Kandasnya Konsolidasi Demokratis sebagai Fenomena Kawasan

Koridor.co.id

Poltak Partogi Nainggolan, Profesor Riset bidang Tata Kelola dan Konflik BRIN.
Poltak Partogi Nainggolan, Profesor Riset bidang Tata Kelola dan Konflik BRIN.

Oleh: Poltak Partogi Nainggolan

Jakarta, Koridor.co.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober 2023, yang membolehkan Capres di bawah usia 40 tahun asalkan telah memiliki pengalaman sebagai Kepala Daerah, menandai akhir dari era reformasi di Indonesia.

Lembaga negara yang seharusnya menjadi pelindung konstitusi dan demokrasi tersebut telah diintervensi secara langsung oleh Anwar Usman, Ketuanya, yang memberi jalan terbuka bagi putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), sekaligus keponakan sang hakim MK itu, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam Pilpres 14 Pebruari 2024.

Keputusan MK pun kemudian mendapat sorotan media internasional, karena dinilai tidak lazim. MK dilihat telah membiarkan Presiden Indonesia, yang selama ini dikenal amat dekat dengan rakyat dan jauh dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) tersebut, jatuh dalam konflik kepentingan yang mempertaruhkan masa depan demokrasi di negerinya.

Kontradiktif dengan situasi politik di era reformasi di tahun pertama masa kepemimpinannya (2014) yang ditandai oleh keutuhan dukungan rakyat, pasca-keputusan MK, di akhir tahun 2023, era pemerintahan Jokowi di periode kedua diwarnai perpecahan di antara pendukungnya.

Di satu pihak terdapat kelompok yang tidak goyah, yang masih setia mendukung sikap Jokowi yang tidak melarang anaknya untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden di saat Presiden Jokowi masih berkuasa di takhta kepresidenan.

Di pihak lain, terdapat kelompok yang semakin keras mengritik sikapnya yang dinilai tidak konsisten dan kian terjebak mendukung mantan rivalnya di Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto.

Friksi di antara para pendukung Jokowi memperparah keterbelahan masyarakat Indonesia yang beragam dan sebelumnya pernah terpecah dalam konflik identitas di pemilu 2014.

Situasi yang kontraproduktif ini dapat membawa Indonesia menuju kegentingan politik yang rawan instabilitas keamanan di tingkat domestik dan kawasan.

Masa depan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang di awal abad ke-21 telah dijadikan model sukses adopsi demokrasi di dunia, khususnya Asia, pun kini berada di persimpangan jalan, yang dipertaruhkan nasibnya dalam beberapa tahun ke depan.

Kontestasi politik dalam Pilpres 2024 telah melibatkan kepentingan pribadi dan keluarga Presiden Jokowi dalam membangun dinasti kekuasaan.

Jokowi sendiri adalah Presiden RI ke-7, yang berlatar belakang sipil dan rakyat biasa. Ia bukan Presiden yang berdarah biru dan terlahir dari keluarga pejabat, dengan kecerdasan dan latar belakang pendidikan yang mengagumkan.

Ia hanyalah seorang pengusaha kelas menengah yang memulai karier bisnis dan politiknya dari bawah, dari pengusaha mebel sebelum kemudian beralih menjadi Walikota.

Keputusan Jokowi membiarkan putra sulungnya untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden menimbulkan ketidakpercayaan dan pertanyaan besar, termasuk di kalangan publik mancanegara.

Pertanyaan yang logis mengemuka adalah, motivasi dan kepentingan pribadi apa yang telah mendorong Presiden Jokowi rela meninggalkan pendukungnya yang selama ini berkomitmen melanjutkan amanat gerakan reformasi 1998 dan mendorong demokrasi Indonesia menuju konsolidasi?

Spekulasi pun bermunculan, mulai dari alasan kepentingan ekonomi dan politik pribadi dan keluarga besarnya, yang mulai terbangun.

Kedua hal tersebut dinilai telah melatarbelakangi keputusan dan sikapnya yang kontroversial tersebut sampai peran para oligarki di sekitarnya yang selama ini berpengaruh besar dalam membawa Jokowi ke tampuk kekuasaan.

Di luar itu, eksistensi beberapa proyek pembangunan besar yang berdampak pada masa depan Indonesia, terutama pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara (Kalimantan), yang dikuatirkan terbengkalai, jika ia sudah tidak lagi menjabat sebagai orang nomor satu, dijadikan spekulasi penilaian.

Kekhawatiran dirinya yang hanya berasal dari orang sipil kebanyakan, tidak seperti beberapa mantan Presiden Indonesia sebelumnya, dinilai juga cukup beralasan untuk menjelaskan mengapa ia berubah sikap akibat telah diliputi kekhawatiran akan masa depan dirinya yang takut terpuruk, jika ia sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden Indonesia pasca-Oktober 2024.

Terlepas dari motivasi Jokowi di atas, perkembangan situasi politik terkini Indonesia menambah kekhawatiran masyarakat dunia mengenai arah dan prospek demokratisasi di Asia Tenggara, yang belakangan semakin suram akibat bangkit dan munculnya dinasti-dinasti politik baru.

Di Filipina, dunia menyaksikan kembalinya dinasti Marcos ke tampuk kekuasaan Filipina setelah anaknya, Ferdinand ‘Bong Bong’ Marcos, menjabat sebagai Presiden Filipina, 30 Juni 2022, dengan mengambil puteri Presiden Duterte sebagai wakilnya, yang nantinya di perjalanan akan berkonflik kepentingan yang hebat.

Karena, kedua keluarga dinasti penguasa itu masing-masing ingin menunjukkan taringnya dan memperlihatkan siapa yang paling berkuasa.

Berikutnya, Thailand diperbincangkan dengan kembalinya dinasti Thaksin Shinawatra dalam politik Thailand, yang menandai peran dominan dinasti itu dalam dua dasawarsa terakhir.

Puteri Thaksin, Paetongtarn, maju dalam pemilihan PM Thailand, dan juga anggota klannya, Srettha Thavisin, telah terpilih sebagai PM baru Thailand pada 22 Agustus 2023.

Politik dinasti menjadi semakin menjalar di kawasan ini, setelah orang terkuat di kawasan, PM Hun Sen, mengalahkan prestasi orang kuat Indonesia, Soeharto, dengan berkuasa selama 38 tahun.

Hun Sen mewarisi kursi PM Kamboja kepada puteranya, Hun Manet, sejak 26 Juli 2023, setelah memenangkan kursi di Majelis Nasional dalam pemilu sepekan sebelumnya, yang dicurigai tidak lepas dari rekayasa pemerintahan ayahnya.

Masyarakat Indonesia yang selama ini mendambakan kemajuan signifikan reformasi politik Indonesia menyesalkan munculnya dinasti Jokowi yang telah menggagalkan proses konsolidasi demokrasi Indonesia.

Data empiris dari dokumen investigasi media massa, khususnya media elektronik, menjadi bukti ilmiah dari perkembangan politik yang memburuk itu. Sedangkan analisis isi atas dokumen dan berita investigasi mengungkap motivasi Presiden Jokowi dalam membangun dinastinya.

Perkembangan ini yang telah menyebabkan semakin buruknya kemunduran demokrasi Indonesia pasca-dua dasawarsa mundurnya Soeharto dan reformasi politik 1998 dimulai.

Perkembangan politik terakhir yang kontraproduktif di Indonesia telah diidentifikasi dalam berbagai tulisan tentang less liberal democracy (Diamond, 2013), democratic recession (Diamond, 2015), democratic backsliding (Cassani and Tomini, 2019; Bermeo, 2016), democratic regression (Aspinall and Warburton, 2017; Diamond, 2021; Power and Warburton, 2021), dan democratic decline (Rice, 2015).

Berbagai analisis kemudian memperkenalkan dunia akademik negeri ini pada perkembangan politik baru pasca-transisi demokratis yang sukses, namun telah gagal berakhir dengan konsolidasi demokratis, menjadi lebih jelas. Apalagi, jika dua periode pemerintahan Jokowi dibahas secara komprehensif, setelah dilaksanakannya Pilpres pada 14 Februari 2024.

*** *** Penulis adalah Research Professor untuk Kata Kelola dan Konflik, BRIN.





Artikel Terkait

Terkini