Peran Penting Manusia di Dunia Pendidikan pada Era AI

0
573
Kecerdasan buatan atau AI. Ilustrasi.
Kecerdasan buatan atau AI. Ilustrasi.
Iklan
Kecerdasan buatan atau AI. Ilustrasi.
Kecerdasan buatan atau AI. Ilustrasi.

Jakarta, Koridor.co.id – Musim gugur ini, para siswa di Amerika Serikat (AS) kembali ke sekolah dengan perangkat lunak kecerdasan buatan (AI) tersemat pada Google Docs and Microsoft Word. Mereka akan menggunakan AI untuk penelitian dan menulis puisi atau makalah. Di sisi lain, para pendidik berusaha agar mereka tetap satu langkah lebih maju.

Kecepatan generative AI sungguh memukau dan menjanjikan. AI bisa mengoptimalkan pekerjaan lebih dari penemuan mesin uap. Namun, tidak semua hal hanya tentang efisiensi.

Psikolog, penulis, pembaca, dan pendidik dapat merespons AI dengan mengakui apa yang dapat dan tidak dapat teknologi AI lakukan. Dan kita percaya pekerjaan manusia tetap penting karena manusia membutuhkan koneksi dengan manusia lainnya agar bisa belajar dan tumbuh.

Saat ini, masyarakat AS sedang menghadapi epidemi kesepian, bunuh diri remaja, dan penembakan massal. Hal-hal yang pada hakikatnya merupakan masalah kebermaknaan, yang mengindikasikan bahwa psikologi manusia tidak tercermin dan terbina secara efektif di dalam masyarakat. Mendengarkan dengan empati, membaca secara mendalam, dan menulis kreatif semuanya melawan isolasi dengan menjadikan pemikiran dan perasaan kita dalam percakapan dengan pikiran manusia lainnya.

Pendidik dapat memfasilitasi pertemuan-pertemuan ini di dalam kelas maupun dalam tulisan. Dan kita dapat melampaui pertanyaan tentang bagaimana mengimplementasikan atau menghukum penulisan berbasis AI dengan mengajar proses kesadaran daripada hanya produknya.

Karya-karya tulis terlalu sering dianggap sebagai produk yang harus mendapat evaluasi, nilai, atau peringkat. Dan kita memperlakukan diri kita sendiri seperti produk juga. Kita merasa lebih berharga jika kita mengumpulkan lebih banyak gelar, mendapatkan lebih banyak suka, atau meraih tanda-tanda kesuksesan eksternal lainnya.

Namun, perwujudan pengetahuan —dan diri kita sendiri— mengancam untuk menjauhkan kita dari proses yang memberi makna pada hidup.

Generative AI baru saja membawa masuk era baru. Saat kita bergumul dengan apa yang dapat dan tidak dapat AI lakukan, kita dapat menguatkan kembali nilai pembelajaran manusia ke manusia yang terjadi melalui membaca, menulis, dan penelitian.

Membaca Mendalam

Tulisan manusia adalah proses yang berawal dari pikiran penulis dan berlanjut dalam pikiran pembaca, membawa informasi, intuisi, pemikiran, dan perasaan. Membaca tulisan manusia lain memperkenalkan kita ke metode mengintegrasikan “yang lain”. Itu bisa berupa ide baru, kehidupan dalam diri karakter, atau plot yang sekarang kita tahu bisa terjadi.

Studi Maryanne Wolfe tentang “membaca mendalam” menunjukkan bahwa membaca mendalam mengakses lebih banyak otak manusia daripada membaca berbasis teknologi. Ini menghasilkan refleksi diri, wawasan yang tak terduga, dan pemahaman empatik yang memiliki nilai sosial yang luas.

Kelambanan membaca secara tradisional justru menjadi inti dari kekuatannya karena memupuk perhatian berkelanjutan. AI memang dapat merangkum buku dalam hitungan detik dan membantu mengidentifikasi plot dan tema. Namun, itu tidak memberikan waktu untuk pemikiran integratif, perkembangan empatik, refleksi, atau kebijaksanaan. Padahal, kebijaksanaan kini terasa sangat penting karena mengajarkan kita bagaimana tetap sadar dalam waktu sulit.

Menulis sebagai Proses Transformasi

AI akan mengubah kesadaran manusia melalui sintesis informasi dengan cara yang baru. Namun, perlu kita ingat bahwa ekspansi ini akan ada terutama di bidang informasi/materi, sementara manusia akan semakin pasif. Bahkan ketika kita sedang merevisi teks yang AI ciptakan, kita akan berperan sebagai pembimbing dan pengelola —sesuatu seperti konsumen Amazon atau bos gudang— daripada pencipta. Terkadang, efisiensi ini akan sepadan, ketika penulisan kita berorientasi pada tugas. Tetapi menjadi konsumen jauh lebih kurang transformasional daripada menjadi pencipta.

Tulisan manusia adalah transformasional karena memungkinkan kita untuk eksternalisasi dan mengembangkan pemikiran kita. Kita hidup pada masa yang penuh kejutan, masa ketika kita menyadari bahwa kita tahu lebih dari yang kita kira kita tahu. Walt Whitman, seorang penyair, mengatakan bahwa kita lebih dari yang kita pikirkan, bahwa kita benar-benar “mengandung banyak hal”. Sebelum kita meng-outsourcing perasaan penemuan ini ke teknologi, kita berhak mengembangkan kompleksitas dalam diri sendiri.

Menegasikan Kotribusi Manusia

Algoritma AI mencabut fakta, ide, dan frasa dari konteks tanpa mengakui sumber manusia mereka. Hal ini memutuskan hubungan dengan nenek moyang intelektual kita dan merugikan kita sebagai manusia. Karena dengan demikian, hal itu mengindikasikan bahwa teknologi sendiri menciptakan pengetahuan.

Manusia menciptakan pengetahuan, dan menghadapi kekurangan, kekhususan, dan kejeniusan manusia lain adalah apa yang menginspirasi kita dalam kemanusiaan kita yang tidak sempurna. Ketika kita mengetahui apa yang telah orang lain tulis dan pikirkan sebelumnya, kita terdorong untuk mengembangkan kesadaran kita sendiri.

Karena AI bergerak begitu cepat, pengguna mungkin segera lupa bahwa “data” hasil sintesisnya adalah bahasa yang pertama kali dibuat manusia. Pemutusan hubungan ini bisa membuat lebih banyak dari kita untuk berhenti berpikir integratif, menulis, dan membaca, atau melakukannya dengan cara yang terputus dari sejarah manusia. Tugas kita sebagai manusia adalah untuk mengutip dan mengingat sumber manusia kita.

Pentingnya Memupuk Kesadaran

Tentu saja, ada argumen positif untuk AI, sebagian besar yang sejalan dengan garis utilitarian. Tetapi meskipun AI mampu menyelesaikan beberapa masalah sosial, dan mengatur serta mengkonsolidasikan informasi, ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan paling abadi tentang kesadaran.

Ilmuwan mencatat bahwa meskipun kita telah membuat kemajuan besar dalam memahami cara kerja otak manusia, kita masih belum tahu bagaimana kesadaran muncul. Dan kita tahu bahwa makna tercipta bukan hanya dengan mengumpulkan informasi, tetapi dengan menjalin hubungan antara fakta, ide, pengalaman, dan perasaan. Pikiran manusia masih sangat penting untuk menciptakan makna semacam itu dan untuk memupuknya pada orang lain. (Kontributor)

*** Saduran dari Psychology Today.

Iklan