Nasib Pembiayaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Koridor.co.id

Ilustrasi Kereta Cepat.
Ilustrasi Kereta Cepat.

Impian Indonesia untuk memiliki kereta cepat tahun 2023 sudah di depan mata. Namun, impian ini masih menemui kendala dalam hal pembiayaan.

Santer beredar di media menyebutkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, mengaku bahwa suku bunga pinjaman yang diajukan ke China atas pinjaman sebesar 590 juta dolar AS sebesar 2 persen gagal disepakati. Pihak China sebagai peminjam menyetujui bunga pinjaman proyek sebesar 3,4 persen yang semula 4 persen (cnbcindonesia, 10/4/2023). Meski demikian, Menko Marves menyebutkan bahwa pemerintah masih mampu membayar pinjaman proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) karena penerimaan pajak Indonesia masih tinggi.

Meski Indonesia dinilai masih mampu membayar pinjaman proyek KCJB karena penerimaan pajak yang tinggi, namun pendapatan negara masih perlu realokasi untuk pembiayaan penting lainnya. Misalnya, untuk permasalahan infrastruktur pembangunan transportasi, penguatan pertanian, pendidikan, dan fasilitas kesehatan lainnya.

Apabila dilihat dari linimasa, biaya proyek pembangunan KCJB pada bulan Agustus 2022 biaya proyek KCJB mengalami pembengkakan (cnnindonesia.com, 1/8/2022). Pembengkakan biaya yang diajukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) tersebut mencapai US$1,9 miliar atau Rp28,5 triliun. Hal ini meningkatkan anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan menjadi Rp118,5 triliun yang semula Rp86,5 triliun.

Kemudian, pada bulan Februari 2023, Indonesia dan China sudah menyepakati nominal pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$ 1,2 miliar atau setara Rp18,24 triliun (kontan.co.id, 13/2/2023)Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Senin (13/2). Kesepakatan tersebut disebabkan karena adanya kajian pada beberapa item terkait pajak biaya, clearing frequency, dan sebagainya.

Adanya permasalahan pembiayaan pada proyek KCJB, seperti pembengkakan biaya hingga gagalnya negosiasi penurunan suku bunga pinjaman, memunculkan pertanyaan pihak mana yang akan menanggung pembengkakan dan juga bunganya. Apakah akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tidak mangkrak atau skema pembiayaan lain?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa yang menanggung pembengkakan biaya adalah kedua pihak baik Indonesia maupun China. Hal tersebut dihitung menggunakan proporsi kepemilikan saham masing-masing, sehingga tidak hanya memberatkan salah satu pihak.

Pembengkakan biaya proyek yang terjadi sudah menjadi beban dan ditambah lagi terdapat bunga pinjaman 3,4 persen yang jatuh tempo selama 30 tahun. Pembangunan infrastruktur memang ditujukan untuk memudahkan masyarakat. Namun, tidak menutup kemungkinan masyarakat pula yang akan menanggung beban utang yang telah disepakati saat ini. Oleh karena itu, perlu kajian studi kelayakan yang lebih transparan dalam menentukan pembiayaan megaproyek untuk ke depannya.

Walaupun penerimaan pajak naik 48,6 persen dari tahun 2022, penggunaan APBD sebagai tambalan kekurangan dana proyek melalui skema penyertaan modal negara tetap perlu diawasi dan dikawal. Pasalnya, pemulihan ekonomi akibat pandemi hingga saat ini masih berjalan dan membutuhkan alokasi anggaran yang besar.

Lebih lanjut, kereta cepat Jakarta Bandung yang dijadwalkan beroperasi pada 18 Agustus 2023 mendatang sebagai hadiah Hari Kemerdekaan Indonesia perlu dipastikan tidak memiliki kendala, termasuk dalam hal pembiayaan oleh Kementerian Keuangan. Begitu juga dalam hal teknis oleh PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), harus dilakukan perhitungan penentuan harga tiket setelah adanya pembengkakan biaya dan suku bunga pinjaman. Hal ini penting agar kepercayaan masyarakat untuk menggunakan transportasi canggih tetap terjaga dan tidak memberatkan bagi APBN.

Nuri Resti Chayyani

Peneliti Bidang Ekonomi

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

Artikel Terkait

Terkini