Bukan New York, Paris, atau Tokyo. Bukan pula Beijing atau Moskow. Pusat dunia ada di London. Semua yang terbukti pas, cocok dan matching di London (dan Inggris), gampang menggelinding, mendunia. Lihat saja riwayat The Beatles, Deep Purple, Black Sabbath, atau Queen. Di olah raga, ya sepak bola dan badminton. Datuknya dari Inggris.
Pun dalam urusan penyakit menular. Virus HIV/Aids yang melemahkan imunitas tubuh diungkap kali pertama di Amerika Serikat. Tapi, kasus-kasus pertamanya dirujuk pada gejala penyakit infeksi serupa yang lebih dulu muncul di Inggris.
Lantas, pandemi Covid-19. Varian Wuhan memang dianggap berasal dari China (meski banyak yang meragukan). Namun, kalau bicara Varian Alpha, Beta, Delta dan belakangan Omicron, asalnya bisa dari mana saja, namun meledak setelah beradaptasi lebih dulu di Inggris. Apa boleh buat, London memang titik temu bagi arus pergerakan manusia.
Arus manusia dari Amerika Latin, Afrika, Mediterania, Timur Tengah, Asia, Pasifik Barat hingga ke Amerika, semua tumplak di London. Setelah tercampur di Inggris baru rembes ke mana-mana. Tetasan awalnya tentu mengalir ke negara-negara Eropa Barat.
Yang terbaru adalah wabah cacar monyet (monkeypox). London (Inggris) menjadi terminal transit bagi virus ini untuk menyebar ke seluruh dunia. Tak pelak lagi, setelah beradaptasi di Inggris, virus ini pun mewabah ke berbagai penjuru dunia.
Meskipun anggota Komite Pengawas dan Penasihatnya gagal mencapai konsensus, dengan segala kewenangannya selaku Dirjen WHO, Tedros Adhanom Gebreyesus menyematkan wabah monkeypox dengan status Darurat Kesehatan Global. Statusnya naik dari outbreak (kejadian luar biasa) menjadi emergency. Masyarakat dunia diajak untuk tak menganggap sepele.
Penyebarannya berjalan cukup cepat. Bila pada 22 Juni WHO menyebut angka kasusnya 3.413 orang terinfeksi di 50 negara (dihitung sejak 1 Januari 2022), laporan 22 Juli 2022 menyatakan kasusnya sudah terbilang 16.016 dan muncul di 75 negara, dengan angka kematian lima orang.
Sebetulnya, angka 16 ribu itu apalah artinya dibanding 7,8 miliar penduduk dunia. Tapi, karena pola penularannya tak diketahui secara persis, dan tiba-tiba sudah muncul di 75 negara, status emergency dianggap patut disematkan. Apalagi, kini wabah cacar monyet makin diasosiasikan dengan kaum gay, biseks, atau apa pun namanya. Intinya kaum lelaki yang melakukan aktivitas seksual dengan sejenisnya.
Secara umum, WHO menilai risiko cacar monyet masih moderat secara global, kecuali di Eropa yang risikonya cukup tinggi. Di Inggris per 25 Juli, angka kasus terkonfirmasi tercatat 2.208 kasus, Jerman 2.356, Prancis 1.567, dan Spanyol mencapai rekor terbesar dengan 3.549 kasus. Angka-angkanya jauh melampaui insiden di tempat asal virus monkeypox: Republik Kongo, Afrika Tengah dan Nigeria.
Cacar monyet juga terpantau telah menyusup ke Indo Pasifik, yang meliputi kawasan Pasifik Barat, Asia Timur, Tenggara dan Selatan. Dashboard WHO menyebutkan, di Jepang muncul 1 kasus monkeypox, Korea Selatan mencatat 2 kasus, Taiwan 1 kasus, Australia 44 kasus, dan Selandia baru 2 kasus. Di India dikabarkan ada 4 kasus, Thailand 1 kasus (versi Reuter 25 kasus), dan di Singapura terjadi 9 kasus.
Bagaimana dengan Indonesia? Secara resmi dinyatakan tidak ada kasus. Sempat muncul kabar ada 9 orang terduga (suspect). Setelah pemeriksaan laboratorium (dengan PCR), tak satu pun positif cacar monyet.
Dunia sains sudah mengenal penyakit cacar monyet yang termasuk genus Orthopoxvirus sejak 1958. Virus menyerang primata hutan di Kongo dan Afrika Tengah. Baru pada 1970 diketahui virus yang menyebar secara zoononiz ini bisa menyerang manusia di Nigeria.
Sejak itu monkeypox diketahui menyerang manusia di Kongo, Afrika Tengah, Nigeria dan sekitarnya. Maka, kawasan di Afrika bagian tengah itu disebut zona endemi cacar monyet. Tapi, di situ prevalensinya rendah, hanya beberapa ratus kasus per tahunnya.
Namun, pada 2022 cacar monyet ini masuk ke Eropa. Pada 20 Mei, WHO menerima laporan penyakit ini telah menyerang 80 orang di berbagai tempat di dunia, dan 20 di antaranya di Inggris. Pada awal Juni, laporan yang masuk sudah di atas 1.000 kasus. Per 22 Juni dilaporkan ada 3.413 kasus, dan 86 persen di Eropa. Kasus di kawasan endeminya malah hanya 2 persen.
Secara umum, menurut WHO, penderita cacar monyet berusia 18-44 tahun, dengan rata-rata 36 tahun. Yang kini menjadi perhatian, dari seluruh pasien ada 5.561 orang yang mau membuka ihwal orientasi seks mereka. Ternyata dari jumlah itu, 98 persennya adalah kelompok gay, biseks, atau apa pun namanya. Yang pasti, dari seluruh pasien, ada 4.614 orang yang dapat ditelusuri catatan medisnya. Ternyata, 41 persen dari penderita monkeypox tercatat sebagai penyandang HIV/Aids.
Namun, Dr. Rosamund Lewis, ahli kesehatan masyarakat dari WHO mengingatkan, cacar monyet tidak secara eksklusif menyerang kaum pencinta sesama jenis. Virus bisa menyerang siapa saja yang terpapar, tanpa diskriminasi gender. ‘’Penyakit itu menular melalui kontak fisik yang dekat, face to face, kulit ke kulit,’’ katanya. Maka, dari penelusurannya, Lewis menemukan ada anggota keluarga penderita yang tertular.
Ada pula yang tertular tanpa riwayat kontak apa pun dengan penderita atau suspect, dan tidak pula melakukan perjalanan ke daerah endemi cacar monyet. Pun dia bukan LGBT. ‘’Sesungguhnya masih terlalu sedikit yang kita tahu tentang cacar monyet ini,’’ ujar Rosamund Lewis dalam video yang diunggah di laman resmi WHO.
Jadi, konstruksinya, kurang lebihnya begini: ada kelompok pria pelaku seks sejenis yang terinfeksi cacar dari Afrika Tengah. Mereka kembali ke Eropa (Inggris). Karena perilaku mudah berganti-ganti pasangan, virus itu cepat menyebar, utamanya ke kelompok homoseksual dan biseks itu. Kemudian menular ke anggota keluarganya. Nah, dengan cara yang belum diketahui, virus ini menular ke orang lain, di luar grup homoseksual dan keluarganya. Fenomena ini yang mencemaskan WHO.
Dirjen WHO Tedros Gebreyesus juga menekankan, penanggulangan cacar monyet tak cukup hanya soal surveilans, diagnosis, terapi dan vaksin. Adanya risiko yang besar di kalangan kaum gay, biseks dan pria pelaku seksual sejenis, menurut Tedros, memerlukan pendekatan sosial sendiri.
Kelompok tersebut perlu dilibatkan dalam menyusun tata cara deteksi dan surveilans. Jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman publik serta menimbulkan stigma dan diskriminasi, lalu berbuah persekusi.
‘’Jangan sampai terjadi stigma dan diskriminasi,’’ seru Tedros Gebreyesus. Sebab, menurutnya, stigma dan diskriminasi juga virus ganas dalam versi yang berbeda.