SERING kita dengar istilah “Saudagar”. Ada saudagar Bugis, saudagar Minang, Saudagar Mandar, dan lainnya yang dikaitkan dengan etnis tertentu.
Khusus Saudagar Bugis, apa pengertiannya? Menurut terminologi Prof. Dr. Latanro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Saudagar Bugis adalah pemimpin dan pemilik suatu atau kelompok perusahaan keluarga. Dia yang mendirikan perusahaan itu atau mengembangkan perusahaan warisan orang tuanya.
Dia bertanggungjawab atas tersedianya sumber-sumber (resources) yang diperlukan dan bertanggung jawab pula atas jalannya perusahaan, baik ke dalam maupun ke luar.
Di samping sebagai pemimpin perusahaan, Saudagar Bugis juga menjadi pemimpin keluarga dan pemilik kelompok perusahaan itu. Meskipun ada di antara pengusaha yang merupakan penerus usaha orang tua, tetapi tidak ada yang hanya melanjutkan usaha orang tua. Mereka semuanya telah mendirikan satu atau lebih perusahaan.
Pendapat Prof Latanro tersebut adalah hasil penelitiannya untuk disertasi doktornya. Masih menurutnya, Saudagar Bugis mewujudkan idenya sendiri dalam perusahaan, membiayainya dengan modal yang dikumpulkan sendiri dan mengelolanya sendiri pula.
Dia sekaligus sumber ide (inovator), penanggung risiko permodalan, dan pengelola perusahaan (manajer).
Motivasi merupakan salah satu faktor pendorong keberhasilan usaha. Dalam hal Saudagar Bugis, motivasi yang menonjol adalah mencari keuntungan yang halal. Berhasil tidaknya seorang pengusaha diukur dengan keuangan yang dihimpun dari hasil usaha.
Dengan adanya harta kekayaan yang berhasil dihimpun berarti keuntungan yang diperoleh itu halal dan penuh berkah. Seorang saudagar yang meski pun usahanya selalu memperoleh keuntungan tetapi tidak berhasil mengumpulkan harta kekayaan dianggap kekayaannya tidak bersih dan tidak membawa berkah.
Selain itu, menurut Latanro, agar seorang saudagar maju, motivasi lain yang diperlukan adalah seperti motivasi meningkatkan prestise sosial. Yakini dorongan untuk dapat berbuat baik terhadap keluarga/kerabat dan masyarakat sekitar, dan dorongan yang bersifat keagamaan.
Motivasi mencari keuntungan, kata Latanro, sebenarnya tidak berbeda bahkan komplementer dengan ketiga motivasi yang disebut terakhir. Peningkatan prestise dan kemampuan berperan sebagai tokoh keluarga/kerabat, masyarakat dan agama hanya mungkin jika ditunjang oleh kemampuan material yang diperoleh dari keuntungan usaha.
Peluang berusaha antara lain diawali oleh informasi. Latanro menganggap, informasi tentang kemungkinan atau peluang usaha baru diperoleh dari relasi, teman seorganisasi, dan berita-berita atau analisis-analisis dalam suratkabar dan media massa lainnya.
Perolehan informasi sebagai hasil omong-omong dengan teman atau relasi dipermudah oleh sifat Saudagar Bugis yang mudah menjalin persahabatan, tidak sombong, dan luwes dalam pergaulan.
Pergaulan sebagai unsur yang mengembangkan usaha sudah diisyaratkan dalam “lontarak,” dimana bagi Saudagar Bugis hal itu bukan merupakan sesuatu yang baru.
Lontarak adalah nasehat atau catatan sejarah yang ditinggalkan masa lalu dan ditulis dengan huruf dan bahasa Bugis pada daun lontar kering.
Ada empat hal yang minta diperhatikan oleh lontarak dalam berusaha.
Pertama, “kejujuran, karena dapat menimbulkan kepercayaan. Kedua, “pergaulan”, karena akan bisa mengembangkan usaha.
Ketiga, “kecakapan”, karena akan memperbaiki pengelolaan usaha. Keempat, “modal” karena inilah yang ikut menggerakkan usaha.
Tentang fasilitas pemerintah dilihat oleh Saudagar Bugis sebagai peluang yang harus dimanfaatkan untuk memajukan perusahaan.
Sedangkan dari perspektif budaya kesaudagaran, Prof. Dr. Mukhlis Paeni (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin), mengatakan saudagar itu biasa ciri khasnya mallabo (dermawan), kemudian rumahnya besar dan selalu lebih hebat dari orang di sekitarnya, dan yang ketiga, istrinya lebih dari satu. Biasanya Saudagar Bugis itu tidak berkelanjutan. Jika dia mati, mati pula kekayaannya.
*** Catatan Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) XXIII 30 April 2023 di Makassar