Oleh Hamid Basyaib
Maskapai penerbangan umumnya tidak sanggup menjamin seratus persen keamanan penerbangan pesawat mereka. Maklum, seperti ratusan penumpang mereka, para pilot dan kru pesawat pun manusia biasa — lumbung kecerobohan, kealpaan, keterlenaan dan sebagainya.
Tapi, sambil mengoptimalkan tingkat keamanan — mematuhi pengawasan ketat dari lembaga-lembaga pengawas internasional — mereka mencadangkan metode lain dalam mengupayakan keamanan penumpang; setidaknya mengurangi kecemasan penumpang selama terbang. Mereka menyediakan teks doa keselamatan.
Itulah, misalnya, pelayanan ekstra yang disediakan oleh Batik Air. Tadi pagi ia menyuguhi saya dan seratusan penumpang lain selembar kertas tebal berisi doa versi enam agama. Dan ia memperhitungkan proporsi berdasarkan data demografi. Doa Islam disajikan paling besar dan paling panjang di halaman utama, lengkap dengan teks berbahasa Arab; di halaman sebaliknya dijajarkan formulasi doa lima agama lain.
Umat Kristen Protestan dianjurkan oleh Batik Air untuk memohon kepada “Bapa Sorgawi” agar penerbangan beserta seluruh penumpang, pilot dan kru diberi keselamatan. Umat Katolik disarankan memohon “demi nama Bapak, Putera dan Roh Kudus.”
Doa Katolik disertai referensi kisah Biblikal tentang penyelamatan “anak-anak Israel yang menyeberangi laut dengan kaki keing (Sic; maksudnya kering?)”. Diingatkan juga bahwa dulu “tiga raja budiman dari sebelah timur” telah ditunjukkan jalan (kepada Bapak), “dengan bimbingan bintang yang ajaib”. Maka hendaknya Bapak melakukan hal yang sama kepada saya dan seratus kawan seperjalanan.
Doa Hindu singkat sekali, dan tidak fokus. “Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Jaya Yang Maha mengatasi segala kematian…. kekayaan, kepandaian adalah atas tadnya suciMu.. menjadi bersih dan mencapai kebahagiaan lahir batin” — setelah membaca empat kali saya tetap gagal memahami teks yang berkonteks perjalanan udara ini.
Doa Budhisme sedikit lebih panjang, tapi karena agama ini tidak mengenal konsep Tuhan sebagaimana agama-agama lain, maka harapan keselamatan disandarkan pada “sang Bhagava, yang Maha Suci, yang telah Mencapai Penerangan Sempurna”. Ini harus dinyatakan tiga kali, selain seruan “Sadhu! Sadhu! Sadhu!”
Teks doa Konghucu diletakkan sebagai penutup, mungkin karena ia bungsu dari enam agama yang diakui negara. Bunyinya: “shanzai ke hadirat Tian, Tuhan Yang Maha Esa di tempat Yang Maha Tinggi.” Kemudian: “Dengan bimbingan Nabi Kong Zi. Dipermuliakanlah SHANG DI, Tuhan Yang Maha Kuasa, berikanlah bimbingan kepada… dst.” Mereka yang akrab dengan nabi-nabi Biblikal/Semitik memang kurang mengenal nabi Tiongkok ini.
Dengan khazanah doa sekaya itu, maka tenteramlah hati saya karena tahu bahwa, selain berdoa kepada Allah dengan cara Islam, saya dikawal oleh Bapa Sorgawi, Bapak Roh Kudus, Om Sanghyang Widhi Wasa, Sang Bhagava dan Tian plus Nabi Kong Zi. Perjalanan 50 menit ke Jogja jadi tak terasa.
*
Mengapa teks doa serupa tidak disediakan oleh perusahaan-perusahaan bis, taksi dan jenis-jenis kendaraan roda empat lainnya? PT Kereta Api Indonesia tampaknya menyediakan teks serupa (meski saya lupa ada berapa versi doa yang disajikan KAI).
Ketiadaan teks itu di kendaraan komersial roda empat mencerminkan ketidaktahuan perusahaan-perusahaan pengelolanya terhadap data tentang keamanan berkendara. Statistik menunjukkan: perjalanan dengan pesawat terbang 200 kali lebih aman daripada perjalanan dengan mobil di darat. Artinya frekuensi kecelakaan lalu lintas 200 kali lebih sering daripada kecelakaan pesawat terbang — kendaraan manusia yang diawasi oleh instansi-instansi internasional dengan sangat ketat.
Tapi mudah-mudahan saya kurang cermat mengamati apa yang ada di kantong kursi bis-bis malam yang sangat banyak itu. Mungkin “Arimbi”, “Tunggal Dara” dan lain-lain pun sudah lama menyajikan teks doa di kantong kursi mereka. Bahwa penumpang hampir tak pernah membacanya, itu soal lain. ***