Air bagaikan darah kehidupan, terkuras penggunaan tidak berkelanjutan, polusi, dan pemanasan global

Koridor.co.id

Ilustrasi-Foto: Shutterstock.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sambutan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan krisis air global yang kini sedang menjadi ancaman dunia. Dunia secara membabi buta mengkonsumsi air berlebihan bagaikan vampir membuat umat manusia kini menempuh jalan berbahaya.

Laporan ini adalah publikasi sebelum KTT Air PBB yang dimulai pada 24 Maret 2023. KTT di New York ini akan dihadiri oleh ribuan delegasi.

UN Water dan Unesco penerbit laporan tersebut memperingatkan bahwa “kelangkaan menjadi endemik” karena konsumsi berlebihan dan polusi, sedangkan pemanasan global akan meningkatkan kekurangan air musiman di kedua daerah yang memiliki air melimpah dan yang sudah tegang.

Richard Connor, penulis utama laporan tersebut, mengatakan bahwa sekitar 10% dari populasi global “saat ini tinggal di daerah yang mengalami tekanan air tinggi atau kritis”.

“Dalam laporan kami mengatakan bahwa hingga 3,5 miliar orang hidup dalam kondisi tekanan air setidaknya satu bulan dalam setahun,” katanya seperti dilansir https://www.bbc.com/news/world-65035041  dan https://www.dw.com/id/banjir-kekeringan-dan-wabah-krisis-air-menggejala-di-dunia/a-65076875 

Laporan itu mengatakan kira-kira setengah dari populasi dunia saat ini mengalami kelangkaan air yang parah setidaknya selama sebagian tahun. Kalau tidak kita atasi, pasti akan terjadi krisis global.

Menurut laporan tersebut jumlah orang di kota-kota yang menghadapi kelangkaan air akan hampir dua kali lipat dari 930 juta orang pada 2016 menjadi 2,4 miliar pada 2050. Permintaan air perkotaan diperkirakan akan meningkat sebesar 80 persen pada 2050. 

Akses air yang aman sudah menjadi masalah besar. Dua miliar orang saat ini tidak memiliki akses ke air minum yang aman dan 3,6 miliar orang kekurangan akses ke sanitasi yang dikelola dengan aman.

Sekitar 10 persen dari populasi global saat ini tinggal di negara-negara dengan tekanan air yang tinggi atau daerah kritis.

Kekeringan ekstrem yang semakin sering terjadi akibat krisis iklim, akan semakin memperburuk kekurangan air di beberapa daerah, dan akan memberi tekanan pada ekosistem. Hal itu akan menimbulkan “konsekuensi mengerikan” bagi spesies tumbuhan dan hewan.

Menurut hasil riset, konsumsi air di seluruh dunia meningkat sekitar 1 persen per tahun selama empat dekade terakhir. Tingginya angka konsumsi global menyurutkan cadangan air bersih sebanyak 100-200 kubik kilometer per tahun. 

PBB juga mencatat sebanyak 10 persen penduduk Bumi hidup di wilayah rawan kekeringan. Di kawasan ini, besarnya perbedaan antara jumlah air yang dikonsumsi dan cadangan air mencapai level “kritis.”

Pertanian saat ini masih menyedot 70 persen kebutuhan air di dunia. Tapi ketika populasi kota terus bertambah, “alokasi air dari pertanian ke kawasan urban menjadi strategi umum yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air.

Masyarakat urban yang terancam kelangkaan air meningkat dari 933 juta  orang pada 2016 menjadi 1,7 dan 2,4 miliar manusia pada 2050. PBB terutama mewaspadai situasi di India yang diprediksi akan terdampak paling parah.

Setidaknya dua miliar manusia harus mengkonsumsi air yang sudah terkontaminasi tinja dan sebabnya berisiko terkena penyakit kolera, disentri atau polio.

Belum lagi ancaman pencemaran polutan kimia, obat-obatan, pestisida dan plastik. Polutan-polutan ini juga mencemari ekosistem air tawar.

Associate Administrator UNDP Usha Rao Monari mengatakan kepada BBC bahwa sumber daya perlu dikelola lebih hati-hati di masa mendatang.

“Ada cukup air di planet ini jika kita mengelolanya lebih efektif daripada yang kita kelola selama beberapa dekade terakhir,” kata Manori.

Dia meminta semua pihak berupaya  menemukan model tata kelola baru, model keuangan baru, model baru dalam menggunakan air dan menggunakan kembali air daripada sebelumnya.

“Saya pikir teknologi dan inovasi akan memainkan peran yang sangat besar dalam melihat bagaimana mengelola sektor air dan penggunaan air,” imbuhnya.

KTT, yang diselenggarakan bersama oleh pemerintah Tajikistan dan Belanda, akan mengumpulkan sekitar 6.500 peserta, termasuk 100 menteri dan selusin kepala negara dan pemerintahan.

Artikel Terkait

Terkini