
SUDAH lama saya memendam rindu ke Poso, Sulawesi Tengah. Bagi yang belum tahu, letaknya persis di tengah-tengah pulau Celebes. Menghubungkan Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Pesisir pantainya yang indah berhadapan langsung dengan Teluk Tomini.
Selain tempat kelahiran yang tertera di KTP, tepatnya di Bonesompe, juga penasaran ingin tahu kondisi Poso sekarang. Terbayang desiran ombak laut di pesisir kota, pesona danau di Tentena. Juga ikan nike (lebih kecil dari ikan teri), ikan galapea khas Poso, dan sejumlah tanya lainnya.
Beruntung saya bertemu kawan dari Poso yang mengikuti Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) XIII di Malang Raya, Jawa Timur, pada penghujung tahun lalu. Mereka tergabung dalam kontingen PWI Provinsi Sulawesi Tengah. Ada Syamsuyadi DS dan Rusli Suwandi, jurnalis Poso. Dan Rusman seorang PNS pendamping dari bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso.
Terbayar. Kangen saya ke Poso. Bersama ketiganya saya merasa seolah ‘terbang’ ke sana dan bernostalgia. Mereka banyak bercerita, update keadaan Poso. Juga pada kesempatan lain, mereka kerap mengirim link berita media, postingan youtube medsos dan TV, serta podcast dari orang nomor satu Poso. Setidaknya bisa mengobati kerinduan yang menggunung. “Rindu itu memang berat hehe” seloroh Syam mengutip film romansa remaja Dilan-1990.
Dari mereka juga saya tahu Poso yang sempat terkoyak akibat kerusuhan berbau SARA beberapa tahun silam itu sudah terajut kembali. Konflik antaragama di Poso sudah selesai tahun 2007. Sejak ditandatangani nota perdamaian di Malino, Sulawesi Selatan.
“So normal….” ujar Rusli singkat. Diamini kedua kawannya.
Tapi yang terjadi pasca itu, menurut Rusli yang juga Ketua PWI Poso, justru tantangannya lebih berat. Karena mereka mesti “melawan” stigma wilayah Poso tempat bercokolnya pelaku terorisme.
“Seiring waktu, so ta kikis (terkikis) stigma itu,” tambah Rusman, kawan lainnya meyakinkan dengan logat khas Poso yang mirip bahasa orang Manado.
Meski dia sendiri sebenarnya orang Bugis yang sejak tamat S1 jurusan Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas) merantau ke Poso.
Untuk mendukung pernyataanya, dia lantas membeberkan beberapa data dan investor yang sudah melirik Poso sebagai pilihan aksi korporasi dan penanaman modalnya. Bahkan sejumlah event dan kegiatan skala regional dan nasional seperti Festival Danau Poso sudah rutin digelar.
Bunga Desa Bupati Poso
Itu satu hal. Hal lain yang menarik, mengusik pikiran saya dan bikin pangling, adalah aksi dan inovasi dari Bupati Poso.
Pernah dalam suatu kesempatan, warga desa sudah berkumpul. Di sebuah lapangan. Ada beberapa tenda ukuran jumbo yang disulap layaknya posko darurat. Yang kerap kita saksikan saat terjadi musibah atau bencana alam. Tapi kali ini aman tidak ada tragedi.
Hari itu, di penghujung 2021, di Desa Lena, Kecamatan Pamona Utara, ada hajatan warga. Temanya: “Bunga Desa”. Penasaran?
Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Tentu saja wanita. Cantik. Lima i. Modis dan Stylish. Sang “Bunga Desa” itu: Verna! Nama lengkapnya Verna Gladies Merry Inkiriwang.
Oh…ya, yang membuat saya pangling terjawab. Rupanya si “Bunga Desa” pernah menjadi runner-up dalam ajang Miss Indonesia 2007 sebagai perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah.
Sejak itu, mendadak si ‘Bunga Desa” mendapat sorotan lampu. Jadi buah bibir. Hari itu sekaligus menandai launching perdana program unggulan “Bunga Desa” yang diagendakan rutin sekali sebulan menjangkau desa terpilih di seluruh kecamatan.
Apalagi perempuan pertama yang jadi Bupati di Sulawesi Tengah ini mengerahkan sejumlah pegawai dari berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) untuk ikut bersamanya terjun ke desa. Terutama yang berasal dari instansi/lembaga yang terkait langsung dengan pelayanan publik.
“Bunga Desa” sendiri akronim dari “Bupati Ngantor di Desa”. Intinya mendekatkan jarak pelayanan. Bukan hanya secara fisik, juga tanpa sekat birokrasi. Menghadirkan aparat pemerintah yang betul-betul sebagai pelayan. Bukan dilayani.
Secara umum, program ini merupakan bagian dari tujuh pilar program unggulan yang diusung Pemkab Poso. Yakni Desa Maju, Poso Pintar, Poso Sehat, Poso Sejahtera, Poso Pakaroso, Poso Harmoni dan Tangguh, kemudian Poso Bersinar.
Ada pun pelayanan publik yang dihadirkan bemacam-macam. Ada pelayanan KTP, KK, KIA, akta kelahiran, akta kematian, pelayanan KB, perizinan, perpustakaan keliling, pelatihan pembuatan pupuk, pemeriksaan kesehatan hewan, pelayanan pajak daerah dan lainnya.
Sedangkan pelayanan dari instansi vertikal yang ikut digandeng dalam program “Bunga Desa” antara lain seperti BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, pajak kendaraan bermotor, perpanjangan SIM, donor darah, sosialisasi narkoba, serta layanan kredit usaha kecil dan mikro dari perbankan.
Dari DPR Jadi Bupati
Verna nyemplung ke dunia politik mengikuti jejak ayahnya. Diawali sebagai anggota DPR-RI tahun 2009. Dapil Sulawesi Tengah. Usianya masih muda, 26 tahun. Pada Pemilu berikutnya, ia terpiih periode kedua sebagai wakil rakyat di Senayan. Masih Dapil yang sama. Sang ayah Piet Inkiriwang pernah menjabat Bupati Poso dua periode 2005-2015.
Ia seorang dokter. Dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Tamat 2008. Pendidikan SD sampai SMA-nya di Manado. Sebelum ke Senayan, Verna bekerja sebagai dokter di RSUP dr. RD Kandou Malalayang Manado.
Karena latar belakang itulah saya menduga diawal periodenya ia secara diam-diam melakukan “general check up” (GCU) birokrasi yang dipimpinnya. Mendeteksi “penyakit” yang sudah lama menggerogoti.
Ketemu. Antara lain lamban, tidak efisien, gemuk, dan minim inovasi. Dan itu terjadi juga di daerah lain. Tergantung pemimpinnya. Mau diapakan.
Sudah bukan rahasia lagi dan kita sama-sama tahu. Birokrasi itu ruwet. Berbelit-belit. Tapi di tangan Bupati Verna menjadi simpel. Caranya? Bertahap. Pertama-tama, ia ingin mengubah perilaku seluruh pegawai di Pemkab Poso lebih sigap dan cekatan. Termasuk mindset mereka terhadap birokrasi dan pelayanan prima.
Ide program “Bunga Desa” yang digagas Bupati Verna pun saya kira tak lepas dari hasil general check up (GCU) yang dilakukannya. Pertanyaannya, mengapa general check up birokrasi?
Pasalnya, gaya kepemimpinan Bupati Verna layaknya seorang dokter yang dikenal cepat dan tepat dalam melakukan “diagnosis” terhadap berbagai “penyakit” yang menggerogoti birokrasi dan masalah pembangunan. Cepat, supaya tidak menjalar kemana-mana. Tepat, karena bertumpu pada data dan argumen yang scientific.
Hasil diagnosis tersebut dipilah satu-satu. Bergantung tingkat atau level keparahan penyakit-nya. Kalau hasil GCU-nya merah atau level mengkuatirkan maka secepatnya dirujuk masuk perawatan ICU atau unit gawat darurat.
Salah satu temuannya, penyakit birokrasi adalah perilaku ASN yang belum profesional. Padahal, sumber daya ASN yang mumpuni merupakan kunci dalam pelayanan. Pelayanan publik yang buruk akan memberikan kesan negatif. Bahwa pemerintah tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Bukan hanya dalam pengertian fisik pegawai, tetapi menyangkut seluruh aspek yang melekat pada pegawai yang bersangkutan. Mulai dari perilaku, kompetensi, pengetahuan, kreativitas atau soft skill lainnya. Masih banyak ASN yang berpikir bukan sebagai pelayan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan kekuasaan.
Kemudian ia menyimpulkan dengan terapi “obat mujarab” untuk penyembuhannya. Bukti keampuhannya, salah satunya terlihat dari sambutan antusias masyarakat terhadap program “Bunga Desa” yang sudah berjalan lebih sepuluh kali.
Bagi yang kontra, boleh jadi menganggap itu hanya pencitraan. Apalagi di penghujung masa jabatannya.
Bupati Verna enggan berpolemik. Ia berdalih menjalankan mandat rakyat dalam tujuh poin fokus pembangunan Poso. Coba tengok dan perhatikan salah satu poinnya: percepatan reformasi birokrasi dan transformasi pelayanan publik!
Semoga suatu waktu saya bisa bertemu Bupati Verna. Dan tidak pangling lagi.
*Penulis seorang Wartawan, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.