Akhir 1989 saya mendapatkan flu berat diikuti batuk berkepanjangan. Oleh Dokter saya diberikan obat antibiotik. Ya, memang sembuh, tetapi kemudian saya mendapatkan masalah lain: malam tahun baruan bersama keluarga di Ancol, Jakarta Utara, mendapatkan badan saya terus-menerus gatal-gatal, dengan bintil-bintil di daerah lipatan siku, lalu antara kaki dan paha.
Saya pikir waktu itu kena kudis, karena sadar diri perilaku waktu kuliah di kampus jorok bukan main. Lalu saya berendam di bathtub berisi permanagas kalium atau potassium permanganat (peka), dan Detol ditambah air hangat. Dua hari nggak sembuh-sembuh. Hitungannya kutu kudis pasti mati dengan cara seperti itu. Masalahnya orang tua tidak saya kasih tahu, sampai akhirnya mereka tahu, setelah melihat saya terus-menerus memakai cairan pembunuh kuman untuk mandi, lebih dari 10 hari.
Dari dokter kulit yang merawat, saya baru tahu bahwa saya mempunyai alergi terhadap obat terhadap penisilin. Dokter itu bilang: Kalau kudis itu bentuknya tidak seperti itu Dik! Menunjuk gatal-gatal hanya pada siku dan gatalnya karena digaruk. Diberikan obat anti alergi yang sederhana yaitu CTM, sembuh dan konsumsi penisilin berhenti, ya gatal-gatalnya berhenti.
Vonis mengidap alergi menambah kendala kesehatan bagi saya yang sebelumnya juga diketahui mempunyai darah rendah, hingga terlarang minum jus belimbing dan ketimun. Apalagi sampai tidak sarapan.
Masalahnya saya bukan terlarang untuk minum atau disuntik antibiotik jenis penisilin, tetapi juga jadi takut terhadap hal lain yang bersifat medis, di antaranya vaksinasi Covid-19. Sebab dokter kulit itu bilang bukan hanya gatal-gatal efek dari alergi, tetapi risikonya bisa menyumbat jalan pernapasan dan bisa berakhir, fatal.
Seperti dilansir Halodoc.com, reaksi alergi ini berbahaya, berakibat fatal, dan dapat menyebabkan pelepasan zat kimia tubuh tiba-tiba, termasuk pelepasan histamina dari sel-sel dalam darah dan jaringan tubuh. Zat kimia ini dapat melebarkan pembuluh darah, menurunkan tekanan darah, dan menyebabkan pembuluh darah bocor hingga mengakibatkan gatal-gatal dan bengkak terutama di sekitar wajah dan tenggorokan. Zat kimia ini juga bereaksi pada paru-paru dan menyebabkan reaksi asma yang menyebabkan saluran paru-paru menyempit, sehingga membuat pernapasan jadi sangat sulit.”
“Hantu” itu membuat saya jadi takut divaksinasi, apalagi ditambah cerita kawan, sesama jurnalis juga bahwa dia ditolak untuk divaksinasi karena menderita alergi obat. Browsing di Google tidak ada testimoni dari penderita alergi hingga kasus yang lebih berat, seperti autoimun bahwa mereka aman terhadap vaksinasi. Kalau pun ada penjelasan hanya diberikan top-down, tidak menyertakan kasus.
Tetapi setelah akhirnya terpapar Covid-19, meski masih tingkat ringan, sehebat apa pun menghindar, kesadaran akan pentingnya vaksinasi Covid-19 mengemuka. Memang didorong di satu sisi akhir tahun ini saya kemungkinan ke luar kota yang cukup jauh untuk urusan pekerjaan maupun keperluan pribadi. Tetapi juga kesadaran bahwa saya bisa jadi ‘bom waktu’ yang membawa virus itu ke mana-mana, termasuk di lingkungan terdekat. Iya, kalau korbannya saya sendiri.
Saya coba juga dengan risiko membawa obat antialergi dan vaksinasi dan saya mau kalau dilakukan di sebuah klinik atau rumah sakit. Jadi kalau “hantu” itu datang bakal ada yang menolong.
Masalahnya selama Oktober sulit sekali mencari vaksin di Jabodetabek. Orang-orang berburu vaksin kesannya hanya untuk keperluan ke luar kota, baik naik kereta api maupun pesawat. Hanya untuk mendapatkan sertifikat atau status di aplikasi. Bukan karena kesadaran untuk menekan wabah.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, ada vaksinasi Covid-19, yang digelar di klinik. Hasilnya, Selasa, 8 November 2022, pagi hari di sebuah klinik di kawasan Cimanggis, Depok saya divaksinasi, jenis pfizer. Ternyata, ada puluhan orang seperti saya. Ada yang baru pertama, ada yang statusnya DO alias sudah ada vaksin pertama, tetapi terlalu lama mendapatkan vaksin kedua, hingga harus diulang.
Setelah disuntik vaksin Pfizer, diam di sana pasrah. Que sera-sera (apa yang terjadi, terjadilah) 10 menit, 20 menit, 30 menit, satu jam lebih. Ternyata tidak apa-apa!: “Hantu” itu enggak datang! Saya ternyata tidak alergi vaksin Covid-19. Yang ada sampai di rumah hanya mengantuk dan tangan kiri divaksin pegal dan masih bisa digunakan mengetik. Hingga jam 23.00, masih bisa menulis dan ora opo-opo. Dulu ketika minum antibiotik paling lambat berapa jam bereaksi.
Mudah-mudahan testimoni ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi penderita alergi untuk tidak takut divaksinasi. Tentunya harus konsultasi dulu ke dokter dan percayalah, dokter akan mengawasi.
Kepada pemegang kebijakan kalau ingin melakukan sosialisasi untuk berbagai hal tidak hanya kesehatan, tetapi juga menyangkut menjelaskan terkait masalah musibah, kecelakaan hingga tragedi kemanusiaan yang menimbulkan korban jiwa akhir-akhir ini hendaknya jangan hanya top-down. Tetapi, juga membiarkan arus bawah atau dari bottom up berbicara. Memang belum tentu menyenangkan, tetapi bukankah itu memberikan masukan dan memberikan keadilan.