Senyum Manis di Baliho dan Suara Sumbang Kesehatan Mental

Koridor.co.id

Oleh: Dr. Erik Saut Hatoguan Hutahaean, M.Si

Jakarta, Koridor.co.id – Kampanye untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah dimulai. Berjuta kata sudah terucap, wajah yang dihiasi senyum manis bertebaran banyak terlihat di setiap kota. Ini adalah kenyataan tentang sebuah usaha untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Tetapi, pada kenyataan lain ternyata ada suara keras yang berasal dari masalah kesehatan mental.

Suara sumbang tentang fakta ketidaksehatan mental memberikan efek tidak memaniskan suasana kampanye. Hasil survey Indonesia-Nasional Adolescent Mental Health tahun 2022 mendapat ada 15.5 juta remaja mengalami masalah mental, 2.45 juta mengalami gangguan mental. Berarti sebanyak 34.9% anak muda masalah kehidupannya berpengaruh kepada menurunnya kualitas mental, dan sebanyak 5.5% anak muda akan kesulitan menjalankan aktivitas kehidupan, termasuk menjadi tidak produktif.

Intinya, kondisi mental anak muda membuat mereka sulit belajar, tidak bisa berkarya, sulit berinteraksi, dan tidak bisa bekerja. Suara sumbang ini menjadi masalah yang sangat penting untuk ditangani. Mental tidak sehat menurunkan kualitas hidup pada banyak bidang (pendidikan, pekerjaan, sosial dan kesehatan).

Keadaan mental yang buruk dapat menurunkan perekonomian. Akan lebih banyak pengeluaran, dan karena tidak produktif menjadi tidak punya penghasilan. Kondisi mental tidak sehat merusak keseimbangan emosional masyarakat. Janji kampanye untuk menyejahterakan rakyat melalui pembangunan sepertinya akan buyar (rusak dan hancur). Ini akan terjadi jika masalah kesehatan mental pemuda tidak menjadi bagian dari program pembangunan manusia.

Bagaimana pemuda bisa memiliki masalah mental?

Terdapat beberapa persoalan yang dialami remaja, dan kemudian menjadi faktor yang berpengaruh kepada penurunan kualitas mental.

  1. Tuntutan akademik yang memberikan efek bosan, dan kurikulum yang tidak sesuai dengan kapasitas mental peserta didik.
  2. Masalah di dalam keluarga yang membuat anak tertekan, trauma, merasakan hubungan yang tidak harmonis.
  3. Efek perubahan hormon remaja yang drastis membuat suasana hati menjadi penuh kebingungan.
  4. Peredaran narkoba yang masif membuat remaja terjebak di dalam perilaku penyalahgunaan obat dan zat psikotropika, yang kemudian memberikan efek perubahan fungsi mental.

Ekosistem Pencegahan dan Penanganan Masalah Kesehatan Mental

Ekosistem menjadi salah satu pendekatan dalam menangani masalah kesehatan mental. Pendekatan yang dimaksud adalah rangkaian tindakan pencegahan dan intervensi, juga dukungan yang melibatkan berbagai pihak dari masyarakat.

  1. Governance care, kebijakan yang pro kepada terwujudnya psychological well-being. Misalnya menyiapkan akses yang mudah bagi anak muda (masyarakat) untuk mengembangkan keterampilan psikososial.
  2. Community care. Melalui sekolah, (termasuk akademisi, dan komunitas) dengan memberikan edukasi tentang pencegahan dan penanganan masalah stres, cemas, dan depresi.
  3. Family care, keluarga yang selalu siap memberikan dukungan kepada seluruh anggota keluarga melalui pengasuhan dan komunikasi yang terbuka.
  4. Buddy care, yang merupakan pertemanan positif. Mengajarkan tentang cara-cara mengekspresikan, minat, bakat dan kemampuan remaja.
  5. Self-care, dengan cara berusaha mendapatkan pemahaman tentang diri sendiri, untuk kemudian mengembangkan dan menguatkan identitas-jati diri.

Peran Pemerintah dan Masalah Kualitas Mental Masyarakat

Sebagai bagian dari pemerintah, pemimpin negara merupakan salah satu pihak yang terlibat di dalam ekosistem pencegahan dan penanganan masalah kesehatan mental. Selain melalui regulasi, pemerintah juga perlu menyediakan sarana dan prasarana pemeliharaan kesehatan mental. Ini dapat dilakukan melalui program yang tepat sasaran.

  1. Menyiapkan kebijakan kesehatan mental sebagai upaya pencegahan, deteksi awal, dan pemulihan.
  2. Menyediakan pelayanan kesehatan mental yang terjangkau, termasuk tenaga yang terlatih untuk menangani masalah kesehatan mental.
  3. Melakukan kampanye untuk meningkatkan pemahaman tentang kesehatan mental dan untuk menekan stigmanya.
  4. Menyiapkan program pencegahan dan program intervensi untuk situasi krisis kesehatan mental.
  5. Melakukan pemantauan dan evaluasi hasil implementasi kebijakan

Penutup

Disadari atau tidak, sebenarnya situasi pemilihan calon presiden membuka peluang terjadinya masalah kesehatan mental. Misalnya adalah polarisasi politik yang menimbulkan ketidaknyamanan sosial di antara keluarga dan masyarakat. Tetapi, tidak sebatas itu. Pemilihan calon presiden dan wakil presiden memiliki hubungan terkait dengan bagaimana cara pasangan calon menyusun kebijakan yang implementatif dan menjadi bagian dalam melakukan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia. ***

*** Penulis adalah Kepala bidang pengabdian kepada masyarakat LPPMP UBJ (2023)


Artikel Terkait

Terkini