Pizaro Gozali Idrus
Pengajar Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia
Pemilu Turki pada Sabtu, 14 Mei 2023 menjadi hari bersejarah bagi masyarakat Turki sekaligus pemilu terakhir bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan. Presiden Turki akan dipilih secara langsung melalui sistem dua putaran. Setiap kandidat harus mendapatkan simple majority atau meraih lebih dari 50% suara agar dapat terpilih.
Jika tidak ada kandidat yang memperoleh mayoritas, maka putaran kedua diadakan antara dua calon presiden yang paling banyak meraih suara di putaran pertama. Peraih suara terbanyak dalam putaran kedua ini akan menjadi Presiden Turki periode 2023-2028.
Erdogan akan maju dari partai koalisi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), Partai Refah Baru, dan lain sebagainya.
AKP dan MHP merupakan dua mitra koalisi utama yang membawa Erdogan memenangkan pemilu pada 2018. Sedangkan Partai Refah Baru merupakan pendatang baru.
Partai Refah Baru dipimpin Fatih Erbakan, anak dari tokoh Islam sekaligus mantan PM Turki Necmetin Erbakan. Tak pelak alih-alih sekedar dukungan elektoral, bergabungnya Fatih Erbakan merupakan dukungan moral bagi kepemimpinan Erdogan dan konsolidasi umat Islam di Turki.
Lawan Erdogan dalam pemilu 2023 ini adalah Kemal Kilicdaroglu yang merupakan calon dari gabungan koalisi enam partai yang dikomandoi Partai Rakyat Republik (CHP) dan IYI Parti.
Kilicdaroglu adalah pemimpin CHP dan telah menjadi Pemimpin Partai Oposisi Utama di Turki sejak 2010. Sedangkan IYI Parti merupakan partai pecahan MHP.
CHP adalah partai sekuler terbesar di Turki yang berusaha membawa Turki untuk memisahkan agama dan negara secara rigid. Pada tahun 2003, CHP mendukung larangan jilbab di tempat umum yang diberlakukan sebelum Erdoğan mengambil alih kekuasaan.
Meski CHP kini berjanji akan melindungi hijab jika menang pemilu, tidak semua orang mempercayai partai sekuler tersebut.
Dalam upaya untuk menggulingkan Erdogan, berbagai kelompok faksi politik seperti sekularis, anti-pengungsi, radikal kiri, nasionalis sekuler dan kelompok pecahan AKP telah berkumpul di satu “meja”.
Mereka menyebutnya kelompok “meja enam”. Terakhir salah satunya termasuk Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang merupakan partai kelompok separatis PKK. Untuk memuluskan dukungan kepadanya, Kılıçdaroğlu telah menjanjikan jatah wakil presiden kepada setiap aktor yang diundang ke “meja”.
Namun soliditas kelompok oposisi tidak serta mulus. Sebelumnya, 300 anggota Partai Masa Depan (GP) pimpinan mantan PM Turki Ahmet Davutoglu memilih mundur dari partainya karena tidak rela berkoalisi dengan kelompok separatis Turki seperti PKK dan FETO yang telah membuat kekacauan.
Sebelumnya, Ketua IYI Parti Meral Aksener sempat hengkang dari oposisi karena tidak yakin Kilicdaroglu bisa mengalahkan Erdogan. IYI Party juga kurang senang dengan hubungan hangat Kilicdaroglu dengan HDP yang memiliki kedekatan dengan kelompok teror PKK. Apalagi PKK menjadi biang kerok dalam ledakan Istanbul baru-baru ini. Ini akan menjadi pertaruhan IYI Party yang telah banyak dicemooh pendukungnya karena satu barisan dari kelompok “separatis-teroris”.
IYI Party memang dikenal sebagai partai dengan haluan ultranasionalis yang sangat mementingkan nasionalisme negara, meski akhirnya Meral setuju kembali ke Meja Enam setelah dibujuk. Semuanya atas prinsip untuk menjungkalkan Erdogan.
Dari sini kita melihat, potensi perpecahan di tubuh Kilicdaroglu lebih kuat dibanding kubu Erdogan karena koalisi lebih dibentuk oleh faktor-faktor pragmatis ketimbang ideologis.
Davutoglu sendiri mengakui kurangnya representasi kelompok Islam dalam koalisi oposisi. Sebab umumnya faksi utama kelompok oposisi terdiri dari sekularis, kelompok kiri, dan kelompok pendukung separatis.
“Akan ada kekurangan kelompok ketiga di Parlemen pada tingkat ini. Sebagian besar dari 300 deputi Aliansi Kebangsaan akan menjadi bagian dari sayap sekuler kiri. Kelompok terbesar kedua adalah nasionalis. Akan ada kekurangan keseimbangan jika sayap konservatif diwakili dengan lebih sedikit orang,” ucap Davutoglu.
Lalu bagaimana peluang Erdogan dan Kilicdaroglu pada pemilu 2023? Berdasarkan hasil survei, keduanya terus bersaing ketat.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan diprediksi akan menang dalam putaran pertama pemilu presiden (pilpres) dengan selisih kecil. Prediksi itu menurut jajak pendapat oleh pusat penelitian Areda and Asal. Pemilu presiden dan parlemen Turki dijadwalkan berlangsung pada 14 Mei.
Sejak 4 Mei, lembaga survei wajib menentukan siapa yang memesan dan mendanai survei mereka untuk merilis hasil jajak pendapat mereka. Survei Areda menunjukkan 51,3% responden siap memilih Erdogan Minggu ini, sementara 44,2% akan mendukung Kemal Kilicdaroglu, kandidat oposisi utama. Kandidat ketiga, Sinan Ogan, bisa memperoleh hampir 4% suara.
Aliansi AKP dan MHP akan memperoleh lebih dari 51% suara, menurut jajak pendapat itu. Jajak pendapat Asal memperkirakan Erdogan akan menerima 50,6% suara, dan Kilicdaroglu 46,3%.
Survei oleh Areda dilakukan pada 25.000 orang dari 11-12 Mei. Ini menjadi salah satu jajak pendapat pertama yang dilakukan setelah Muharrem Ince, kandidat presiden lainnya, mengumumkan pencalonannya tiga hari sebelum pemilu. Areda tidak memberikan informasi tentang sumber pendanaan dan margin of error. Survei Asal dilakukan di antara lebih dari 2.000 orang dari 10-12 Mei.
Namun demikian di survey lain, Kilicdaroglu dijagokan untuk menang. Dengan margin of eror survei sebesar 2%-3%, akan sangat sulit memastikan pemenang pertarungan ini. “Fifty-fifty,” begitu kata seorang jurnalis di Turki saat saya konfirmasi.
Pilpres rasa internasional
Yang jelas, Pilpres Turki seperti Piala Dunia. Gaungnya menyebar ke kawasan hingga dunia internasional. Gaung pesta demokrasi tersebut akan menyambar hingga Timur Tengah, Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika karena peran sentral Turki dalam memainkan diplomasi di kawasan.
Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Erdogan berhasil mengangkat Turki yang sebelumnya terperosok sebagai negara pinggiran di Eropa, menjadi jantung diplomasi keamanan di benua biru.
Erdogan juga memilih berada di tengah-tengah konflik Rusia dan Ukraina dan tidak ingin terbawa arus dukung kepada salah satunya. Situasi ini yang membuat negara-negara Barat geram kepada Erdogan. Beberapa kali Erdogan menolak untuk ikut dalam arus genderang Amerika untuk melawan Rusia dalam konflik Ukraina. Tapi Erdogan juga vokal mengkritik Rusia atas aneksasi terhadap wilayah Krimea dan serangannya terhadap masyarakat sipil di Suriah.
Sebaliknya, Erdogan juga mengkritik Amerika Serikat dan negara-negara barat yang memiliki standar ganda dalam bidang terorisme. Erdogan menilai Washington dan negara-negara barat terlibat dalam mendukung separatis PKK, meski AS dan Uni Eropa menyebut kelompok tersebut sebagai teroris. Alih-alih memerangi PKK, AS dan negara-negara barat diam-diam terus mempersenjatai PKK yang bertindak melawan Turki.
Baru-baru ini, Majalah The Economist yang berbasis di London sampai menurunkan opini redaksi agar publik Turki tidak memilih Erdogan, sebuah langkah yang aneh dan sulit dicari padanannya dalam kode etik jurnalistik. Tak pelak, jika sejumlah analis menilai akan terjadi hubungan yang lebih hangat dengan NATO dan AS jika oposisi menang.
Hal ini akhirnya yang membuat sejumlah tokoh dan ulama dari berbagai negara Islam menandatangani dukunga bagi Erdogan. Dukungan itu antara lain ditandatangani oleh Dr. ‘Alī al-Qaradāghī, Sekretaris Jenderal Persatuan Ulama Muslim Internasional, Syekh Sādiq al-Gharyānī, Mufti Agung Libya, Dr. Nawāf al-Takrūrī, Presiden Asosiasi Ulama Palestina, Prof. Dr. Nassīm Yāsīn, Presiden Asosiasi Ulama Palestina.
Untuk itu, menarik kita tunggu, bagaimana pemliu Turki dan bagaimana dunia internasional merespons hasil elektoral di negara di antara dua benua itu.