Kebebasan pers dan jurnalisme yang kurang cakap adalah kombinasi mengerikan yang dampaknya kita rasakan sejak reformasi sampai hari ini, dan mudah-mudahan tidak sepanjang masa.
Saya perlu menggarisbahawi harapan “mudah-mudahan tidak sepanjang masa”, sebab prospek ke arah “sepanjang masa” tampaknya ada, sementara prospek ke arah kebaikan kelihatannya melulu bersandar pada mukjizat.
Yang segera terasa pada tahun-tahun awal reformasi adalah sensasionalisme yang ditawarkan oleh koran-koran kuning yang bermunculan sebagai pesaing Pos Kota, si raja kuning di masa Orde Baru.
Nama-nama fenomenal dalam wilayah ini antara lain Rakyat Merdeka, Lampu Merah, Lampu Hijau, Meteor Jogja, dan Koran Merapi.
Kita sempat menyaksikan gelagat menggembirakan dengan munculnya beberapa upaya untuk mengembangkan jurnalisme investigatif, sesuatu yang musykil dilakukan di bawah rezim otoriter.
Tidak mungkin di bawah pemerintahan Soeharto kita mengembangkan jurnalisme yang bertujuan mengungkapkan fakta-fakta tersembunyi, menyoroti kesalahan atau penipuan, dan mengekspose kebenaran di balik cerita yang ditutup-tutupi.
Tidak mungkin juga pers Orde Baru mengungkap skandal, penyalahgunaan kekuasaan, atau pelanggaran etika dan hukum oleh individu, perusahaan, apalagi oleh pemerintah.
Sayangnya, jurnalisme investigatif tidak tumbuh menggembirakan. Ada majalah “Tajuk” pada waktu itu, dengan para wartawan yang mumpuni dalam menjalankan kerja jurnalistik dan mereka mencoba mengupayakan laporan-laporan investigatif, tetapi umur majalah itu pendek.
Majalah “Tempo”, yang terbiasa dengan reportase mendalam (in-depth reporting), juga menyambut kebebasan dengan menyiapkan rubrik investigasi dan menjanjikan ada laporan investigatif tiap pekan.
Namun, dengan kobaran gairah sebesar apa pun, menurunkan laporan investigatif tiap pekan adalah pekerjaan yang mustahil dipenuhi.
Jurnalisme investigatif biasanya melibatkan penyelidikan yang intensif dan mendalam, melacak dokumen, menggali data, dan melakukan wawancara dengan sumber-sumber yang memiliki informasi penting tentang isu yang sedang diselidiki.
Ia memiliki tujuan yang lebih spesifik ketimbang in-depth reporting, yaitu untuk membeberkan fakta-fakta yang disembunyikan dari penglihatan publik dan “mengadili” pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
Jurnalisme semacam ini tidak mungkin dihasilkan oleh para wartawan yang tidak pernah mendapatkan pelatihan dan pengembangan keterampilan jurnalistik yang memadai, yang bekerja pada institusi-institusi media yang menjadikan sensasionalisme sebagai kebijakan redaksional dan kesibukan utamanya adalah memburu trending topic.
Dan, laporan investigasi tidak mungkin dikerjakan oleh mereka yang untuk menulis straight news pun masih berantakan.
Dalam bidang penulisan jurnalistik, sempat muncul ikhtiar menarik yang dilakukan oleh Yayasan Pantau. Mereka memperkenalkan model penulisan jurnalisme sastrawi dengan menerbitkan majalah “Pantau”, tetapi majalah itu juga berumur pendek. Segala niat baik sepertinya berumur pendek di Indonesia.
Maka, nasib buruk jurnalisme kita adalah ketika ia memiliki kebebasan, ia sendiri tidak mampu mengembangkan diri. Dulu ada dalih untuk ketidakmampuan itu: Penguasa kita kejam. Sekarang tidak ada alasan untuk menjelaskan buruknya mutu jurnalisme kita kecuali ketidakcakapan.
Tentu ada sejumlah faktor penyebab, tetapi pada ujungnya adalah kita tidak mampu meningkatkan diri sendiri, dan mungkin tidak tahu caranya.
Kita gagal menciptakan tradisi jurnalisme yang berwibawa. Itu serupa dengan kita gagal mempertahankan keunggulan kita dalam bulutangis, gagal membangun sepakbola yang sanggup menang, gagal dalam perfilman, dalam memberantas korupsi, dalam meningkatkan mutu pendidikan, dan lain-lain.
Jika jurnalisme kita memiliki kecakapan investigasi, mestinya soal jalanan buruk di Lampung, yang dimulai ribut-ributnya oleh unggahan Bima di media sosial, bisa menjadi sinyal tentang perlunya laporan investigatif oleh wartawan. KPK menyatakan bahwa jika jalanan cepat rusak, kita harus curiga bahwa di situ ada korupsi.
Tetapi jurnalisme kita saat ini hanya senang mengobarkan keriuhan dan menggali-gali aspek melodrama di seputar isu itu. Dengan praktik jurnalisme semacam itu, publik mustahil mendapatkan informasi kenapa kondisi jalanan di Lampung seburuk yang dilaporkan para warganya.
Kegemaran terhadap keriuhan ini merupakan pukulan terakhir yang tampaknya membuat jurnalisme kita sulit bangkit.
(Bersambung)