Dosen FPIK Unpad Emma Rochima menginovasi plastik ramah lingkungan dari limbah cangkang rajungan. Peneliti Greenpeace Indonesia mengingatkan satu hal

Koridor.co.id

Ilustrasi-Foto: Humas Unpad.

Sampah plastik menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di Bumi ini karena sukar atau kalau pun bisa terurai membutuhkan waktu lama. Tetapi di sisi lain menjadi keniscayaan plastik sudah terlanjur menjadi kebutuhan hingga masyarakat modern belum bisa lepas sama sekali dari plastik.

Para peneliti berusaha menjembatani dua kepentingan antara mereka yang konsen pada masa depan Bumi dan kebutuhan konsumen. Jenis plastik ramah lingkungan, baik itu oxodegradable yang merupakan jenis plastik yang ditambah senyawa prodegradant agar dapat hancur saat terkena oksigen dalam waktu singkat.

Bioplastik yang merupakan jenis plastik yang mengandung bahan tumbuhan, mulai  bermunculan dan digunakan. Biasanya, plastik jenis oxodegradable dan bioplastik  ada dalam bentuk kantong belanja (kresek) dan sedotan sekali pakai.

Praktik penggunaan plastik jenis ini semakin ramai, setelah digadang-gadang sebagai salah satu alternatif ramah lingkungan dan dianggap sebagai solusi dari plastik konvensional dari minyak bumi.

Terobosan yang paling anyar dilakukan Dosen Departemen Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Emma Rochima, yang mengembangkan berbagai produk purwarupa dari limbah biota perikanan dan kelautan. Hasil penelitian Emma di antaranya berupa purwarupa kemasan plastik biodegradasi (biodegradable).

Emma melakukan riset mengenai pengolahan limbah perikanan dan kelautan sejak 2002. Saat itu, ia fokus meneliti pengolahan limbah cangkang rajungan. Dari hasil observasinya di wilayah Cirebon, banyak industri pengalengan daging rajungan. Industri ini menghasilkan limbah cangkang yang melimpah dan tidak dimanfaatkan dengan baik.

“Kami mengisolasi kitosan dari limbah cangkang rajungan.  Kemudian kami menemukan limbah cangkang rajungan itu dia punya bahan aktif yang luar biasa,” kata Emma seperti dilansir https://www.unpad.ac.id/2023/01/dosen-fpik-unpad-kembangkan-plastik-ramah-lingkungan-dari-limbah-cangkang-rajungan/

Bahan aktif yang terkandung dalam limbah cangkang rajungan bisa menjadi antioksidan, antipenuaan dini, antihiperkolesterolemia, hingga digunakan untuk aplikasi bidang makanan maupun nonmakanan (farmasetika dan biomedis).

Penelitian akan diteruskan, dari aktivitas isolasi, karakterisasi, hingga aplikasi. Penelitian juga berhasil mendapatkan hibah dari berbagai lembaga. Emma melanjutkan inovasinya dengan pengolahan biota lainnya. Salah satunya adalah eksplorasi karaginan dari rumput laut. Upaya ini didasarkan atas melimpahnya rumput laut di Indonesia.

Sejak 2015, Emma berkolaborasi dengan peneliti lain dari berbagai fakultas di Unpad. Riset yang dilakukan mulai pada pengembangan kemasan plastik biodegradasi.

Emma mengklaim bahwa Riset yang dilakukannya bersama tim berhasil mengembangkan plastik dari rumput laut dan kitosan limbah rajungan yang mampu terdegradasi di alam dengan cepat. Dengan uji biodegradasi di tanah, plastik sudah mulai bisa habis di tanah selama dua minggu.

Pengolahan limbah biota perikanan dan kelautan memiliki potensi yang besar. Banyak diversifikasi produk yang bisa dikembangkan dan diproduksi di dalam negeri.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Emma bersama peneliti dari perguruan tinggi dan industri di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membentuk Pusat Kolaborasi Riset Biomaterial Kelautan.

Kritik Terhadap Bioplastik

Sementara peneliti dari Greenpeace Indonesia Afifah Rahmi Andini menilai bahwa pihaknya masih memberikan berapa catatan terkait bioplastik. Pertama, perlu mengkritisi, apa tujuan pembuatan bioplastic ini?. Jika memang betul tujuan akhirnya mengurangi sampah, maka ini tidak sesuai dengan makna pengurangan sampah itu sendiri.

Afifah Rahmi Andiri-Foto: Dokumentasi Pribadi.

Bioplastic tidak didesain untuk dapat digunakan berulang kali. Ini dapat kita temukan dari pesan marketingnya, bioplastic membawa citra dapat dikompos atau didaur ulang.

Setidak-tidaknya dari pesan ini secara implisit mengesankan bahwa bioplastic masih mendorong budaya sekali pakai; digunakan dalam waktu singkat dan dapat dibuang. Dengan begitu, niatan awal untuk menghindari budaya sekali pakai dan mengurangi sampah, justru tidak akan terlaksana dengan adanya transisi ke bioplastic.

Hal Kedua, katanya  perlu  dibedah lebih dalam, apakah bioplastic ini masih mengandung campuran virgin plastic atau tidak?. Jika masih terdapat campuran virgin plastic, maka, akhir hidup plastik ini tidak akan benar-benar terurai sempurna.

“Melainkan hanya akan terfragmentasi menjadi partikel plastik yang lebih kecil, atau biasa kita ketahui sebagai mikroplastik. Ini yang kemudian dikhawatirkan menjadi masalah baru,” kata Afifah, Kamis, 12 Januari 2023.

Ketiga, kita juga perlu mengetahui, dalam kondisi apa bioplastic ini dapat terurai? Apakah dapat terurai di berbagai kondisi atau justru memerlukan kondisi spesifik?

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bioplastic ini memerlukan suhu tinggi dan kelembapan khusus. Kondisi ini hanya dapat ditemukan di composter skala industri.

Di Indonesia, infrastruktur pengelolaan sampah kita juga masih jauh dari basis pemilahan dan sebagainya. Dan kalau berbicara industrial komposter sejauh ini memang belum banyak keberadaanya.

Sehingga, dari beberapa catatan di atas, kita perlu mengonfirmasi kembali klaim-klaim tersebut. Jangan sampai pada akhirnya klaim yang keliru bisa menyesatkan konsumen dan pada akhirnya akan memperberat beban penanganan sampah.

Sebangun dengan Afifah penelitian yang dilakukan Imogen Napper dan Richard Thompson di University of Plymouth, Inggris, bioplastik tidak terurai setelah tiga tahun dibiarkan di alam bahkan masih utuh seperti sedia kala.

Napper dan Thompson meletakkan empat jenis plastik (compostable, biodegradable, oxo-degradable, dan plastik polythene konvensional) pada tiga kondisi: dikubur di tanah, dibiarkan di udara terbuka, dan ditenggelamkan di laut.

Semua plastik masih utuh seperti sedia kala dalam jangka waktu tiga tahun setelah pertama kali penelitian dilakukan seperti dilansir dari https://aliansizerowaste.id/2022/03/22/mengapa-bioplastik-bukan-solusi/.

Artikel Terkait

Terkini