Seribu tahun silam, pantai Jakarta mungkin ada di sekitar Balaikota DKI di Selatan Tugu Monas. Di sepanjang pantai tumbuh mangrove tebal.

Koridor.co.id

Jakarta yang kian ambles
Ilustrasi kota Jakarta. (Foto: Syaibatulhamdi/Pixabay)

Melalui Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Grogol, Krukut, Cideng, Cipinang dan lain-lain, ribuan ton lumpur dihanyutkan ke muara. Meski hutan tropis basah  kelas primer masih bertengger di pedalaman, namun curah hujan tinggi tetap mengakibatkan erosi. Di musim hujan, air kali di Jakarta itu coklat berlumpur.

Mangrove adalah vegetasi yang pintar menahan lumpur. Maka, pantai mangrove berawa itu lama-lama memadat. Mangrove tak hanya menahan lumpur dari daratan, ia juga menangkap lumpur yang terbawa deburan ombak laut.
Pantai Jakarta pun seinci demi seinci maju ke arah laut. Daratan baru terbentuk sebagai akibat sedimentasi. Tanahnya disebut aluvial.

Dengan mangrove yang tebal, laju sedimentasi itu bisa mencapai 7 mm per tahun (Murdiyarso, 2019). Ketika daratan terbentuk, mangrove bergeser ke arah laut. Mereka tak suka tumbuh di daratan kering, karena akarnya menyukai lumpur, dan sebagian besar mangrove bernafas dengan akarnya. Daratan aluvial ini muncul hampir di sepanjang Pantura Jawa.

Ketika VOC datang ke Jakarta pada 1610, kemudian merebutnya dari Pangeran  Jayakarta di 1619, ia membangun Loji di Kampung Tongkol, Muara Ciliwung, Pelabuhan Sunda Kelapa. Garis  pantai ada di sana. Seratus tahun kemudian Kali Ciliwung, mulai dari ruas Masjid Istiqlal melalui Jalan Gunung Sahari ke arah Ancol.

Batavia pun tumbuh dan kini menjadi Jakarta, yang bertumpu pada tanah aluvial yang lunak, lembek, rapuh.
Kini tanah-tanah aluvial itu ambles. Di beberapa titik di Jakarta Utara, subsidensi (keamblesan) tanah terjadi dengan kecepatan 6-7 cm. Hal serupa juga terjadi di Cirebon, Pekalongan hingga Demak. Di Semarang malah ada area yang amblesnya 10 cm per tahun.

Ada tiga alasan terjadinya subsidensi tanah aluvial itu. Pertama, pengambilan air tanah yang berlebihan. Kedua, beban struktur bangunan yang ada di atasnya. Ketiga, adanya proses alam pemadatan struktur tanah alias konsolidasi tanah (ada yang menyebut kompaksi).

Faktor konsolidasi atau kompaksi  tanah  juga tak bisa diremehkan. Di Pekalongan Barat, yang tak ada isu penyedotan air tanah dan tak asa beban struktur bangunan, penurunan tanah bisa terjadi dengan kecepatan 7 cm per tahun. Lebih tinggi dibanding subsidensi di tengah kota Pekalongan, yang hanya 5 cm, meski di situ ada masalah penyedotan air tanah dan beban bangunan (Susilowati, 2021, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan).

Jakarta, juga Pekalongan dan Semarang, akan tenggelam, cepat atau lambat. Banjir air rob yang kian ekstrem akan lebih sering terjadi. Sementara air laut akan naik rata-rata 3 mm per tahun akibat efek perubahan iklim (climate change).

Membangun benteng mangrove kembali? Terlambat. Mangrove hanya bisa membangun tanggul 7 mm per tahun. Defisitnya terlanjur besar.

Rekayasa teknis untuk selamatkan Jakarta tentu ada. Giant Sea Wall, yang desainnya ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), boleh jadi pilihan yang masuk akal. Ini model bendungan Afsluidijk di Belanda.

Mahal? Sudah pasti. Skema pulau-pulau reklamasi yang dikaitkan dengan tembok laut raksasa di Teluk Jakarta kandas karena soal politik. Ironisnya, pulau reklamasi tetap muncul juga, dan tak ada hubungannya dengan penyelamatan Jakarta.

Maka, sampai hari ini tak ada rencana mitigasi yang memadai untuk menghadapi bencana subsidensi tanah dan banjir reguler di Jakarta.

Dirgahayu 495 tahun Jakarta.

Artikel Terkait

Terkini