Filantropi dan yayasan adalah salah satu kelompok pemangku kepentingan utama untuk dapat berperan menyampaikan pesan tentang risiko terkait perubahan iklim.
Mereka memainkan peran penting dalam respons dunia terhadap perubahan iklim dengan menargetkan geografi, industri, dan masyarakat tertentu yang paling membutuhkan dukungan sehingga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan sistem iklim.
Para filantropi ini seharusnya tahu Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) jelas memberi peringatan pemanasan global di abad ini telah mencapai 1,1 derajat celcius. Capaian ini akan melampaui batas 1,5 derajat celcius jika tidak ada penurunan drastis pada emisi gas rumah kaca (GRK). Bagi banyak negara, perubahan iklim telah terlihat dan seringkali melanda masyarakat paling rentan.
Sayangnya penyebaran pengetahuan tentang lingkungan dan perubahan iklim tidak merata di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini menghambat beberapa upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Yale Program on Climate Change Communication mengungkapkan penelitiannya bahwa dua per tiga dari 1.178 responden Indonesia mengaku hanya tahu sedikit atau belum pernah mendengar tentang perubahan iklim.
Para filantropi menjadi pelopor dalam aksi iklim sekali pun bukanlah tugas yang mudah. Hal ini membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang pandangan masyarakat dan keselarasan iklim dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Lanskap filantropi di Indonesia sejauh ini terkait erat dengan aspek sosial dan budayanya. Dalam beberapa tahun terakhir, filantropi dan yayasan di Indonesia sudah berupaya menyelaraskan strategi mereka dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk penyebab lingkungan dan perubahan iklim.
Direktur Eksekutif KEHATI Riki Frindos menyebutkan kenyataannya hanya 19 persen filantropi di Indonesia menjalankan program terkait iklim, dan mayoritas dari mereka mendukung kesehatan dan pendidikan, berdasarkan Filantropi Indonesia 2022.
“Laporan IPCC baru-baru ini memperjelas bahwa kita memerlukan tindakan segera dan nyata untuk melakukan perubahan apa pun dalam mengurangi krisis iklim. Salah satu caranya adalah memperkuat regulasi yang akan mendorong terobosan-terobosan yang signifikan,” ujar Riki dalam keterangan tertulisnya, Senin, 3 April 2023.
Sementara Indonesia Country Lead Climateworks Center Guntur Sutiyono menuturkan lembaga filantropi perlu memprioritaskan program dan kegiatan terkait krisis iklim, serta mengambil peran dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Filantropi perlu menjadi bagian dari momentum perubahan iklim dan membangun pengetahuan tentang apa itu perubahan iklim, risiko iklim apa yang mereka hadapi, dan apa relevansi perubahan iklim dengan program mereka yang ada.
Salah satu jaringan filantropi Indonesia, Perhimpunan Filantropi Indonesia, memahami urgensi iklim yang mengakibatkan terbentuknya klaster filantropi lingkungan dan konservasi sebagai jangkar kegiatan mitigasi dan adaptasi iklim.
Klaster ini mengakomodasi yayasan yang tertarik untuk memanfaatkan kolaborasi aksi iklim di antara para anggotanya.
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Koordinator Klaster Lingkungan dan Konservasi Filantropi Indonesia Dolly Priyatna menuturkan klaster filantropi lingkungan dan konservasi aktif mendorong keterlibatan lembaga filantropi untuk mengatasi masalah lingkungan.
“Kami juga menyediakan forum diskusi bagi para penggiat lingkungan untuk dapat memberikan ide-ide dalam pelestarian lingkungan. Kegiatan seperti peningkatan kapasitas dan pendampingan teknis bagi staf lembaga tentang pengetahuan perubahan iklim telah dilakukan dan akan dilakukan secara berkala”, ujar Dolly Priyatna.
Yayasan dan filantropi percaya bahwa menciptakan ruang untuk dialog terbuka akan meningkatkan peluang bagi anggota klaster untuk mengembangkan kapasitas dan pengertian seputar visi mereka untuk aksi iklim.
Perubahan iklim adalah isu lintas sektoral. Internalisasi strategi aksi iklim sangat penting bagi filantropi yang bergerak tidak hanya di bidang lingkungan atau konservasi tetapi juga di bidang lain seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan kelompok terpinggirkan, dan pembangunan ekonomi lokal.
Pencapaian dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini membutuhkan partisipasi semua pemangku kepentingan dengan mengejar kreasi dan kolaborasi multi-stakeholder.
Dalam dekade ini, aksi kolektif menjadi sangat penting untuk menjadi motor penggerak antar pemangku kepentingan untuk saling melengkapi dan mempercepat pencapaian agenda bersama terkait perubahan iklim.