Ketika masih kuliah di Jurusan Biologi, UIN Maulana Ibrahim, Malang, Jawa Timur Rafika Aprilianti hanya bisa mengurut dada menemukan banyak sampah plastik bukan saja tercecer di lingkungannya, tetapi juga mencemari Sungai Brantas.
Padahal dara kelahiran 19 April 1999 tahu bahwa yang dicemari adalah hulu dan sampah plastik itu akan terbawa ke hilir di antaranya ke Surabaya. Ketika dia bergabung dengan lembaga penelitian Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dan mengikuti susur sugai pada 2018, dia menemukan bahwa ikan di Kali Surabaya lebih banyak berkelamin betina karena mereka mengunyah mikroplastik.
Ecoton juga melakukan investigasi bahwa upaya mendirikan pabrik daur ulang plastik bukan solusi, bahkan menimbulkan masalah baru.
“Kami menemukan pabrik daur ulang plastik hanya mengolah plastik reject dari perusahaan, artinya kemasan yang salah cetak dari pabrik, bukan sampah plastik yang terbuang ke lingkungan,” ungkapnya pada Koridor, Sabtu, 25 Maret 2023.
Selain itu sebagian besar pabrik daur ulang mengolah sampah plastik tersebut dengan pembakaran (peleburan plastik) yang mengahasilkan asap racun.
“Pembakaran terbuka plastik melepaskan polutan seperti logam berat, dioksin, PCB dan furan yang bila terhirup dapat menimbulkan risiko kesehatan terutama gangguan pernapasan,” jelasnya.
Saat ini di Indonesia menurut catatan Kementerian Perindustrian, populasi industri daur ulang plastik mencapai 600 perusahaan besar dan 700 industri kecil, dengan investasi mencapai Rp7,15 triliun dan kemampuan produksi sekitar 2,3 juta ton per tahun.
Namun sebetulnya yang dibutuhkan industri daur ulang itu adalah bahan baku jenis plastik polyethylene terephthalate PET yang dibutuhkan dari dalam negeri. Karena tidak terpenuhi maka industri daur ulang itu mengimpor bahan baku sampah plastik hingga 750 ribu ton per tahun.
Menurut laporan lembaga Sustainable Waste Indonesia (SWI) seperti dalam keterangan tertulis
“Tingkat daur ulang (recycle rate) sampah plastik di Indonesia baru menyentuh angka 7%, dengan jenis plastik jenis PET (yang lazim digunakan untuk kemasan AMDK botol dan galon) mencapai 75% tingkat daur ulang,” seperti dilansir https://finance.detik.com/industri/d-6513897/indonesia-dinilai-masih-kekurangan-bahan-baku-sampah-plastik-pet
Meskipun demikian ada juga pabrik baru yang didirikan mengklaim mendukung program pemerintah mengurangi sampah plastik sebesar 7 persen per tahun. Pada 9 Maret 2023, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meresmikan perusahan daur ulang plastik PT Free The Sea, di Batam, Kepulauan Riau.
Luhut menilai, Perusahaan asal Jerman ini membawa inovasi bagi dunia investasi di Indonesia, sekaligus membawa misi bagi keberlangsungan lingkungan yang sehat untuk generasi mendatang..
“Investasi ini luar biasa. Teknologi daur ulang sampah plastik menjadi produk bernilai ekonomi. Menjaga lingkungan kita dari pencemaran microplastik yang berbahaya bagi generasi akan datang. Warga Batam harus mendukung ini dengan cara tidak buang sampah sembarangan tapi salurkan,” kata Luhut.
Ahlul Fahli, aktivis Walhi Riau menyatakan tidak semua jenis plastik bisa didaur ulang, dan plastik sekali pakai tetap dibatasi penggunaannya secara bertahap adalah solusinya.
Dia mengingatkan suda ada regulasi untuk membatasi penggunaan sampah plastik di Provinsi Riau. Di antaranya, Peraturan Gubernur (Pergub) No 50 Tahun 2019 tentang Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai (PSP) di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Riau. Namun tidak berjalan
Bgeitu juga dengan (Perbub) No 8 tahun 2021 tentang Pembatasan Penggunaan Plastik Sekali Pakai di Lingkungan Pemkab Rohul, tidak berjalan maksimal dan Perbup No 103 tahun 2019 tentang pembatasan plastik sekali pakai di Kabupaten Siak, berjalan tapi perlu revisi soal sanksi dan jenis plastik.
“Sementara impor sampah plastik menjadi beban bagi Indonesia yang sampai saat ini belum bisa menangani sampah domestik,” ujar Ahlul kepada Koridor, Minggu, 26 Maret 2023.
Hal senada juga dinyatakan pengamat lingkungan Irvan Pulungan. Ia menyampaikan keberadaan pabrik daur ulang sampah plastik hanya menyelesaikan secara parsial. Pabrik daur ulang di Batam tidak bisa menyelesaikan plastik yang ada di Papua.
“Solusi yang paling tepat ialah perlu kebijakan packaging untuk seluruh Indonesia. Di dunia seperti di Thailand kembali ke packaging tradisional seperti daun atau bambu atau bahan yang bisa diurai dari bahan singkong dan ubi seperti plastik. Jadi harus ada keberanian tidak lagi menjadikan plastik sebagai komoditi dengan regulasi dari pusat,” ujar Irfan kepada Koridor 26 Maret 2023.
Selain itu katanya, penyelesaian masalah tampaknya dari hulu ke hilir tetapi keberadaan pabrik daur ulang plastik memperbanyak akses industri plastik untuk memperbanyak produk karena ada pabrik daur ulang.
“Pemerintah bilang sudah melakukan sirkular ekonomi tetapi kelakuannya tetap industri konvensional,” pungkasnya (Irvan Sjafari).