Pekanbaru, Koridor.co.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengapresiasi langkah BNPB mengantisipasi potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), mengingat kemarau tahun ini sangat kering.
Koridor memberitakan pada 25 Juli 2023 BNPB menggelar rakor terkait hal tersebut.
Walhi Riau menilai langkah itu menunjukkan kerja yang baik dari negara melakukan penanggulangan karhutla melalui pengadaan peralatan dan sebagainya.
Manajer Pengoganisasian dan Keadilan Iklim Walhi Riau, Eko Yunanda mengatakan hal ini tentu menyerap anggaran yang lumayan besar dan cenderung tidak menyelesaikan masalah karhutla.
“Bagi kami pencegahan paling penting untuk menanggulangi kebakaran adalah dengan pemulihan ekosistem, terutama gambut,” ujar Eko Yunanda kepada Rabu, Koridor, Rabu, 26 Juli 2023.
Evaluasi Izin Perkebunan
Walhi Riau meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua izin perkebunan kayu dan sawit terutama di wilayah gambut.
Pemerintah seharusnya mengaudit kepatuhan terhadap izin tersebut, terkait sarana prasarana penanggulangan karhutla yang tidak lengkap.
Pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap mereka, terutama perusahaan yang memiliki rekam jejak terkait kejadian kebakaran di areal kerja atau konsesinya.
“Analisis kami menunjukkan bahwa laju deforestasi di Riau karena aktivitas korporasi HTI, perkebunan sawit dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi dan taman nasional,” ungkapnya.
Laju Deforestasi Riau
Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI Riau 2023 menyebutkan pada 2022, hutan alam di Riau hanya tersisa 1.398.582 ha. Artinya Riau telah kehilangan 79,21% atau 5.328.964 ha hutan alam sejak 1982.
Sepanjang 2022 Riau telah kehilangan hutannya seluas 28.781 ha. Pengurangan ini terjadi pada areal yang punya bebas izin HTI sebanyak 7.905 ha serta 2.306 ha di areal yang izin HGU.
Meskipun pemerintah mencabut izin sekitar 1.283 ha di areal HTI pada 2022, dan 7.097 ha di areal konservasi serta sisanya berada di areal lainnya.
Dominasi tersebut mengakibatkan 3 (tiga) persoalan lingkungan hidup sebagai akibat dari praktik buruk HTI atau Kebun Kayu.
Pertama, sebagai penyumbang laju deforestasi terbesar.
Kedua, sebagai penyumbang terbesar polusi dari proses kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama satu dekade belakangan.
Ketiga, menghilangkan hak generasi yang akan datang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keanekaragaman hayati.
Eko Yunanto menyampaikan, pihaknya selalu membuat laporan agar negara menggunakan wewenangnya untuk menindak dan menjatuhkan hukuman baik secara administrasif maupun pidana kepada perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan seperti karhutla terutama di wilayah gambut.
“Kami juga bekerja bersama pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pemulihan di wilayah yang rentan terbakar. Kami membangun sekat kanal dan sumur bor, serta penanaman kembali lahan bekas terbakar,” pungkasnya (Irvan Sjafari).