JPPI: Makan Siang Gratis Rawan Korupsi dan Bukan Prioritas

Koridor.co.id

Sejumlah siswa menunjukkan makanan gratis saat simulasi program makan siang gratis di SMP Negeri 2 Curug, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (29/2/2024). (Foto: Antara /Sulthony Hasanuddin)

Jakarta, Koridor.co.id – Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai program makan siang gratis rawan menjadi ladang korupsi.

JPPI juga melihat bahwa program tersebut bukanlah program prioritas di bidang pendidikan.

Menurut JPPDI, pemerintah juga perlu memikirkan ulang, apakah harus dilaksanakan secepat ini.

“Pemerintah jangan hanya mengejar populisme, karena terikat dengan janji-janji kampanye, tetapi harus memikirkan dampaknya dan juga mana yang seharusnya menjadi skala perioritas yang mendesak harus diatasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan kita,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Martaji, Senin (4/3).

Karena itu, JPPI memberikan beberapa catatan terkait program makan siang gratis. Pertama, kata Ubaid, tujuan program ini masih belum jelas. Beragam kabar yang diterima masyarakat, masih simpang-siur. Ada yang bilang untuk pencegahan stunting, pemenuhan gizi, tambahan makan siang, dan lain sebagainya.

Jika untuk pencegahan stunting, menurut Ubaid, jelas program ini tidak ada manfaatnya. Sebab program pencegahan stunting, maka peruntukannya adalah untuk ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun.

“Jika untuk pemenuhan gizi, apa artinya makan siang, jika anak-anak itu berangkat sekolah dengan perut kosong tidak sarapan, lalu malamnya makan mie atau seblak? Maka makan siang untuk pemenuhan gizi ini tidak ada artinya,” tegas dia.

Kedua, program tersebut berpotensi membuat biaya pendidikan tambah mahal.

Jika dipaksa untuk diimplementasikan, jelas akan jadi beban anggaran dan menambah utang negara. Akibatnya, tarif biaya pendidikan kian mahal dan tak terjangkau.

“Banyak masyarakat menjerit soal biaya pendidikan dan belum terlaksananya program wajib belajar 12 tahun secara bebas biaya. Di sekolah negeri saja masih banyak pungli, apalagi di sekolah swasta maka biaya sekolah kian tak terjangkau,” ungkapnya.

Selain itu, biaya makan siang rawan bocor yang mengakibatkan banyak kepala sekolah dan guru potensial masuk penjara.

Menurut Ubaid, hingga kini sektor pendidikan masih masuk kategori 5 sektor terkorup di Indonesia.

Maka, biaya makan siang yang jumlahnya sangat fantastis ini, bisa menjadi angin segar bagi para oknum di sektor pendidikan untuk melancarkan aksinya.

“Apalagi tidak jelas punya, siapa yang mengelola, siapa saja yang terlibat, bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya? Dana BOS saja hingga kini masih bermasalah, apalagi ditambah lagi dengan dana makan siang. Jika terlalu gegabah hanya karena pencitraan, maka akan banyak kepala sekolah dan guru yang masuk penjara,” bebernya.

Jika dipaksakan harus ada makan siang, menurut dia, anggaran makan siang harus di luar anggaran pendidikan.

Saat ini anggaran pendidikan, yang jumlahnya 20 persen itu, sudah sangat terbebani dengan gaji guru dan belanja operasional pegawai.

Akibatnya, tidak dapat banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan akses dan juga mendorong kualitas pendidikan lebih baik.

Lebih dari itu, ia mengimbau agar pemerintah harus mendahulukan problem prioritas, daripada pelunasan janji kampanye demi populisme.

Berdasarkan data BPS 2023, rata-rata lama sekolah nasional kita masih 8,7 tahun.

Sementara dari segi kualitas, berdasarkan skor PISA 2022, kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia masuk dalam kategori salah satu negara dengan skor terendah dan di bawah standar minimum rata-rata di dunia

“Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak,” pungkasnya. (Pizaro Gozali Idrus)

Artikel Terkait

Terkini