Setahun menjelang hajatan demokrasi elektoral 2024, jagat politik tanah air diwarnai hiruk pikuk diskursus mengenai sistem pemilu. Kali ini mengenai pentingnya pemberlakuan sistem proporsional tertutup dalam pemilu mendatang.
Isu ini gaduh usai sejumlah pihak mengajukan judicial review ke MK terkait penggunaan sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu.
Para Pemohon judicial review menilai, bahwa pemberlakuan sistem proporsional terbuka yang berbasis caleg suara terbanyak, seringkali dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan struktur partai politik.
Mereka bahkan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri (bukan juga mewakili rakyat).
Menanggapi diskursus ini, beberapa partai politik terbelah sikap. PDIP sebagai partai pemenang tegas mendukung. Senafas dengan itu, PBB melalui Ketum-nya Yusril Ihza Mahendra juga mendukung ide tersebut.
Di pihak lain, 8 (delapan) partai politik menyatakan menolak pemberlakuan sistem proporsional tertutup, yaitu Golkar, PKB, Gerindra, PAN, PKS, Demokrat, Nasdem dan PAN.
Di luar parlemen, kontestasi wacana ini juga membuat banyak pakar dan akademisi bersuara. Prof. Valina Singka misalnya, melalui orasi ilmiahnya sebagai Guru Besar UI mendukung sistem proporsional tertutup. Menurutnya sistem ini akan berkontribusi dalam menghasilkan sistem kepartaian dengan jumlah partai sederhana. Selain itu juga sistem ini mudah diaplikasikan dan berbiaya rendah serta mampu memutus mata rantai praktik politik transaksional.
Guru Besar UII, Prof. Mahfud MD yang kini menjabat Menkopolhukam juga mendukung pemberlakuan sistem proporsional tertutup. Ia merespons sejumlah kalangan yang menilai MK pernah memutus pemilu harus dengan sistem proporsional terbuka saat dirinya menjabat sebagai Ketua MK. Ia menyatakan bahwa MK tidak pernah memutuskan agar Pileg dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. MK juga tidak pernah memutuskan bahwa Pemilu Legislatif dengan sistem proporsional tertutup inkonstitusional.
Di pihak lain, sebagian akademisi menolak sistem proporsional tertutup karena dianggap mereduksi prinsip kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi.
Selain itu dinilai berpotensi menurunkan tingkat partisipasi dan kontrol publik terhadap calon wakil rakyat yang nantinya akan duduk di parlemen.
Proporsional Terbuka, ‘Bunuh Diri’ Demokrasi
Sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup harus diakui memang memiliki kelemahan dan kelebihan. Penerapan kedua sistem pemilu tersebut dalam sebuah negara harus dikontekstualisasikan dengan lingkungan sosial dan politik yang melingkupi.
Kesalahan dalam menetapkan sistem pemilu harus segera dikoreksi. Jika tidak, maka pemilu sebagai instrumen demokrasi justru akan berbahaya bagi tujuan demokrasi itu sendiri.
Sistem proporsional tertutup pernah diterapkan dalam Pemilu 2004. Sistem ini dalam pemilu berikutnya dikoreksi karena dianggap membatasi kedaulatan rakyat dalam memilih caleg. Dalam perkembangannya, pemilu 2009-2019 menggunakan sistem proporsional terbuka.
Faktanya, penggunaan sistem proporsional terbuka justru melahirkan banyak persoalan serius dan mendasar.
Pertama, Sistem ini menjadi pintu masuk maraknya transaksionalisme jual beli suara. Hal itu bisa dikonfirmasi dari pengalaman pemilu 2019. Setidaknya terdapat 67 kasus politik uang yang diputus pengadilan. Jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 berada di kisaran 19,4% hingga 33,1%.
Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia.
Maraknya politik uang ini sekaligus menegasikan konsep daulat rakyat yang dinisbahkan sebagai kelebihan sistem proporsional terbuka. Sebab fakta yang terjadi di lapangan bukanlah Daulat rakyat tetapi Daulat uang. Mereka terpilih sejatinya bukan karena suara terbanyak, tetapi terjebak oleh perilaku manipulatif karena besarnya sokongan modal.
Demokrasi terjerumus menjadi sistem berbiaya mahal, culas dan kehilangan elan vitalnya sebagai pilar penyangga kedaulatan rakyat.
Pemilu tidak lagi menjadi panggung demokrasi yang memungkinkan setiap orang berkontestasi secara jujur dan bersih. Secara tidak langsung, sistem ini pada akhirnya berkontribusi terhadap potensi terjadinya tindak pidana korupsi akibat politik berbiaya tinggi.
Kedua, sistem proporsional terbuka melahirkan sikap pragmatisme caleg dan pemilih yang merobohkan nilai etika dan moral. Mereka hanya berorientasi hasil tanpa peduli dengan keluhuran proses. Pemilu dianggap sebagai cara instan untuk meraih status sosial dan jabatan terhormat serta akses terhadap sumber daya ekonomi tanpa peduli dengan prinsip etika dan moral.
Penganut pragmatisme politik tidak pernah melihat politik sebagai idealisme untuk memperjuangkan rakyat, berpolitik dianggapnya sebagai mata pencaharian melalui modal yang ia transaksikan dan populisme yang ia jual.
Di tangan kelompok pragmatis, demokrasi terancam mengalami pembusukan (political decay). Sebab demokrasi sejatinya dibangun di atas fondasi etika dan moral. Dalam konsep bernegara, etika moral harusnya dipandang sebagai budaya hukum yang mengikat, karena memiliki ekses sosial dan politik yang tidak sederhana bagi perjalanan sebuah bangsa. Di banyak negara besar, seperti Jepang, tak jarang kita temui pejabat yang mundur karena dinilai melanggar etika dan moral.
Di Indonesia, dengan sistem proporsional terbuka, justru sangat potensial kita jumpai mereka melenggang menjadi wakil rakyat justru dengan melanggar etika dan moral. Ironis, sangat menyedihkan.
Ketiga, sistem proporsional terbuka mengondisikan caleg untuk saling serang meskipun dari partai yang sama, demi mendulang suara untuk dirinya. Bukannya bekerja sama untuk membumikan ideologi, visi dan misi partai demi meraih simpati pemilih. Mereka terkondisikan sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) dalam terminology Thomas Hobbes.
Situasi ini membuat keterikatan ideologis antara caleg dengan partainya berada dititik terendah. Faktor ini pula yang membuat banyak fungsionaris partai menjadi kutu loncat (imigran politik) ke partai lain, bahkan tak jarang melahirkan perpecahan internal dan berujung pada maraknya kelahiran partai baru yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Fenomena demikian sesungguhnya amat berbahaya karena akan merusak proses pelembagaan partai politik sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi seperti yang ditesiskan Huntington.
Lemahnya pelembagaan partai politik membuat demokrasi berjalan pincang, sebab partai politik adalah pilar utama demokrasi. Demokrasi hanya mengalami surplus gaduh, tapi keropos dan miskin kohesivitas.
Keempat, penggunaan sistem pemilu berkorelasi dengan stabilitas demokrasi. Penggunaan sistem proporsional terbuka yang mengkondisikan besarnya jumlah dapil dikombinasikan dengan rendahnya parliamentary threshold membuat banyak partai yang berhasil lolos ke parlemen.
Situasi ini menyumbang lahirnya sistem multi partai ekstrem yang sesungguhnya tidak compatible dengan sistem presidensial.
Sebagaimana dalil Scott Mainwaring, kombinasi antara sistem presidensial dengan sistem multi partai ekstrem adalah kombinasi sulit dan bertentangan dengan demokrasi yang stabil. Kombinasi keduanya sering kali menimbulkan berbagai kesulitan dalam relasi presiden dan parlemen.
Kondisi ini selanjutnya mengarah pada imobilitas atau kemandekan pemerintahan.
Mainwaring kemudian membeberkan fakta empiris, bahwa di dunia ini relatif sedikit negara yang berhasil dengan kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai ekstrem.
Tercatat hanya Chili negara yang menggunakan kombinasi tersebut dan mampu bertahan selama lebih dari 25 tahun. Selebihnya, sejarah demokrasi presidensial terutama di Amerika Latin sering kali merupakan sejarah eksekutif yang mandek. Kegagalan ini sering kali berujung pada kegagalan demokrasi.
Kelima, dalil para penganjur sistem proporsional terbuka bahwa sistem ini akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi publik dalam pemilu, faktanya tidak cukup terbukti di lapangan.
Data statistik menunjukkan, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2004 yang menggunakan sistem proporsional tertutup justru sangat besar yaitu, 84,1 persen. Sementara pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka, mulai pemilu 2009 sampai 2019, prosentasenya mengecil.
Pada pemilu 2009 hanya diikuti partisipasi pemilih sebesar 70,9 persen. Pada Pemilu 2014 sebesar 75,2 persen, sementara pemilu 2019 sebesar 81,69 persen. Artinya, sistem proporsional terbuka tidak berkorelasi apalagi menjamin partisipasi pemilih.
Justru dengan sistem proporsional tertutup akan mengondisikan partai dan para calegnya membangun kerja politik secara kolektif. Partai melalui para kadernya akan aktif meraih simpati publik dengan memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan rakyat.
Warna ideologi, visi dan misi partai akan mudah diinternalisasi dan menjadi kitab pandu bagi para kader partai di masing-masing konstituen. Kondisi ini sangat mungkin meningkatkan partisipasi pemilih.
Berangkat dari itu, wacana kembalinya sistem pemilu kearah proporsional tertutup harus didukung, karena akan menyelamatkan marwah demokrasi dari momok populisme berbiaya tinggi. Proporsional tertutup juga akan mengeliminasi potensi instabilitas pemerintahan, dan mendorong pelembagaan partai politik sebagai pilar penting demokrasi.
Diatas semua itu, pemberlakuan sistem proporsional tertutup akan menutrisi demokrasi dengan keluhuran nilai etika dan moral sebagai basis utama dalam membangun sebuah bangsa.
Tantangan sistem proporsional tertutup lebih pada kedewasaan partai politik untuk menempatkan caleg-caleg potensial dalam daftar nomor urut sesuai kapasitas, integritas dan loyalitas terhadap ideologi parpol. Justru dengan tantangan ini partai akan berbenah dan fokus melakukan kaderisasi sebagai necessary evil yang akan menjadi garda terdepan.
Partai akan cenderung menghindari kecerobohan dalam menempatkan caleg yang tidak kompeten, karena akan mencoreng kredibilitas partai politik di parlemen dan di mata rakyat.
Kini, peluang pemberlakuan sistem proporsional tertutup dalam pemilu 2024 berada di tangan MK. Kita meyakini dengan status kenegarawanan para hakim MK, sembilan (9) hakim konstitusi ini akan memutus pengajuan JR ini dengan pertimbangan yang visioner, sesuai cita konstitusi. Sebab membiarkan sistem proporsional terbuka dalam jangka panjang, adalah ‘bunuh diri’ demokrasi.
*** Penulis adalah:
Mantan Anggota DPR RI, dan kini Staff Khusus Menko Polhukam.