Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, itu memilukan, memalukan dan akan terus menyisakan kecemasan. Siapa tak pilu mendengar 125 jiwa meregang nyawa, sebagian besar anak muda, di tengah turbulensi arus massa yang saling desak, saling gencet dan saling injak. Korban yang tewas dan yang terluka, kata dokter, digotong ke rumah sakit dengan gejala sama: hipoksia dan multitrauma.
Memalukan dan menyedihkan. Mestinya, sebagai negeri dengan penonton sepak bola yang begitu besar, kita sudah pandai mengendalikan situasi rusuh di stadion. Namun, kita tahu, di Kanjuruhan banyak korban rebah di lorong stadion yang sempit, ketika berebut jalan menuju exit door yang sayangnya masih tertutup. Padahal, udara begitu menyesakkan akibat gas air mata. Perih di mata dan menyumbat rongga dada.
Kita patut cemas. Berapa banyak keonaran yang masih akan terjadi, sampai kapan? Kita belum tahu bagaimana nantinya pengendalian keonaran yang aman bagi semua pihak. Tanpa pencegahan yang tegas dan sistematis, para perusuh berpotensi akan mengulangi aksinya. Tanpa rasa bersalah, tanpa penyesalan, seperti yang sering terjadi selama ini.
Tragedi diawali saat dua atau tiga ribu penonton merangsek masuk arena pertandingan, seusai peluit panjang ditiup. Untuk kali pertama dalam 23 tahun, Persebaya Surabaya mengungguli Arema Malang di kandangnya, dengan skor 3-2. Terlihat, anak-anak Aremania – suporter Arema – itu mencoba mendekati para pemain dan official dari kedua tim. Tak terlihat ada kekerasan, tapi mereka terkesan sangat mengancam.
Polisi dan tentara bertindak mengusir para pelaku onar itu. Mereka didorong ke pinggir lapangan. Lantas, tabung-tabung gas air mata pun ditembakkan guna membendung Aremania balik ke lapangan. Saat itulah tragedi bermula. Asap gas air mata menyerbu tribun.
Penonton panik, menghindar dari asap dan berlari ke arah lorong pintu keluar yang sempit. Di jalur sesak itulah tragedi maut terjadi akibat puluhan ribu massa berdesakan. Satu demi satu tumbang kekurangan oksigen, jatuh, terinjak. Tragedi terjadi, dan salah satu yang terburuk di dunia.
Hoologanisme Aremania
Perilaku (sebagian) anak muda Aremania secara generik tergolong hooliganisme: perilaku melawan hukum dan peraturan, membuat onar dan tak peduli keselamatan orang lain. Secara etimologis, ia mengacu kepada perilaku sebuah keluarga berengsek asal Irlandia: The Hoolihans.
Keluarga ini kasar, pemberang, beringas, tukang bikin onar, dan tak perlu berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan. Di lingkungannya, mereka terkenal, dan tiap ada yang bikin onar pun diasosiakan sebagai Hoolihan, yang kemudian berkembang menjadi yang kita kenal sekarang: Hooligan.
Dalam perjalanannya, perilaku Hooliganisme ini diadopsi oleh anak-anak muda Inggris, yang gemar membuat onar di tengah perhelatan sepak bola. Mereka bergerombol, petentengan di jalan, siap tawuran, dan menghajar orang yang dianggap lawan. Mereka juga, gemar mencoret dan merusak fasilitas sosial dan umum (fasos-fasum). Aroma alkohol kadang menyeruak dari mulut mereka.
Di Liverpool, Inggris, tahun 1960-an, buruh- buruh pelabuhan menyerap nilai kekerasan ini. Mereka anak-anak muda yang tidak puas dengan keadaannya. Mereka tak bisa berambut gondrong seperti personel The Beatles: Paul McCartney atau John Lennon, yang ketika itu sedang hype, betapa pun mereka menginginkannya.
Atas nama keselamatan kerja, pabrik tak mengizinkan rambut gondrong. Anak-anak muda itu hanya berlaku berandal di jalanan. Di pabrik, di bawah struktur industri yang ketat, disiplin, dingin dan tak mau berempati, mereka seperti anak-anak kambing yang tak berdaya.
Sebagai reaksi balik, anak muda itu membotaki rambut mereka, atau menyisakan sebagian dengan model hawk, dan mewarnai kuncung mereka dengan cat rambut yang mencolok mata. Muncullah kaum skinhead, yang belakangan diasosiasikan dengan punk. Sebagian mereka tertarik aliran politik anarkisme. Hooliganisme di Inggris disebut sebagai pengembangan perilaku skinhead.
Sepak bola pun berasosiasi dengan penonton yang beringas. Baku hantam antarsuporter pun jamak terjadi. Di Liverpool tahun 1960an, seusai pertandingan kaum skinhead itu merayakan kemenangan atau kekalahan timnya dengan minum-minum bir di bar atau di jalanan. Mereka suka melampiaskan keberingasannya dengan mengganggu kaum imigran. Yang disasar sering kali pekerja migran asal Pakistan. Aksi rasial itu kondang sebagai sebut Paki-Basking.
Efek Tabloidisasi
Sosiolog Inggris Eric Dunning menyebut bahwa hooliganisme dalam sepak bola itu sebagai perilaku antisosial. Tindakan mereka tentu termasuk kejahatan, tapi berbeda dari kejahatan biasa, meski di dalamnya sering kali terselip perilaku kekerasan.
Dunning menyebut hooliganisme telah menjadi subkultur tersendiri, yang merupakan kelanjutan budaya skinhead Liverpool. Hooliganism kini telah mendunia, telah menyeberangi batas-batas negara. Ia seperti bergerak mengikuti bola, bergulir ke seluruh dunia (Lihat: “Towards a Sociological Understanding of Football Hooliganism as a World Phenomenon”, Eric Dunning, European Journal on Criminal Policy and Research Vol. 8 (2000).
Sebagai gejala sosial, hoologasnime mudah menular karena mengikuti arah bola dan alur pada struktur masyarakat industri. Dunning mengatakan, hooliganisme beradaptasi pada kelompok masyarakat kelas bawah. Dalam banyak kasus, 80 persen dari para pelaku kerusuhan itu dari kelas pekerja. Sebagian mereka berasal dari keluarga yang menoleransi kekerasan.
Di antara mereka juga tumbuh nilai-nilai machoisme – maskulinisme. Kalau nggak berani berantem dianggap nggak keren. Nonton bola tanpa tawuran disebut kurang memberi excitement. Lalu siapa yang diserang? Nah, di sini ada garis-garis pemisah sosial, ekonomi, dan politik, yang oleh Dunning, disebut fault lines.
Di Jerman, pada awal 1990-an, potensi kekerasan muncul saat Tim Barat berlaga melawan tim eks Jerman Timur. Batas daerah Barat-Timur itu menjadi fault line. Isu Neo Nazi pun sempat mewarnai sepak bola Jerman.
Di Inggris, ketika itu hampir selalu ada keributan tiap kali tim Inggris berlaga melawan tim Irlandia, atau Skotlandia. Di Italia, suporter tim-tim Italia Utara (AC Milan atau Juventus) biasa ribut dengan fans tim Selatan seperti Roma dan Napoli. Di Spanyol batas-batas wilayah budaya Catalan, Castilian dan Basque bisa menjadi alasan untuk tawuran.
Sepak terjang hooliganisme ini cepat mendunia karena media yang menyebarluaskannya. Dunning menyebut fenomena ini efek tabloidisasi. Kalau saat ini bisa disebut efek digitaliasi.
Suatu hal yang patut disesalkan, kata Dunning, peristiwa hooliganisme itu hanya punya nilai sensasional. Bukanlah peristiwa yang memberi unsur “penting, menarik , berdampak luas” seperti pada doktrin jurnalistik klasik. Tapi, media pers menyiarkannya demi rating.