Diana Debi Timoria, seorang perempuan muda dari Sumba Timur sadar benar bahwa kendala untuk melestarikan tenun di daerahnya sama dengan di daerah lain. Di antara problem tersebut ialah regenerasi, yaitu anak muda banyak yang tidak berminat untuk menenun.
“Praktis pekerjaan penenun kebanyakan hanya dilakukan para mami (ibu-ibu). Sedangkan anak mudanya hanya mau bekerja di kantoran,” ujar Diana dalam Webinar Aku dan Tenun: Mengenal Warisan Budaya dari Timur Indonesia’ Jumat, 30 September 2022.
Selain itu, kelestarian tenun Sumba terancam oleh ketersedian bahan baku, kapas lokal yang banyak digunakan orang tua, sekarang makin jarang. Bahan pewarna alami juga makin terbatas. Memang bisa digantikan dengan pewarna kimia, namun kualitasnya terbatas.
“Kami di Sumba Timur menggunakan tanaman indogofera untuk mendapatkan warna biru. Sementara akar kembar digunakan untuk pewarna merah. Para penenun juga mendapatkan warna hitam dari lumpur atau campuran biru dan merah,” ungkap alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana, Kupang ini.
Membuat tenun ikat merupakan keterampilan turun temurun pada para perempuan Sumba. Keterampilan dan pengetahuan itu, mereka dapatkan secara otodidak. Mulai dari proses mudah sampai yang rumit.
Pembuatan tenun secara alami memakan waktu hingga tiga bulan bahkan lebih, tergantung kesibukan perajin tenun, termasuk kondisi cuaca.
“Nenek dan ibu saya mengerjakan tenun,” ucap perempuan yang terpilih mengikuti Program Pemimpin Muda Indonesia 2019 selama 6 bulan di Selandia Baru. Diana menerima hibah kecil untuk penelitian kesehatan tradisional di Sumba dari program itu.
Menurut Diana, keikutsertaan anak muda diperlukan untuk memperluas akses pasar, karena mereka melek digital. Namun juga menjaga lingkungan agar keberlangsungan tanaman untuk pewarna tenun tradisional.
Penggunaan pewarna alami oleh para penenun merupakan bentuk relasi kehidupan manusia dan alam yang harmoni. Para perajin tenun melihat, alam adalah sahabat yang memberikan kehidupan bagi mereka melalui tanaman pewarna alami.
Tenun pun bisa dipakai tak hanya dalam acara adat, seperti upacara kematian juga aksesoris seperti hiasan dinding dan sarung bantal.
Untungnya di kampungnya, Diana tidak sendiri. Ada Melania Loda Ana Hammu, perempuan berusia 22 tahun ini ikut bergerak melestarikan tanaman pewarna. Mahasiswa di Waingapu ini mulai menenun kain menggunakan pewarna alami.
“Memakai kaus atau kemeja dengan celana jins memang lebih praktis. Tetapi sebagai orang Sumba, saya lebih bangga memakai sarung tenun apalagi kalau saya yang membuat dengan bahan di sekitar saya,” ucapnya seperti dikutip dari Mongabay.
Pada kesempatan yang sama budayawan dan pendiri SimPasio Institute Bernard Tukan menyampaikan untuk regenerasi tenun tradisional menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman agar menarik perhatian anak muda.
“Kalau tidak menyesuaikan dengan gaya kekinian maka anak muda sulit tertarik, karena mereka menjaga jarak dengan masa lampau,” kata dia.