Dosen Laboratorium Hidrologi dan Klimatologi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM Andung Bayu Sekaranom mengatakan fenomena cuaca ekstrem di Indonesia cenderung meningkat disebabkan oleh dampak perubahan iklim.
Dalam seminar ‘Prediksi Musim: Antara Variabilitas dan Perubahan Iklim’ di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, 24 Maret 2023 Andung mengatakan, saat ini dampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat.
Dampak itu berupa meningkatnya frekuensi bencana banjir, meningkatnya bencana kekeringan, dan mundurnya masa musim hujan.
“Diprediksi oleh banyak lembaga internasional bahwa suhu akan meningkat dan hawa panas di mana-mana di belahan bumi ini,” kata Andung seperti dikutip dari https://www.ugm.ac.id/id/berita/23588-fenomena-cuaca-ekstrem-di-indonesia-cenderung-meningkat.
Menurutnya, negara yang berada di daerah tropis dan subtropis, selain mengalami peningkatan temperatur juga akan mengalami peningkatan curah hujan. “Hingga tahun 2100 akan semakin tinggi tingkat curah hujan ada kaitannya dengan bencana sehingga perlu mitigasi,” katanya.
Andung menilai perubahan iklim dapat berpotensi menjadi katalis perubahan cuaca ekstrem yang terjadi dalam jangka pendek, namun seringkali terkendala keterbatasan data untuk dianalisis.
Namun, di tingkat masyarakat, persepsi terkait dengan dampak perubahan iklim ini dapat berbeda-beda karena faktor usia, lokasi tempat tinggal dan tingkat pendidikan sehingga penting adanya konfirmasi persepsi dengan data.
“Kita butuh data lebih detail seberapa besar dampak dari perubahan iklim ini,” jelasnya.
Sementara Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Pusat, Supari menyampaikan data layanan informasi cuaca di BMKG menggunakan data dari hasil observasi 42 radar, 113 meteorologi station, 102 upper air station, 14 marine meteorologi station, dan lebih 1200 Automatic Weather Station (AWS).
Dari data observasi ini umumnya menyampaikan kondisi cuaca di permukaan, atmosfer, juga terkait kondisi angin, suhu, tekanan dan kelembaban udara.
Tim kemudian melakukan asimilasi data dengan menggabungkan semua data pengamatan yang dikonversi menjadi sebuah model prakiraan.
“Hasil pemodelan cuaca dengan bentuk prakiraan berbasis dampak. Kemudian bisa memberikan informasi lebih lanjut dengan prakiraan dan dampak yang dihasilkan,” pungkas Supari.
Sementara Badan Meteorlogi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) awal Maret lalu justru memprediksi musim kemarau 2023 akan tiba lebih awal dari sebelumnya. Selain itu, curah hujan yang turun selama musim kemarau diprediksi akan normal hingga lebih kering dibandingkan biasanya. Adapun puncak Musim Kemarau 2023 diprediksikan terjadi di Agustus 2023
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, wilayah yang akan mengalami musim kemarau lebih awal pada bulan April mendatang meliputi Bali, NTB, NTT, sebagian besar Jawa Timur. Sedangkan wilayah yang memasuki musim kemarau pada Mei meliputi sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan, Papua bagian selatan.