Bak kisah horor, Eropa dilanda gelombang panas mengerikan, Juni-Juli 2022. Ada 17 ribu orang tewas di Spanyol dan Portugal.

Koridor.co.id

Ilustrasi peta sebaran titik api. Warna ungu menunjukkan kondisi yang ekstrem. (Foto: World Metereology Organization)

Pada musim panas ini, Marini, warga Indonesia yang tinggal di Kontich, Belgia bersama keluarganya punya kegiatan rutin yang harus dilakukan yaitu memantau ramalan cuaca. Ibu rumah tangga ini merasa lega ketika ramalan cuaca menyampaikan suhu sekitar 23 derajat celcius.  Pasalnya minggu lalu suhu sampai 39 derajat celcius.

“Kalau panasnya ekstrem mendadak lebih dari biasanya, kami langsung dapat saran dari pemerintah jangan bekerja berat dan hemat air. Jadi tidak boleh sembarangan siram tanaman setiap hari. Mandi pun hanya guyur badan,” tutur Rini ketika dihubungi Koridor via Whatsapp, Senin 25 Juli 2022.

Menurut Rini panas yang dirasakan berbeda dengan di Jakarta. Panas di tempatnya, menyengat di kulit dan bisa menimbulkan iritasi. Dia harus mengkonsumsi obat antialergi dan mengoles body cream khusus. Suaminya yang gemar olahraga sepeda juga diminta mengoles krim. Anak-anaknya memilih menghindar keluar rumah karena tidak suka dengan cuaca yang begitu panas.

Rini bersyukur bahwa kota tempat tinggalnya tidak terdampak gelombang panas seperti banyak wilayah di Eropa. Sepengetahuannya pemerintah Belgia memberikan perhatian ekstra kepada penghuni panti jompo.

“Sementara kami belum berpergian ke negara tetangga yang panasnya lebih ekstrem dibandingin Belgia. Di beberapa wilayah terjadi kebakaran hutan. Kasihan sekali. Ini global warming!” ucapnya.

Lain dengan Wuwun, ibu rumah tangga yang tinggal di Villeparisis, pinggiran kota Paris yang sedang berada di Bali. Dia mendengar teman-temannya di Paris menderita.  Fenomena ini ceritanya, sudah berulang kali.

“Orang Prancis menyebut fenomena ini sebagai canicule. Tapi tambah panas suhunya dan tambah sering. Bahkan tahun ini, bulan Juni kemarin sudah pernah mencapai 37 derajat celcius. Tahun ini gelombang panasnya lebih istimewa,” imbuhnya.

Panasnya, tambah Wuwun, berbeda dengan di Indonesia karena ada angin hingga lebih segar. Kalau yang terjadi di Prancis angin yang datang panas. Masalahnya kebanyakan orang Prancis punya pemanas bukan AC jadi kalau panas menggunakan kipas angin.

Apa yang diceritakan  Rini dan Wuwun dikonfirmasi beberapa lembaga dunia yang memantau gelombang panas ini. Pada 22 Juli 2022, Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Hans Kluge menyampaikan gelombang panas  di Semenanjung Iberia, kawasan Portugal dan Spanyol menyebabkan kematian lebih dari 1.700 orang, akibat gelombang panas.  

Menurut dia jumlah sebenarnya tentang kematian terkait dengan gelombang panas tidak akan diketahui selama berminggu-minggu. Ngerinya, menurut Kluge, musim panas yang terik ini belum sampai setengah jalan.

Di Spanyol, gelombang panas pada minggu ketiga Juli 2022 berada di atas 40 derajat celcius bahkan pada 13 Juli di Kota Leira, Portugal suhu sudah menyentuh 45 derajat.   

“Perubahan iklim bukanlah hal baru. Namun, konsekuensinya meningkat musim demi musim, tahun demi tahun, dengan hasil yang membawa malapetaka,” kata Kluge seperti dikutip dari Deutsche Welle,

Sementara itu, BBC melaporkan kebakaran hutan di Prancis dalam beberapa hari terakhir telah memaksa lebih dari 24.000 orang mengungsi. Mereka ke tempat penampungan darurat didirikan untuk para pengungsi.

Dampak parah gelombang panas juga dilaporkan terjadi di Kota Gironde, kawasan wisata populer di Barat Daya Prancis. Petugas pemadam kebakaran berjuang untuk mengendalikan kobaran api yang telah menghancurkan lebih dari 14 ribu hektare lahan seperti dikutip dari BBC.

Gelombang panas bisa mematikan, terutama bagi orang tua yang berisiko mengalami kelelahan akibat panas dan sengatan panas.  WHO mencatat antara 1998 dan 2017, lebih dari 166.000 orang meninggal akibat gelombang panas. Di Inggris saja, suhu yang menyesakkan merenggut lebih dari 2.500 nyawa di musim panas 2020. 

Situs World Economic Forum mengungkapkan efek gelombang panas menyebabkan  karyawan menjadi kurang produktif selama cuaca panas. Jika mereka bekerja dalam ruangan, sementara anak-anak berjuang untuk belajar dalam panas ekstrem, yang mengakibatkan pendapatan seumur hidup lebih rendah yang pada gilirannya merugikan pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Data menunjukkan bahwa pertumbuhan tahunan turun 0,15 hingga 0,25 poin persentase untuk setiap 1 derajat Fahrenheit sehingga suhu musim panas rata-rata suatu negara bagian di atas normal. Pemanasan global sudah menjadi horor yang paling mengerikan di muka Bumi.

Artikel Terkait

Terkini