memiliki industri perikanan yang paling banyak menggunakan metode penangkapan ikan.
Perahu yang lebih kecil kehilangan lebih banyak peralatan daripada perahu lebih besar, dan nelayan pukat dasar kehilangan lebih banyak jaring daripada pukat di tengah laut.
“Nelayan sering kehilangan jala karena cuaca buruk. Peralatan tidak diamankan dengan baik atau hanyut, atau peralatan terjerat dengan peralatan dari kapal lain yang bersaing untuk mendapatkan ikan yang sama,” tutur Hardesty seperti dikutip dari https://www.theguardian.com/environment/2022/oct/16/new-study-reveals-staggering-scale-of-lost-fishing-gear-drifting-in-earths-oceans.
Disebut jaring hantu karena dirancang untuk menangkap dan membunuh hewan dan peralatan yang hilang akan terus menjebak satwa liar selama bertahun-tahun saat mereka mengapung di laut, tenggelam ke dasar atau hanyut ke darat, di antaranya burung, penyu, paus, hiu, lumba-lumba dan duyung.
Sejumlah besar ikan juga terperangkap namun tidak memakannya. Hal itu bisa berimbas pada masalah ketahanan pangan karena itulah protein yang tidak memberi makan orang di seluruh dunia.
Menurut Hardesty ada solusi, seperti pemerintah daerah memperkenalkan pembelian kembali alat tangkap lama yang cenderung lebih sering hilang daripada peralatan baru. Label atau label dapat dilampirkan pada alat tangkap, dan fasilitas gratis dapat diperkenalkan di pelabuhan untuk memungkinkan nelayan membuang jaring yang tidak dapat digunakan dengan aman.
Peneliti Universitas Tasmania Kelsey Richardson berharap penelitiannya membantu manajer perikanan, sektor perikanan komersial, dan konservasionis untuk menargetkan solusi lebih baik. “Jaring menambah masalah global polusi plastik laut.”
Pengamat konservasi dan kelautan Atrasina Adlina mengungkapkan problem ini juga terjadi di Indonesia. Pasalnya menurut Manajer Proyek Tropical Landscape Finance Facility (TLFF) sebagai negara yang menjadikan perikanan tangkapan salah satu pemasukan negara.
Hal ini ujar, Master of Aquaculture and Marine Resource Management, Wageningen University and Research (WUR) ini membuat kemungkinan membludaknya intensifikasi alat tangkap. Alat tangkap berupa jaring yang terbuat dari plastik, dibuat semakin sulit terurai. Ketika jaring hilang, ditinggalkan secara sengaja, ataupun rusak di tengah laut oleh nelayan, membuat ekosistem laut terancam.
“Nelayan sebagai aktor dan juga korban sekaligus. Hasil penelitian saya dan tim dalam penelitian yang didanai oleh Yayasan Konservasi Strategis Indonesia (YKSI) menunjukkan bahwa nelayan kecil jadi korban yang paling parah,” kata perempuan yang karib disapa Adli kepada Koridor, Selasa, 8 November 2022.
Penelitian ini dilakukan Atrasina Adlina bersama Pini Wijayanti dan Dinda Ratnasari itu untuk mengetahui dampak ghost gear atau kerugian ekonomi para nelayan.

Dalam penelitiannya, Adli dan timnya dari IPB University mewawancarai 41 nelayan di tiga lokasi berbeda, yaitu di Tegal, Muara Raja, Pulau Kodok dan Pulau Komodo, Jawa Tengah. Mereka nelayan yang biasa beroperasi di perairan Laut Jawa dengan kapasitas kapal maksimal 10 gross tonnage (GT).
Dalam wawancara pada pertengahan Juni 2021 hingga awal 2022, tim peneliti ini mencatat, hampir semua responden mengaku pernah membuang jaring. Jaring-jaring itu yang kemudian disebut ghost gear. “Ghost gear tidak hanya berpotensi menyebabkan hewan-hewan di laut terjerat, tetapi juga mengakibatkan terumbu karang rusak. Ketika ghost gear yang terbuang itu menjadi sampah laut, ada siklus yang mematikan. Itulah disebutnya hantu.”