Oleh: Adib Ahmadi
Jakarta, Koridor.co.id – Indonesia punya sosok jenius yang cukup legendaris. Salah satunya bernama BJ Habibie. Kecerdasannya diakui dunia. Banyak karya cipta pria asal Gorontalo ini. Ada sekitar 46 temuan Habibie yang menjadi hak paten. Satu di antaranya Crack Progression Theory. Dengan teori Crack ini, Habibie berhasil memberi solusi atas masalah yang dihadapi dunia dirgantara, yakni mengatasi keretakan badan pesawat akibat kelelahan terbang.
Berapa IQ Habibie? Presiden ketiga Indonesia itu memiliki IQ 200. Angka ini cukup fantastis. Konon lebih tinggi dari IQ Einstein yang ‘hanya’ 160.
Orang macam Habibie tak banyak jumlahnya di negeri ini. Mengikuti kurva normal, posisinya berada di ujung kanan. Sedikit sekali. Sebaliknya, orang dengan keterbelakangan mental dan intelektual, jumlahnya juga sedikit, dan berada di ujung kiri kurva.
Kecerdasan Intelektual dan Korelasinya dengan Pendidikan
Jika Indonesia punya sosok jenius macam Habibie, berapa rata-rata IQ Nasional Indonesia? Mengejutkan, menurut data World Population Review. Pada tahun 2023 ini, tercatat skor IQ rata-rata di Indonesia sebesar 78,49. Angka ini belum berubah dari tahun lalu. Angka sebesar itu artinya, IQ rata-rata orang Indonesia tergolong amat rendah. Dari kategori kecerdasan, ada keterbelakangan kemampuan intelektual yang dialami bangsa Indonesia.
Salah satu analisa penyebab rendahnya kecerdasan nasional tersebut adalah pendidikan. Sistem pendidikan kita tidak mampu mengantarkan siswa pada kemampuan berpikir. Pengajaran di sekolah tidak berhasil membangun iklim bagi tumbuhnya daya nalar.
Rendahnya kecerdasan orang Indonesia ini terkonfirmasi hasil PISA (Programme for International Student Assessment). Satu metode pengukuran mutu pendidikan yang diinisiasi organisasi negara-negara yang bekerja sama di bidang pembangunan ekonomi (OECD). Indonesia masuk menjadi anggota OECD sejak tahun 2000 dan sejak itu pula Indonesia mengikuti program PISA yang diselenggarakan tiap tiga tahun.
Sepanjang 8 kali mengikuti asesmen PISA, terakhir rilis 2022, mutu pendidikan Indonesia selalu berada pada posisi rendah. Mayoritas siswa Indonesia berada pada level dasar (menghafal) dari Taksonomi Bloom. Hanya sedikit yang mencapai level kedua (memahami) untuk literasi dan matematika.
Bloom membuat katagori berpikir yang digunakan PISA sebagai alat ukur pendidikan. Ada enam level keterampilan berpikir menurut Bloom, dimulai dari level 1 menghafal, level 2 memahami, level 3 menerapkan, level 4 menganalisis, level 5 mengevaluasi hingga level 6 (kreasi mencipta).
Dari seluruh capaian survei PISA, kemampuan mayoritas siswa Indonesia hanya berada pada level dasar. Pada PISA 2018 jumlahnya sekitar 70%. Jika diterjemahkan lebih lanjut dalam literasi, mayoritas siswa Indonesia itu bisa membaca tapi tak paham apa yang dibaca.
Potret Dunia Pendidikan di Indonesia
Menurut Bank Dunia, kondisi siswa bisa baca tapi tak paham apa yang dibaca disebut mengalami learning poverty. Yakni satu keadaan siswa mengalami kemiskinan dalam pembelajaran. Ignas Kleden menyebutnya buta aksara budaya. Yakni ketika seseorang memiliki kemampuan baca, tapi belum menggunakan keterampilannya sebagai alat dan kebiasaan untuk mencari pengetahuan baru, hiburan serta berekspresi melalui tulisan.
Ini yang terjadi pada dunia pendidikan selama 20 tahun terakhir jika diukur dari PISA. Ada keadaan kemiskinan pembelajaran dan keterbelakangan penalaran. Dari berbagai survei, baik internal (dilakukan pemerintah sendiri) maupun eksternal (survei internasional) hampir semua mengonfirmasi keadaan ini.
Pandemi Covid-19 sering menjadi alamat kesalahan dari rendahnya mutu pendidikan. Padahal jika mencermati hasil PISA, jauh sebelum Covid-19, keadaan ‘stunting intelektual’ itu sudah dialami siswa kita untuk kurun yang panjang. Learning loss sudah terjadi jauh sebelum pandemi.
Inilah potret pendidikan kita selama ini. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Kenyataan harus disampaikan apa adanya untuk mendapatkan solusi terbaik. Bahwa pendidikan kita sesungguhnya dalam keadaan terpuruk selama bertahun-tahun, dari generasi ke generasi.
Jika mencermati grafik PISA sejak Indonesia mengikuti program itu pada tahun 2000, tak ada lonjakan signifikan. Gambarnya landai-landai saja. Hingga rilis terakhir 2022, gambarnya justru menurun lebih rendah dari awal Indonesia mengikuti Program PISA tahun 2000. Ini menandakan belum ada usaha serius dan signifikan dari perbaikan mutu pendidikan nasional.
Tantangan Bonus Demografi dan Indonesia Emas 2045
Rendahnya mutu pendidikan akan sama halnya mengatakan rendahnya mutu manusia Indonesia. Sedangkan rendahnya mutu manusia itu bisa diartikan bermacam-macam. Di antaranya, seperti maksud diselenggarakan PISA, Indonesia tak siap menghadapi abad ke-21. Indonesia tak siap menghadapi dinamika perubahan yang berlangsung secara cepat dan akan lebih cepat di masa mendatang.
Selain itu, harapan mendapatkan bonus demografi serta kesiapan menyongsong Indonesia emas pada tahun 2045, akan merupakan gambaran suram. Betapa tidak, bangsa ini di masa mendatang, berada dalam kendali nakhoda generasi saat ini yang amat rendah mutu. Tentu sulit berharap banyak pada mutu manusia yang rendah untuk menghadapi kompetisi yang akan berlangsung keras dan ketat.
Solusi Menuju Perubahan
Kondisi ini tentu sangat mencemaskan dan membutuhkan usaha luar biasa untuk mengatasinya. Beberapa hal yang mesti dilakukan adalah, pertama, perlunya kesadaran dan keinsafan bersama, bahwa keadaan pendidikan nasional dalam masalah besar. Tanpa ada kesadaran masalah secara kolektif, tak akan ada upaya besar untuk mengatasinya.
Kedua, ikhtiar memecahkan masalah pendidikan tidak bisa bertumpu pada satu pihak. Pemerintah harus secara terbuka mengajak berbagai elemen untuk bersinergi memecahkan masalah secara bersama. Berkali-kali perubahan kurikulum dilakukan pemerintah dengan ditopang anggaran cukup besar terbukti tidak memberi efek pada perbaikan mutu pendidikan. Saat ini daya dorong perbaikan harus melibatkan berbagai elemen bangsa untuk mendapatkan percepatan perubahan.
Ketiga, perlu disiapkan kebijakan darurat dan luar biasa, untuk mengatasi berbagai kelindan kerumitan, keruwetan dan kemacetan yang meliputi penyelenggaraan pendidikan. Beberapa permasalahan pokok yang perlu diurai adalah perbaikan pengajaran, perbaikan mutu guru termasuk penataan organ yang berkaitan dengan mutu guru. Selain itu perlu mengurai dan menata birokrasi untuk menopang percepatan perbaikan mutu pendidikan. Keberadaan birokrasi tak bisa menjadi entitas yang dibiarkan bekerja sendiri di luar semangat perubahan.
Kurikulum juga menjadi bagian yang perlu ditata ulang agar keberadaannya lebih efektif dan fungsional untuk menjawab kebutuhan. Banyak hal dari kurikulum saat ini adalah beban dan tak relevan dengan kebutuhan. Kurikulum perlu diurai terlebih dulu bangsa ini ke depan mau seperti apa, prioritas apa dan sumber daya manusia seperti apa yang harus disiapkan oleh kurikulum. Dengan demikian semua penyelenggaraan pendidikan akan berjalan terpadu dan terarah.
Tentu tak mudah mengatasi penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama terlanjur mapan. Ada zona nyaman yang sering kali membuat gerak perubahan mengalami tantangan. Namun semua itu perlu diatasi dengan menghadirkan suasana kebersamaan dan kepercayaan banyak pihak. Mungkin itu jalan perubahan yang saat ini sedang ditunggu.
*** Penulis adalah Wakil Direktur Politeknik Harapan Bersama.