Hooliganisme tak ada sangkut pautnya dengan kecintaan pada sepak bola, meskipun kehadirannya sering mengekor pada klub sepak bola. Ada kawanan hooligan yang menempel ke Arsenal di London Utara dan menamakan diri The Gooners. Di Chelsea ada Headhunters, MU “dibebani” The Rockney Reds, Jack Army di Swansea City, Yiddos pada Spurs dan seterusnya.
Hanya sebagian kecil pendukung klub-klub besar itu yang ikut dalam geng-geng seperti Jack Army, Rockney Reds dan sejenisnya. Sebagian lagi ada yang disebut ultras, yakni kelompok suporter yang menunjukkan dukungan kepada tim kesayangan dengan cara yang lebih kreatif: spanduk besar, kostum unik, tambur, bas drum, klarinet, terompet, saksofon dan tarian riang gembira. Kelompok terbesarnya ialah suporter biasa yang susah atau senang, kalah atau menang, tak membuat mereka mengusik orang lain.
Di Eropa, aksi-aksi kekerasan atas nama sepak bola ini lebih banyak melibatkan kelas pekerja. Hoologanisme diasosiasikan dengan para pekerja kerah biru. Mereka dianggap lebih mudah terpengaruh oleh norma kekerasan dalam sepak bola.
Sosiolog Eric Dunning menyebut, sepak bola itu mengandung banyak unsur kekerasan. Ada sliding tackle, beradu badan, baku dorong, benturan kepala, nyerimpet kaki lawan, nyikut atau menabrak. Tak jarang ada adu adegan jotos, meski kini makin jarang. Di luar penglihatan wasit, ada aksi diving, nyerekal kaki atau mendengkul paha lawan. Norma-norma permainan sepak bola, kata Dunning, mengandung unsur kekerasan dan berpotensi untuk ditiru.
Jurnalis Amerika Bill Buford (1990), yang gandrung menelisik hooliganisme di Inggris, menulis bahwa adrenalin yang dihasilkan selama pertandingan menyajikan kunci dan elemen penguat bagi aksi hooliganisme di sepak bola. Bagi kaum hooligan, makin keras pertandingan, makin mengasyikkan. Sejarah panjang, tutur Buford, menyatakan bahwa kekerasan sepak bola itu berasal dari subkultur tertentu dengan preferensi kekerasan.
Kekerasan olah raga tidak terjadi di semua tempat dan di semua arena. Di arena tenis Grand Slam tak pernah terdengar ada aksi kekerasan. Di tribun, para priyayi dari berbagai kultur, namun menyatu dalam subkultur tenis yang sama, sangat tertib, bahkan tahu kapan harus mulai bertepuk tangan dan kapan mengakhirinya. Mereka menyaksikan para jagoan berlaga tanpa saling mengejek.
Sebagian mereka menyaksikan pertandingan dari balik kacamata Saint Laurent, Dior atau Chanel model terbaru. Blus, kemeja, gaun, pantalon, tas dan sepatu, serba branded dengan warna dan desain yang selaras, bak pameran busana musim panas. Mereka menjalani subkultur tersendiri. Tak ada keonaran maupun kekerasan di sana.
Hooliganisme memang khas melekat dalam sepak bola. Tingkat risikonya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Di Eropa, dari 17 negara yang diobservasi Eric Dunning di tahun 1990-an,16 di antaranya dijangkiti hooliganisme, berat atau ringan. Yang lebih aman dari hooliganisme justru negara-negara eks Uni Soviet. Di Moscow, polisi Rusia akan menghajar habis kaum hooligan.
Tak Kunjung Pudar
Bagaimana dengan Indonesia? Memori kolektif penonton bola di Indonesia mungkin tak akan jauh-jauh menempatkan Bonek dan Aremania sebagai kelompok suporter dengan hooliganisme dosis tinggi. Jakmania dan Bobotoh Maung Bandung, Laskar Mahesa Jenar PSIS, Slemania, Pasopati Solo berada di peringkat berikutnya. Semuanya membawa potensi ribut dan gegeran.
Di Eropa, hooliganisme telah memudar. Di negara jiran Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura, isu hooliganisme tidak pernah membesar dan menjadi serius. Justru, pada situasi ini, Sabtu malam lalu, kita dikagetkan oleh tragedi pilu di Kanjuruhan, Malang itu. Ada 125 jiwa melayang, 300 lainnya harus dirawat di rumah sakit. Beberapa di antanya terluka serius.
Polri telah menindak sejumlah personelnya, termasuk Kapolres Kabupaten Malang, karena dinilai tak menjalankan tugas dengan baik. Selain mendapat sanksi administrasi, sebagian mereka masih terancam pula pidana, dengan pasal kelalaian dan kealpaan yang mengakibatkan kematian orang lain.
Cukup? Tentu tidak. Hooliganisme sendiri belum tertangani. Perlu surveilans yang kuat agar para pelaku hooliganisme iitu bisa diadili dan dihukum. Mereka terbiasa memancing keributan di tengah lautan massa, tanpa mempertimbangkan risikonya. Perbuatan itu sepertinya tak patut lagi disebut Tipiring (tindak pidana ringan). Perlu pemberatan untuk rasa keadilan dan efek jera.
Banyak upaya yang dilakukan oleh otoritas sepak bola di Eropa untuk pengendalian. Surveilans atas penonton di lapangan ditingkatkan, dengan penindakan ke siapa yang melakukan pelanggaran dan membahayakan keselamatan orang lain. Selain sanksi pidana, ada sanksi black list tak boleh nonton sepak bola selama masa tertentu.
Penyelenggaraan pertandingan menjadi hal penting. Pertandingan yang buruk dan diwarnai banyak kecurangan dan pelanggaran, yang tidak mendapat sanksi tegas dari wasit, menurut Dunning, bisa memicu aksi hooliganisme yang lebih sangar dan brutal. Semua pihak dituntut agar sportif, termasuk suporter.