Rahmi, seorang anak nelayan dari Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah tahu benar, ayahnya biasanya mendapatkan Rp100 ribu per hari untuk memberi makan keluarganya, selain disisihkan untuk pendidikan dan kesehatan ibu dan anak-anaknya.
Namun belakangan, air laut semakin tinggi, dan sulit mendapatkan ikan. Penghasilan pun menurun. Jadi tanda tanya apakah masa depan masih ada ikan yang didapat? Rahmi, si anak Donggala sadar bahwa dia adalah bagian dari orang-orang yang terdampak krisis iklim.
Rahmi adalah satu dari sekian banyak anak dan keluarga yang terdampak banjir rob di Sulawesi Tengah. Ia akhirnya harus meninggalkan rumah yang 20 tahun ditempati keluarganya, dan pindah ke hunian tetap agar bisa kembali menjalani hidup normal.
Pada Mei 2022, Rahmi bersama anak-anak yang menjadi juru kampanye dari Save The children melakukan aksi bersih pantai dan menanam bakau di Pantai Mapaga. Dia berharap apa yang dilakukan bisa membuat keberlangsungan kehidupan nelayan. Mereka tahu air pasang juga membawa sampah ke pantai.
Menurut Media dan Brand Manager Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah, pihaknya telah merilis apa yang disebut Aksi Generasi Iklim pada April 2022.
Gerakan ini diinisiasi dan dipimpin anak-anak bertujuan memastikan anak-anak dan keluarga yang terdampak krisis iklim dapat bertahan hidup, dan beradaptasi.
“Dalam prosesnya kita berharap sistem pengendalian penanganan dan krisis iklim dapat berpihak kepada anak,” ujar Dewi kepada Koridor, Sabtu, 1 Oktober 2022.
Bukan hanya anak-anak di Donggala, juru kampanye anak-anak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan aksi bersih dan pilih sampah di kawasan Sungai Code.
Mereka belajar dari siklon tropis Cempaka 2017, memberi pelajaran bahwa anak-anak yang tinggal di hilir Kali Code merasakan dampak, bukan hanya banjir air dan lumpur, tetapi juga sampah. Ini jadi penting meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai.
Bagaimana dengan anak-anak di Bandung, Jawa Barat? Anak-anak dari kota kreatif ini menginisiasi kesadaran publik lewat Festival Film Dokumenter. “Jadi memang child campagner, menginisiasi, meningkatkan kesadaran publik, juga anak-anak agar lebih peka melakukan aksi krisis iklim,” kata Dewi.
Menurut Dewi, gerakan aksi generasi iklim didasari riset Save The children pada september 2021 di 46 negara, salah satunya di Indonesia. Hasilnya masa krisis iklim menjelaskan bahwa krisis iklim membawa dampak nyata dan dirasakan anak-anak.
Riset itu mengungkapkan anak-anak di Indonesia sejak 2020 menghadapi 3 kali ancaman banjir dari luapan suangai, 2 kali karena kekeringan dan 3 kali kegagalan panen. Jutaan anak berpotensi jatuh pada kemiskinan jangka panjang di Indonesia.
Pengalaman Save The Children ketika melakukan inisiasi, mendapatkan anak-anak sangat antusias terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Anak-anak itu mengetahui, mereka sedang mengalami krisis alam.
Suhu panas berlebih sudah dirasakan anak-anak yang tinggal di desa dan kota. Anak-anak yang bapak dan ibunya petani mengalami gagal panen. Anak-anak tahu cuaca tidak menentu, tiba-tiba hujan. Hujan deras, banjir. Dan itu berarti, mereka tidak bisa sekolah, bahkan sekedar untuk beraktivitas normal. Pengetahuan mereka, cukup besar.
“Hanya mereka tidak tahu cara merespon dan bagaimana mengadaptasi. Ini jadi Pekerjaan Rumah Indonesia. Penting mengedukasi anak-anak beradaptasi dengan krisis iklim. Bagaimana mereka beradaptasi dan berpartisipasi dalam krisis iklim,” ungkap Dewi.
Yang terpenting ketika mengedukasi anak untuk mencintai lingkungan, jangan berpikir isu krisis iklim adalah isu eksklusif dan susah mentransfernya pada anak.
Menstrasfer kesadaran untuk mencintai lingkungan dimulai dengan hal yang dekat dengan anak. Tentunya dengan bahasa ramah anak.
Ketika anak mendapatkan informasi, mereka bisa melakukan aksi kecil mulai dari rumah, seperti tidak lagi menggunakan botol plastik, dan aktif menggunakan sepeda, untuk transportasi, setidaknya dalam jarak dekat. Lalu, tidak terus menerus menggunakan AC agar udara tidak panas, hingga rajin menanam pohon, dan tumbuh-tumbuhan.