Oleh: Poltak Partogi Nainggolan
Jakarta, Koridor.co.id – Ke mana arah perkembangan eskalasi perang di Gaza dan Tepi Barat Palestina? Bagaimana orang harus memahami perang yang meluas dan berkepanjangan itu?
Sejak serangan Israel terhadap Hamas dilakukan pada 31 Oktober 2023, laporan Al-Jazeera per 13 Februari 2024 mengungkap 38.340 warga sipil Palestina tewas dan lebih 67.984 luka-luka di Jalur Gaza, ditambah 392 orang yang tewas di Tepi Barat.
Angka-angka ini meningkat cepat dalam agresi militer Israel yang baru berlangsung tiga bulan. Dari keseluruhan korban, 11.500 adalah anak-anak, termasuk bayi-bayi, dan 8.000 kaum perempuan serta orang tua.
Sedangkan 1,7 juta warga sipil Palestina tercerai-berai di berbagai wilayah konflik dan kamp pengungsian. Lebih 6.950 warga sipil Palestina ditahan dan 7.000 hilang, serta 337 nakes dan 8.000 pejuang Hamas tewas.
Belakangan warga sipil Palestina yang tewas dan luka-luka dalam sehari masing-masing sampai melebihi 300 orang tewas.
Angka-angka ini meningkat cepat seirama peningkatan agresivitas Israel di Gaza dan Tepi Barat. Sementara, sampai saat ini, hanya 1.139 warga sipil dan 229 prajurit Israel tewas, dan 136 ditahan.
Betapa realitas perang yang tidak adil (unjust war) telah berlangsung di Palestina saat ini. Seorang tentara Israel tewas begitu berharga, sedangkan ratusan warga Palestina tewas dalam 24 jam tidak berarti apa-apa.
Dalam sebuah kasus, tiga rumah warga sipil Palestina dibom hanya untuk membalas kematian seorang tentara Israel.
Banyak lagi kejadian yang mengabaikan hukum humaniter internasional dan memperlakukan warga Palestina, penduduk dan sekaligus pemilik Gaza dan Tepi Barat, sebagai unhuman. Sehingga, Afrika Selatan, didukung beberapa negara, menggugat Israel sebagai pelaku genosida ke Mahkamah Internasional di The Hague, Belanda.
Mempertahankan Diri?
Apakah ini kegagalan strategi Netanyahu untuk mengurangi ancaman Hamas, atau ia memang mau melancarkan aksi genosida di Palestina? Karena responsnya jauh dari indikasi mempertahankan diri akibat terancam.
Secara logis pun bisa dipahami, mana mungkin kekuatan Hamas yang hidup bersama warga Gaza bisa dieliminasi secara total, di saat warga sipil Tepi Barat diserang tentara Israel bersama pemukim Yahudi yang menduduki wilayah itu.
Juga, mana mungkin Israel mau menghentikan agresi yang berdampak pada pembunuhan massal warga sipil Palestina, jika AS terus membiayai Israel dengan senjata canggihnya?
Di meja diplomasi, AS bukan hanya mempertunjukkan standar ganda, namun juga terang-terangan membela Israel seolah tidak melakukan pembantaian warga sipil Palestina. Yang lebih menyedihkan, Presiden Biden yang dari Partai Demokrat, tidak mendorong Netanyahu untuk melakukan gencatan senjata demi mengurangi pembantaian para nonkombatan.
Dengan perkembangan teknologi, sebenarnya risiko tentara pengguna senjata canggih berkurang drastis.
Namun, langkah militer Israel (IDF) mengerahkan banyak pasukan cadangan dan menjalankan perang membabi-buta terhadap Hamas dan nonkombatan Palestina mengundang pertanyaan.
Netanyahu sempat diingatkan Biden, bahwa ia harus mengubah strategi perangnya, dengan cara merespons konflik berskala rendah, sebab Hamas sudah dikategorikan sebagai kelompok teroris.
Ada apa dengan gelar perang PM Israel yang didukung para sekutunya, yakni AS, Inggris, Prancis dan Jerman, demi self-defense? Mengarahkan kekuatan zeni tempur sebagai ujung tombak kavaleri dan menaruh infantri di belakang untuk melindunginya, bersama kehadiran pesawat tempur tercanggih F-35, secara realistis tidak sukses mengeliminasi Hamas.
Lemahnya data intelijen Israel mengungkap kelemahan Mossad, sehingga, selain kecolongan, tidak mampu mendeteksi basis-basis militer Hamas dan posisi rudal jarak jauhnya.
Tidak heran, tatkala IDF merangsek ke apa yang dicurigai sebagai kantung-kantung Hamas, roket-roket jarak jauh kelompok itu bisa menyerang Tel Aviv.
Sementara, warga sipil Palestina, terutama bayi-bayi, orang-orang tua, dan kaum perempuan, terus menjadi korban IDF, yang jumlah keseluruhan yang tewas sudah jauh melebihi setengahnya.
Tetapi, Netanyahu bergeming dan melanjutkan strategi perangnya yang aneh dan sangat brutal ini.
Netanyahu tidak peduli reaksi dunia internasional yang mendukung solusi perdamaian, dan tampaknya gagal membaca tujuan serangan Hamas.
Sejak awal, ia telah merespons serangan itu dengan invasi dan ofensif militer ke Gaza, dengan dukungan senjata tercanggih AS dan pengaruh diplomasinya. Tentara cadangan sebanyak 300 ribu lebih, di luar seratus tujuh puluhan ribu tentara inti, dikerahkan.
Blunder Netanyahu dalam merespons Hamas sejak awal sebagai konsekuensinya, dinilai lebih buruk lagi. Karena, IDF seperti tengah melakukan aksi holocaust di Palestina secara sistematis, seperti yang dipraktikkan Nazi di Jerman, sehingga kecurigaan genosida menjadi target, bukanlah berlebihan.
Tujuan Netanyahu
Dengan rencana ofensif ke Rafah yang padat penduduknya, Netanyahu memiliki tujuan jangka panjang, demi penguasaan lebih luas, dan pada akhirnya, pengosongan, wilayah Palestina.
Topeng ini kian terbuka setelah suara lantang menteri kabinet perangnya menyerukan warga Palestina segera beremigrasi keluar Gaza.
Peringatan Netanyahu sejak awal bahwa invasi bahwa perang akan berlangsung lama, menjadi logis, tidak semata karena lokasi gerilyawan Hamas yang sulit ditemukan.
Sulit dipercaya, Mossad sejak lama gagal mencium dan mendeteksi pembangunan basis militer Hamas di bawah bangunan rumah-rumah sakit di Gaza, jika memang itu benar!
Serangan IDF ke kamp-kamp pengungsi di Gaza dan Tepi Barat untuk menghancurkan basis Hamas, cukup mengejutkan.
Sungguh janggal, jika Mossad selama ini tidak pernah mendeteksi adanya aktivitas secara leluasa gerilyawan Hamas di kamp-kamp pengungsi.
Blokade bantuan kemanusiaan, yang membuat sebagian besar penduduk kelaparan, dengan kelangkaan air bersih, telah dilakukan demi memenangkan tujuan perang Israel.
Blokade juga dilakukan di meja diplomasi internasional di markas PBB, New York, sehingga usulan resolusi untuk gencatan senjata baru selalu kandas.
Humanitarian pause yang diserukan pemimpin dunia, seperti Paus Fransiskus, selalu dihalangi, dengan alasan mencegah Hamas melakukan konsolidasi.
Tidak ada tempat yang aman bagi warga sipil Palestina dari serangan bom Israel, baik di Utara maupun Selatan Gaza. Mereka yang berlindung di gereja dan rumah sakit diputus akses mereka ke logistik, listrik dan obat-obatan.
Tenda pengungsian juga menjadi target serangan IDF, sehingga penduduk mengungsi di kawasan pemakaman. Dengan 700 ribu warga terancam infeksi, Gaza terancam kematian massal.
Penggunaan nuklir untuk melumatkan Gaza telah disuarakan kelompok garis keras dalam rapat di Knesset, parlemen Israel.
Iran sebelumnya sudah gencar mengancam akan melumatkan Tel Aviv dan melenyapkan Israel dengan arsenal nuklir, jika mereka sudah memilikinya tentu.
Sebenarnya yang butuh self-defense siapa, sebab bukankah Israel yang melakukan pendudukan atas Palestina, dan terlebih, telah lebih dulu memiliki senjata nuklir?
Seharusnya, Israel cukup merespons ‘teroris’ Hamas dengan strategi kontra-konflik berskala rendah, dan bukan dengan aksi pendudukan dan perintah pengosongan Gaza.
Langkah ini mengikuti legalisasi pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat Palestina.
Namun, berapa korban warga nonkombatan Palestina yang bisa ditoleransi Netanyahu?
Tujuan genosida adalah jawabannya, jika Israel melegalkan pendudukan dan pembantaian di Jalur Gaza. Ini tidak boleh dibiarkan.
Dunia harus mengingatkan AS dan sekutu Baratnya untuk segera menghentikan dukungan pada Israel dan memaksa Netanyahu menghentikan agresi militer brutalnya ke Rafah.
Dunia harus menekan AS dan Israel serta pendukungnya kembali ke solusi dua negara PBB melalui berbagai resolusi yang telah dikeluarkannya, dan segera mengimplementasikannya.
*** Penulis adalah Research Professor untuk Kata Kelola dan Konflik, BRIN.