
Piala Dunia 2022 Qatar mengajarkan rumus klasik: tidak ada hasil tiba-tiba. Semua berproses. Tampilnya Maroko sampai semifinal, melalui jalan panjang berliku.
Piala Dunia 2022 Qatar sudah mencapai babak final. Banyak kejutan terjadi sepanjang perhelatan akbar empat tahunan ini. Seperti kita tahu di pertandingan pertama grup C, Arab Saudi mengalahkan Argentina. Di grup E, mengungguli Spanyol dan Jerman, dua negara juara dunia, mengantarkan Jepang ke perdelapan final. Terakhir, penampilan ikonik Maroko dari tim tak diperhitungkan menjadi semifinalis pertama dari Afrika Utara.
Hal ini menunjukkan bahwa peta sepak bola mulai sedikit melebar. Biasanya, kekuatan besar sepak bola itu hanya berada di Eropa Barat dan Amerika Latin. Dari Eropa Tengah ada Kroasia, pemilik jam terbang tinggi; finalis di Piala Dunia 2018. Bukan kesebelasan tiba-tiba, Kroasia, termasuk salah satu negara eks-Yugoslavia yang cukup kuat dalam dunia sepak bola di masa lalu sebelum Balkanisasi memecah mereka.
Munculnya Maroko sebagai kekuatan baru sebetulnya tidak perlu mengagetkan. Sebab, rata-rata pemain-pemain bola dari Afrika Utara, maupun bagian Afrika lainnya sudah merumput di berbagai liga besar Eropa Barat. Jepang yang menjadi juara di grup E mengungguli Spanyol dan menyingkirkan Jerman juga sudah menyumbangkan pemain-pemain di aneka liga raksasa itu. Begitu juga Korea Selatan, salah satu negara Asia langganan Piala Dunia yang mengutus tak sedikit pemain berbakat untuk berlaga di kompetisi ketat Eropa Barat.
Pada akhirnya sepak bola dunia itu ditentukan oleh rumus hampir baku: kompetisi, sistem, dan liga yang berjalan ketat dan baik. Karena sistem kompetisi yang baik, negara-negara Afrika yang secara ekonomi tidak semaju Eropa tetap memiliki pemain-pemain yang bisa disumbangkan berlaga pada liga-liga kaya semisal Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, Prancis maupun Belanda.
Penting dicermati, betapa tidak ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Pemain-pemain yang ada di Timnas Maroko, misalnya, lebih dari separuh lahir dan lalu berlaga di liga elite Eropa. Hal itu tak dapat disepelekan sebab Piala Dunia hanya berlangsung 4 tahun sekali sedangkan kompetisi antar klub berlangsung lama.
Bukan saja menjadikan para pemain seperti memiliki derajat teknikal serta ketahanan stamina sama, namun mental mereka juga sejajar dengan para pemain yang diutus berbagai negara di klub-klub raksasa di sana. Bergaul dalam kompetisi ketat di liga Eropa Barat bisa dikatakan salah satu sekolah sepak bola panjang dan sistematis.
#####
Proses pemilihan Qatar sebagai tuan rumah piala dunia edisi ke-22 memang pada awalnya penuh kontroversi. Namun, pemerintah Qatar, bekerja keras dan mengeluarkan dana besar-besaran. Kelihatannya seperti menghamburkan uang, tapi apa yang dilakukan oleh Otoritas Qatar justru sebaliknya. Mereka menginvestasikan sesuatu untuk kegiatan public relations dan promosi global yang akan bisa dilihat hasilnya kelak nanti.
Qatar seperti kita tahu, mungkin hanya negeri kecil yang selama ini terbenam dibalik nama besar Arab Saudi di Timur Tengah. Sekarang Qatar semakin jadi salah satu kekuatan penting di kawasan itu.
Sepak bola belum bisa dikalahkan cabang olahraga lain dalam meraih perhatian dunia. Kita melihat betapa Qatar mampu mengelola isu tersebut, mengerahkan segala hal baik salam peradabannya ke tatapan dunia. Bahkan dimulai saat bekerja keras mendapatkan hak sebagai penyelenggara; sesuatu yang amat tidak ringan dalam konteks pergaulan ekonomi dan politik dunia. Arab Saudi, tetangga dekatnya, sempat berharap agar penyelenggaraan bisa dikerjakan bersama sebagaimana pengalaman Jepang – Korea Selatan tahun 2002.
Piala Dunia kali ini memang paling mahal, pasti telah dihitung cermat oleh salah satu negara Teluk yang modern ini. Upaya pasti ekstra berbeda dibandingkan negara-negara maju ekonomi, mapan sepak bola dan memiliki infrastruktur utama serta penunjangnya. Mereka seperti memulainya dari nol. Pemerintah Qatar mengontrak berbagai konsultan kelas dunia, mempekerjakan berbagai perusahaan mapan dan profesional mumpuni mengejar tenggat pertandingan.
Upaya yang ekstra dan ekspres tentu melipatgandakan biaya. Padahal secara demografi negara itu bukan hanya kecil namun komposisi pekerja profesionalnya separuh disumbang mancanegara. Apalagi saat dilaksanakan, sepak bola bukan lagi sekadar pertunjukan teknik mengejar dan menendang bola, namun sudah menjelma menjadi peragaan peradaban. Di sinilah para konsultan citra, kehumasan, dan komunikasi ambil bagian. Biaya mahal akhirnya tidak jadi pokok soal.
####
Sepak bola memang bukan olahraga biasa. Pada masa lalu bahkan bisa menimbulkan perang. Negara-negara yang ingin terlihat kuat di mata dunia ingin menggunakannya sebagai alat.
Bermacam pemimpin dunia pada masa lalu, apalagi yang otoriter, benar-benar memanfaatkan olahraga ini sebagai sarana politik.
Namun, lebih separuh jumlah negara yang maju industri dan prestasi sepak bolanya identik dengan kemajuan ekonomi, bahkan demokrasi. Bertumbuhnya ekonomi dan demokrasi bersamaan dengan kemajuan sepak bola.
Di sinilah mengapa Eropa Barat menjadi panggung sumbu penting peradaban sepak bola. Piala Eropa jamak dipahami hanya satu derajat kewibawaannya di bawah Piala Dunia yang diselenggarakan bersela dua tahun. Perlagaan setingkat benua seperti Piala Amerika, Afrika apatah lagi Asia nyaris tak terdengar kecuali di benua penyelenggaraannya.
Kawasan lain itu memang memiliki motif berbeda. Amerika Selatan yang demokrasinya masih tipis dan labil memang ikut menyumbang tim tangguh. Namun yang stabil prestasinya hanya satu-dua negara besar semisal Brazil dan Argentina. Negara-negara Afrika memang mulai menyumbang sebagian pemain pada liga penting Eropa namun belum sanggup melahirkan tim yang stabil prestasinya.
Peta kekuatan mulai melebar, perwakilan empat besar kali ini sudah hampir berimbang, termasuk Asia yang pernah sekali menyumbangkan semifinalis yakni Korea Selatan saat jadi tuan rumah tahun 2002 bersama Jepang. Hal itu tentunya menjadi pekerjaan rumah besar bagi Asia yang menempatkan 5 kesebelasan pada turnamen ini yaitu Arab Saudi, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Qatar selaku tuan rumah.
Walau punya demografi besar, Asia mungkin agak terbelakang di dunia sepak bola dibandingkan kawasan Afrika yang sekarang lebih maju. Kita lihat komposisi pemain-pemain yang berlaga di liga kelas satu dunia, maka kita tahu bahwa Asia paling sedikit menyumbangkan pemain dibandingkan Amerika dan Afrika. Penyelenggaraan di Qatar bisa jadi punya daya ungkit bagi Asia kelak?
** Tulisan ini pernah dibahas Selasa, 13 Desember 2022, pada acara talkshow “It’s a Wonderful Day” di Good Radio Jakarta 94.3 FM.