
Riwayat pers Indonesia sebelum reformasi 1998 adalah riwayat tegang antara hasrat untuk bebas dan kehendak untuk mengekang. Pada masa Orde Lama, ketika bulan madu antara pers dan pemerintahan republik yang masih berusia muda berakhir, pemerintah tercatat melakukan pemberedelan lebih dari seratus kali.
Harian “Indonesia Raya” dibredel lima kali dan Mochtar Lubis, pemimpin redaksinya, harus mendekam pula dalam penjara.
Pada masa Orde Baru, pemerintah menjadikan dirinya kuat dan menyeramkan dan rakyat terus-menerus diperlemah; jurnalisme kita harus bekerja sangat hati-hati jangan sampai ada berita yang membuat pemerintah tidak senang.
Media massa harus menyensor diri sendiri untuk bertahan hidup di bawah tekanan politik dan kontrol pemerintah yang sangat kuat terhadap pers dan kebebasan berbicara.
Beberapa alasan bisa diajukan tentang praktek self-censorship oleh media massa. Pertama, intimidasi dan tekanan terhadap jurnalis, dan itu berarti ancaman kekerasan menjadi praktek yang lazim.
Sejumlah kasus penganiayaan terhadap wartawan, yang sebagian di antaranya berujung pada kematian, terjadi karena mereka menulis berita yang tidak disukai pemerintah atau korporasi atau pihak-pihak yang dekat dengan pemerintah—baik di level pusat maupun daerah.
Kedua, kebijakan “pembinaan pers”, yang berarti pers harus menuliskan berita-berita tidak membuat pemerintah marah.
Ketiga, ekonomi dan ketergantungan media terhadap para pengiklan besar, yang rata-rata dekat dengan pemerintah.
Keempat, media massa yang dianggap bandel oleh pemerintah bisa dimatikan sewaktu-waktu dengan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitaan Pers (SIUPP). Karena itu semakin besar sebuah media, semakin ketat ia menyensor dirinya sendiri.
Setelah Orde Baru ditumbangkan oleh gerakan reformasi, 1998, pers kita mendapatkan apa yang diidam-idamkan sejak lama, ialah kebebasan.
Tetapi tiga dekade mengembangkan perilaku menyensor diri bagaimanapun membawa risiko serius terhadap jurnalisme kita, bahkan setelah pemerintahan yang mengekang tumbang dan kita mendapatkan kebebasan sepenuhnya.
Problem utamanya adalah sumber daya manusia di bidang jurnalistik tidak berkembang secara
optimum. Ada kelemahan dari sisi penulisan, ada kelemahan dari sisi kemampuan meliput.
Diakui atau tidak, pers kita tidak begitu cakap dalam jurnalisme investigatif. Itu kecakapan yang harus kita lupakan selama kurun waktu pers kita menyensor diri.
Tentu ada banyak wartawan bagus di masa Orde Baru, tetapi ketika rezim itu tumbang, mereka sudah bukan wartawan muda lagi yang memiliki semangat yang sama menggebunya dengan pada masa mereka masih turun ke lapangan dan memendam keinginan untuk membongkar semua fakta yang disembunyikan. Beberapa memutuskan pensiun.
Generasi wartawan yang tumbuh setelah reformasi dihadang krisis moneter yang berdampak signifikan pada institusi pers. Korporasi mengurangi belanja iklan mereka dan itu pukulan telak bagi media yang selama ini ditopang hidup dan kesejahteraannya oleh pemasangan iklan.
Dengan media-media yang berjuang keras untuk memulihkan diri dari malapetaka krisis moneter, kita mudah membayangkan bagaimana mereka harus melakukan pemangkasan pengeluaran untuk mengurangi beban operasional. Setiap media akan memiliki detail masing-masing dalam urusan pemangkasan pengeluaran ini, tetapi ada satu yang tampaknya berlaku umum:
Mereka menyingkirkan satu hal yang sesungguhnya sangat penting bagi institusi pers, ialah memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan secara berkala kepada para jurnalis mereka.
Mendapatkan pelatihan dan pengembangan keterampilan adalah hak para jurnalis dan kewajiban institusi pers untuk mengadakannya. Tetapi pada waktu itu bahkan muncul praktek yang menyedihkan di mana media memberi beban kepada para wartawannya untuk meliput dan sekaligus mencari iklan.
Tidak semua media melakukannya, tetapi praktek semacam itu terjadi.
Tanpa upaya meningkatkan kualitas dan keterampilan jurnalis, risiko terhadap jurnalisme akan semakin meningkat. Tanpa kualitas dan keterampilan jurnalistik yang memadai, jurnalis akan kesulitan dalam mencari, memverifikasi, dan mengolah informasi yang akurat dan objektif.
Dan, pada fase terakhir, mereka juga kesulitan menulis berita secara baik.
Mestinya Dewan Pers bisa masuk di bagian ini untuk membela para wartawan; ia bisa memberi sanksi kepada institusi pers yang mengabaikan hak para jurnalis untuk mendapatkan pelatihan dan pengembangan keterampilan.
(Bersambung)