Teror Israel kepada sepak bola Palestina, dan absennya sanksi FIFA

Koridor.co.id

Oleh Pizaro Gozali Idrus

Bagi kebanyakan orang, sepak bola merupakan olahraga hiburan yang bebas dinikmati siapa pun. Tapi di Palestina, sepak bola tidak sekedar menjadi pertandingan tapi juga sasaran kekerasan dan teror dari penjajahan ‘Israel’. Ironisnya, Tanah Air Palestina bukanlah tempat yang tepat untuk mendapatkan keadilan FIFA.  

Masih belum hilang dari ingatan menjelang akhir Desember 2022. Di saat dunia baru menikmati lambaian bendera Palestina oleh pemain Maroko di Qatar, pasukan ‘Israel’ menembak mati pesepak bola Palestina berusia 23 tahun, Ahmad Atef Daraghama.

Peristiwa itu terjadi saat pasukan penjajahan itu menyerang kota Nablus, di wilayah pendudukan Tepi Barat. Daraghama tewas oleh pasukan ‘Israel’ ketika warga Palestina turun ke jalan untuk menghadapi serangan pemukim Yahudi yang dilindungi tentara ke situs religi Makam Nabi Yusuf. 

“Sementara seluruh dunia masih menikmati kemeriahan Piala Dunia 2022 yang luar biasa dan bersiap untuk merayakan musim dan menyambut tahun baru, sepak bola Palestina telah berduka oleh pembunuhan terhadap salah satu pesepakbola topnya,” ujar pernyataan Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA).

Daraghama adalah seorang pemain sepak bola profesional yang bermain sebagai gelandang serang di klub Thaqafi Tulkarm. Di klubnya, Daraghama adalah pemain bintang. Ia menjadi pencetak gol terbanyak bagi Thaqafi Tulkarm di West Bank Premier League 2022/2023 dengan enam gol.

Ahmed Rajoub, yang merupakan rekan Daraghama, menatap kematiannya sebagai hari yang menyedihkan bagi olah raga Palestina. Menurut Rajoub, impian dan harapan bintang sepak bola Palestina itu telah direnggut oleh pendudukan yang rasis dan fasis.

Thaqafi Tulkarm memberikan penghormatan kepada pesepakbola tersebut dalam sebuah unggahan Facebook. Sabah, manajer tim, mengatakan pemain sepak bola dihormati dan dirayakan di seluruh dunia. Namun di Palestina, mereka dibunuh oleh pasukan pendudukan ‘Israel’.

Merespons kejadian ini, Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh meminta FIFA untuk mengutuk ‘Israel’ atas tewasnya Daraghma. Alih-alih ada tindakan tegas dari FIFA, badan sepakbola dunia itu tidak melakukan sanksi apapun terhadap ‘Israel’.

Jauh sebelum Daraghama, legenda sepak bola Palestina Ahed Zaqout juga tewas pada 2014 setempat setelah rudal ‘Israel’ menghantam rumahnya di Gaza ketika dia tengah tertidur. Mantan gelandang berusia 49 tahun itu bekerja sebagai pelatih dan menjalankan program olahraga Palestina di Gaza dan diyakini tidak terlibat politik dengan Hamas.

Atas kematian Zaqout, jurnalis olahraga di Gaza, Khaler Zaher, mengatakan Palestina telah kehilangan salah satu pemain terbaiknya, dia mungkin adalah gelandang terbaik yang pernah Palestina miliki.

𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗮𝗹 𝗽𝗲𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗯𝗼𝗹𝗮 𝗣𝗮𝗹𝗲𝘀𝘁𝗶𝗻𝗮

Pada 2017, ‘Israel’ juga melarang 10 pesepakbola asal Palestina yang akan menuju ke Tepi Barat dari Gaza untuk melakoni laga final leg kedua Palestine Cup. Laga tersebut sedianya mempertemukan antara Shabaab Rafah yang telah unggul 0-2 melawan Ahly al Khalil asal Hebron pada leg pertama di kota Gaza. 

Namun, hanya 15 pemain yang diizinkan melakukan perjalanan untuk melakoni laga kedua. Mereka yang dilarang termasuk seorang striker dan dua penjaga gawang.

“Melarang kiper akan berdampak negatif terhadap penampilan tim bila penjaga gawang yang tersisa mengalami cedera,” kata Presiden klub Khaled Kwaik.

Mantan pelatih tim nasional Palestina Noureddine Ould Ali menuturkan nasib orang-orang di Palestina yang tidak dapat bebas bergerak. Mereka harus melalui pemeriksaan berlapis oleh pasukan ‘Israel’.

Hal ini sebagaimana dialami  anak-anak Palestina yang dicegat ‘Israel’ saat hendak memainkan si kulit bundar di kawasan Maale Adumim, Jerusalem, yang merupakan kawasan rampasan ‘Israel’. Untuk menekankan adanya ketimpangan dan diskriminasi, anak-anak Palestina yang berdemonstrasi tadi meninggalkan tempat sambil bernyanyi-nyanyi, “Infantino, biarkan kami bermain.”

𝗕𝗲𝗿𝗺𝗮𝗶𝗻 𝗱𝗶 𝘁𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗰𝘂𝗿𝗶𝗮𝗻

Meski pesepakbola Palestina mendapatkan hambatan dan teror, kondisi itu sangat kontras dengan keseharian para pesepakbola ‘Israel’ yang bebas memasuki tanah Palestina secara illegal.

PFA berulang kali meminta FIFA menindak enam klub ‘Israel’ yang berbasis di wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka antara lain Kiryat Arba, Givat Zeev, Maale Adumim, Ariel, Oranit and Tomer.

PFA mengatakan tindakan tersebut bertentangan dengan undang-undang FIFA yang menyatakan bahwa tim negara anggota tidak dapat memainkan pertandingan di wilayah asosiasi lain tanpa izin.

Mereka menunjuk pada larangan yang dikeluarkan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) yang melarang tim dari Krimea bermain di Liga Rusia sesudah negara itu menduduki semenanjung Krimea pada tahun 2014.

PFA juga mengeluhkan bahwa ‘Israel’ menghambat aktivitasnya, termasuk membatasi pergerakan pemain antara Tepi Barat dan Gaza, dan melarang beberapa perjalanan internasional.

Alih-alih mengecam ‘Israel’, Presiden FIFA Gianni Infantino mengaku tidak akan campur tangan dalam masalah ini dan menganggap persoalan itu sudah selesai.

“FIFA telah memutuskan untuk menahan diri dari menjatuhkan sanksi atau tindakan lain baik pada Asosiasi Sepak Bola ‘Israel’ (IFA) maupun PFA. Wilayah ini menjadi perhatian otoritas hukum publik internasional dan FIFA harus tetap netral,” ujar Infantino dalam konfrensi pers tahun 2022.

Sari Bashri, Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk ‘Israel’ dan Palestina, mengatakan dengan menyelenggarakan pertandingan di tanah curian, FIFA ikut mengotori keindahan permainan sepakbola.

Dalam laporan berjudul ‘Israel’/Palestine: FIFA Sponsoring Games on Seized Land, HRW menegaskan dengan mengizinkan IFA mengadakan pertandingan di dalam tanah Palestina, FIFA terlibat dalam aktivitas bisnis yang mendukung pemukiman ‘Israel’ dan bertentangan dengan komitmen hak asasi manusia yang diutarakan Ifantino.

Kita tentu sepakat sepak bola harus dipisahkan dengan politik. Tapi sepak bola juga tidak boleh berdiri di atas penjajahan. Ia harus ikut bersuara memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. 

Untuk menutup tulisan ini, izinkan penulis mengutip kata-kata Presiden Sukarno dalam pidato antikolonialismenya di Kairo pada tahun 1964. 

“Kita tidak boleh lupa bahwa kita berjuang untuk seluruh umat manusia. Kita sekalipun tidak boleh lupa tentang penderitaan-penderitaan yang telah lampau yang dialami rakyat kita, sehingga kita kehilangan pandangan tentang tujuan kita semula.”

*** Penulis adalah Mahasiswa Ph.D. pada Center for Policy Research and International Studies – Universiti Sains Malaysia

Artikel Terkait

Terkini