Penemuan itu berdasarkan studi yang dilakukan para ilmuwan dari Universitas Queensland, Australia. Baru-baru ini mereka mempublikasikan hasil penemuannya yang menunjukkan bahwa ‘cacing super’ dari spesies ulat atau larva kumbang Zophobas Morio dapat makan polistirena, berkat enzim bakteri di usus mereka.
Peneliti dari Sekolah Kimia dan Biosains Molekuer Queensland University Chris Rinke menyampaikan dalam risetnya, ia memberi makan cacing tersebut dengan makanan berbeda selama tiga minggu lamanya, mulai dari dedak hingga gabus polistirena.
“Kami menemukan bahwa cacing super yang diberi diet polistirena tidak hanya bertahan hidup, tetapi bahkan mengalami kenaikan berat badan yang sedikit. Ini menunjukkan bahwa cacing dapat memperoleh energi dari polistirena, kemungkinan besar dengan bantuan mikroba usus mereka,” tuturnya, dikutip dari laman The University of Queensland, Minggu (19/6/2022).
Para peneliti menggunakan teknik yang disebut metagenomics demi menemukan beberapa enzim yang dikodekan dengan kemampuan untuk mendegradasi polystyrene dan styrene. Tujuan jangka panjang dari penelitian diketahui demi merekayasa enzim agar mendegradasi sampah plastik di pabrik daur ulang melalui pencacahan mekanis, diikuti dengan biodegradasi enzimatik.
“Cacing super seperti tanaman daur ulang mini, mencabik-cabik polistirena dengan mulutnya dan kemudian memberi makan bakteri di usus mereka. Produk penguraian dari reaksi ini kemudian dapat digunakan oleh mikroba lain untuk membuat senyawa bernilai tinggi seperti bioplastik,” sambungnya.
Bio-upcycling ini diharapkan mampu meningkatkan daur ulang sampah plastik dan mengurangi Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Penelitian ini disebut akan terus dilanjutkan demi menumbuhkan bakteri usus di laboratorium dan menguji lebih lanjut kemampuannya untuk dapat mendegradasi polistirena.
Penemuan demi mencari jalan keluar masalah sampah bukanlah hal baru, misalnya pada 2015, pakar biologis dari University of Cantabria, Spanyol bernama Federica Bertochini juga menemukan bahwa cacing lilin (Galleria mellonella) dapat memakan plastik.
Sementara itu, penelitian tiga mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB), Novica Febriyani, Fiona Salfadila dan Indri Destriany pada 2019, menemukan Ulat Hongkong mampu mendegradasi styrofoam.
Dari segala penemuan itu, seakan memberikan napas di tengah persoalan sampah plastik di bumi yang begitu kusut. Namun, nampaknya pengurangan sampah plastik belum nampak secara signifikan.
Terutama jika kita lihat dalam beberapa tahun terakhir, data Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, sampah dengan komposisi plastik 15,93 persen. Kemudian pada 2020 meningkat menjadi 17,08 persen, dan 2021 lalu sempat menurun hingga 15,4 persen, Namun jika dihitung sejak 2010 sumbangan sampah plastik meningkat signifikan. Pada 2010 hanya sebesar 11 persen.
Jenis sampah plastik pada tahun 2021 menempati peringkat kedua dengan nilai 15.4 persen. Peringkat satu adalah sisa makanan dengan besaran 29,5 persen, dan peringkat ketiga kayu/ranting/daun sebesar 12,7 persen. KLHK menyebut bahwa peningkatan sampah plastik didorong karena gaya hidup yang serbapraktis melalui penggunaan plastik.
“Memang ini didorong oleh perubahan gaya hidup atau lifestyle dan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang inginnya praktis,” ucap Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati akhir Februari lalu, dalam sebuah diskusi daring.
Beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, berupaya menurunkan sampah plastik. Misalnya dengan menerbitkan Pergub 142/2020 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan di Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat.
Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan bahwa alam membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mendekomposisi sampah plastik, khususnya styrofoam. Upaya saat ini telah mulai dilakukan dengan pembatasan Kantong Belanja Plastik Sekali Pakai atau kresek.
“Ada aspirasi untuk juga membatasi sedotan dan styrofoam. Kami masih mengkajinya,” ujar Yogi kepada Koridor, Minggu (19/6/2022).
Waktu penggunaan styrofoam sangat singkat, namun butuh bertahun-tahun lamanya untuk dapat terurai. Oleh karena itu di samping melakukan kajian, Pemprov DKI Jakarta sangat meminta masyarakat tidak anggap sepele penggunaan styrofoam.
“Kita mengimbau masyarakat menggunakan tempat makan atau wadah yang bisa digunakan berulang kali untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan,” tandasnya.